#Keping4; Dua Cerita
(edisi Kau Melukis Aku)
“Dhiiir….”
“Dhiiir….”
“Dhir.
Tungguin ya. Aku mau makan dulu.”
“Udah
disiram belum Bang Ben-nya?”
“Dhir. Pijitin
dong.”
***
“Ale...
gimana ini? Murojaahku kacau,” keluhku pada Alya. Ia, yang lebih sering
kupanggil Ale, mengiyakan seraya berkata, “Ih, aku juga tahu.”
***
Ini Wilda.
Teman lari pagi yang paling setia. Teman yang paling sering kucari di masjid,
karena pijitannya. Dan teman yang mengajarkanku cara merawat bunga.
***
Ale, teman
seperjuanganku. Seperjuangan lari pagi, seperjuangan bermain basket, hingga
seperjuangan untuk menjadi keluarga Allah.
***
Aku tak
ingat bagaimana awal kami berkenalan. Kelas X, kamarku di asrama J, sendangkan
ia di asrama Z. Aku dan Wilda baru berada dalam satu asrama menginjak kelas XI.
Kami berdua sama-sama menjadi penghuni asrama Z.
***
Aku dan
Ale berada dalam satu grup musik yang sama. Dari kelas XI, hingga pentas seni
kelas XII. Aku memainkan keyboard, ia memegang gitar. Ale yang selalu
mengajakku latihan. Selalu membangunkan aku bila aku tertidur.
***
Sering
kali, selepas sholat Isya di masjid, aku merasakan kantuk yang amat sangat. Ini
terjadi ketika aku kelas XI. Setelah aku melepas sandal dan menaruhnya di
loker, kakiku bergerak otomatis ke kamar 101 Z, kamar Ilen, Ijay, dan Wilda. Tanpa sadar, aku terlelap di
sana.
***
Ale
bilang, ia tidak suka lagu Korea. Namun apa daya. Setiap ia main ke kamarku,
pasti lagu Korea yang selalu terdengar. Untungnya, ia masih bisa menerima. Bahkan
suatu hari, ia berkata pada Atrika, “Trik, ini lagu Korea pertama yang gue
anggap enak didengar,” setelah mendengar lagu Whistle milik Blackpink.
***
“Dhir,
Dhir...”
Suara
seseorang membangunkanku. Setengah sadar, aku bangkit dari kasur. Oalah,
ternyata aku tertidur di kasur Wilda. “Duh, maaf ya Wil,” ucapku sambil
berlalu. Dan tahukah, kejadian itu sering terjadi, hampir di setiap minggunya.
Hehe.
***
Di kelas
XIl, dua kali ia menjadi teman sebangku seperjalanan. Pertama, saat studi
kolaboratif ke Lampung lalu. Dan kedua, saat rihlah ke Taman Bunga
Nusantara sebelum menghadapi Ujian Nasional. Di perjalanan, aku senang meminjam
iPod Ale. Selain berisikan lagu-lagu yang enak didengar, iPod-nya juga
berisikan murottal seorang qari yang tak kalah merdunya.
***
Aku
belajar berkebun dari Wilda. Suatu minggu setelah lari pagi, aku dan Wilda
berjalan menuju green house. Saat masuk, ia terkaget melihat
tanaman yang berada di dalamnya mulai kering. Dengan bantuan ember dan keran
yang tersedia, ia mengajakku untuk menyiram tanaman green house. Jadilah
selama tiga minggu kami menjadi florist. Selain menyiram tanaman, kami
juga menaman tanaman. Lidah buaya dan lidah mertua menjadi tanaman pilihan
kami. Kata Wilda, menanamnya mudah dan tumbuhnya cepat. Tanaman lidah buaya
kami namakan Bang Ben, dan tanaman lidah mertua kami namakan John. Nama itu
terinspirasi dari salah satu serial favorit kami, Sherlock Serial.
***
Semester
satu, Ale pernah berujar. “Sebenarnya gak seru kalau dapet SNM mah.
Perjuangannya kurang kerasa.” Eh, tahunya ia sekarang sudah berstatus
mahasiswa FTSL ITB, sedangkan aku masih berjuang dan berharap diberi yang
terbaik oleh Allah.
***
Wilda,
orang pertama yang meminta padaku untuk dibuatkan cover mushaf
Alqurannya. Dari semester satu pula. Aku megiyakan. Malam yang suntuk ia rela
datang ke kamarku untuk melihat progres cover mushaf miliknya. Hingga
aku tertidur dengan laptop di hadapanku dan Wilda di sampingku, namun tidak
menyadari kapan ia beranjak dari tempat tidurku.
***
Ale
termasuk barisan paling akhir yang pulang dari masjid. Ia yang tidak pernah
melepas Alqurannya di masjid. Ia yang sering datang padaku agar aku menyimak
hafalannya. Ia juga yang terus menyemangatiku untuk murojaah dan
menambah hafalan. Ale, yang terkadang memohon kepadaku setiap pagi, agar aku
menyetorkan hafalan ke Bu Dini. Biar ia tidak ditanya, alasannya.
***
Wilda,
kata teman-teman, kamu mirip Mafaz. Tapi sampai detik ini, aku masih tidak tahu
bagian mana darimu yang mirip sama Mafaz.
***
Ale,
tahukah kamu, salah satu motivasi terbesarku menghafal selama di Insan Cendekia
adalah kamu. Bukan Ridho, Haris, Zhofir, apalagi Mafaz. Iya, kamu. Melihatmu
setiap usai sholat membaca Alquran dan mendengarkan murojaahmu membuatku selalu
berpikir, aku tidak boleh kalah dari Ale. Terima kasih ya Le, semoga ini
jadi pahala kebaikan buatmu.
***
Wilda,
kemarin kita bertemu di Jogja. Berjuang bersama di UTUL UGM, dan bermain menjelajah
Gunung Kidul. Saat kau hendak berangkat ke stasiun di pagi hari, aku memelukmu
erat. Berkali-kali bahkan. Ditambah kamu yang terus berkata, “Dhir, kapan kita
bertemu lagi ya?” membuatku semakin berat untuk menahan air mata. Namun senyum
tetap kusunggingkan, dan lambaian tangan tetap kulakukan.
***
Le, kamu
bilang, kalau kita kuliah bersama di ITB nanti, kita harus saling mengingatkan
ya. Jangan sampai murojaah dan hafalan kita kendur. Katamu, kalau bisa,
kita buat semacam halaqah, untuk saling menyetor dan saling membenarkan
bacaan bila ada yang salah. Kamu benar, Le. Kita harus istiqomah. Perjuangan
menjadi keluarga Allah, tidak boleh ada kata menyerah.
***
Teruntuk Wilda dan Alya, sukses dunia-akhirat ya!
0 comments