­

#Keping4; Dua Cerita

by - May 24, 2017

(edisi Kau Melukis Aku) 

“Dhiiir….”
“Dhir. Tungguin ya. Aku mau makan dulu.”
“Udah disiram belum Bang Ben-nya?”
“Dhir. Pijitin dong.”

***

“Ale... gimana ini? Murojaahku kacau,” keluhku pada Alya. Ia, yang lebih sering kupanggil Ale, mengiyakan seraya berkata, “Ih, aku juga tahu.” 

***

Ini Wilda. Teman lari pagi yang paling setia. Teman yang paling sering kucari di masjid, karena pijitannya. Dan teman yang mengajarkanku cara merawat bunga.

***

Ale, teman seperjuanganku. Seperjuangan lari pagi, seperjuangan bermain basket, hingga seperjuangan untuk menjadi keluarga Allah.

***

Aku tak ingat bagaimana awal kami berkenalan. Kelas X, kamarku di asrama J, sendangkan ia di asrama Z. Aku dan Wilda baru berada dalam satu asrama menginjak kelas XI. Kami berdua sama-sama menjadi penghuni asrama Z.

***

Aku dan Ale berada dalam satu grup musik yang sama. Dari kelas XI, hingga pentas seni kelas XII. Aku memainkan keyboard, ia memegang gitar. Ale yang selalu mengajakku latihan. Selalu membangunkan aku bila aku tertidur.

***

Sering kali, selepas sholat Isya di masjid, aku merasakan kantuk yang amat sangat. Ini terjadi ketika aku kelas XI. Setelah aku melepas sandal dan menaruhnya di loker, kakiku bergerak otomatis ke kamar 101 Z, kamar Ilen, Ijay, dan Wilda. Tanpa sadar, aku terlelap di sana.

***

Ale bilang, ia tidak suka lagu Korea. Namun apa daya. Setiap ia main ke kamarku, pasti lagu Korea yang selalu terdengar. Untungnya, ia masih bisa menerima. Bahkan suatu hari, ia berkata pada Atrika, “Trik, ini lagu Korea pertama yang gue anggap enak didengar,” setelah mendengar lagu Whistle milik Blackpink.

***

“Dhir, Dhir...”

Suara seseorang membangunkanku. Setengah sadar, aku bangkit dari kasur. Oalah, ternyata aku tertidur di kasur Wilda. “Duh, maaf ya Wil,” ucapku sambil berlalu. Dan tahukah, kejadian itu sering terjadi, hampir di setiap minggunya. Hehe.

***

Di kelas XIl, dua kali ia menjadi teman sebangku seperjalanan. Pertama, saat studi kolaboratif ke Lampung lalu. Dan kedua, saat rihlah ke Taman Bunga Nusantara sebelum menghadapi Ujian Nasional. Di perjalanan, aku senang meminjam iPod Ale. Selain berisikan lagu-lagu yang enak didengar, iPod-nya juga berisikan murottal seorang qari yang tak kalah merdunya.

***

Aku belajar berkebun dari Wilda. Suatu minggu setelah lari pagi, aku dan Wilda berjalan menuju green house. Saat masuk, ia terkaget melihat tanaman yang berada di dalamnya mulai kering. Dengan bantuan ember dan keran yang tersedia, ia mengajakku untuk menyiram tanaman green house. Jadilah selama tiga minggu kami menjadi florist. Selain menyiram tanaman, kami juga menaman tanaman. Lidah buaya dan lidah mertua menjadi tanaman pilihan kami. Kata Wilda, menanamnya mudah dan tumbuhnya cepat. Tanaman lidah buaya kami namakan Bang Ben, dan tanaman lidah mertua kami namakan John. Nama itu terinspirasi dari salah satu serial favorit kami, Sherlock Serial.

***

Semester satu, Ale pernah berujar. “Sebenarnya gak seru kalau dapet SNM mah. Perjuangannya kurang kerasa.” Eh, tahunya ia sekarang sudah berstatus mahasiswa FTSL ITB, sedangkan aku masih berjuang dan berharap diberi yang terbaik oleh Allah.

***

Wilda, orang pertama yang meminta padaku untuk dibuatkan cover mushaf Alqurannya. Dari semester satu pula. Aku megiyakan. Malam yang suntuk ia rela datang ke kamarku untuk melihat progres cover mushaf miliknya. Hingga aku tertidur dengan laptop di hadapanku dan Wilda di sampingku, namun tidak menyadari kapan ia beranjak dari tempat tidurku.

***

Ale termasuk barisan paling akhir yang pulang dari masjid. Ia yang tidak pernah melepas Alqurannya di masjid. Ia yang sering datang padaku agar aku menyimak hafalannya. Ia juga yang terus menyemangatiku untuk murojaah dan menambah hafalan. Ale, yang terkadang memohon kepadaku setiap pagi, agar aku menyetorkan hafalan ke Bu Dini. Biar ia tidak ditanya, alasannya.

***

Wilda, kata teman-teman, kamu mirip Mafaz. Tapi sampai detik ini, aku masih tidak tahu bagian mana darimu yang mirip sama Mafaz.

***

Ale, tahukah kamu, salah satu motivasi terbesarku menghafal selama di Insan Cendekia adalah kamu. Bukan Ridho, Haris, Zhofir, apalagi Mafaz. Iya, kamu. Melihatmu setiap usai sholat membaca Alquran dan mendengarkan murojaahmu membuatku selalu berpikir, aku tidak boleh kalah dari Ale. Terima kasih ya Le, semoga ini jadi pahala kebaikan buatmu.

***

Wilda, kemarin kita bertemu di Jogja. Berjuang bersama di UTUL UGM, dan bermain menjelajah Gunung Kidul. Saat kau hendak berangkat ke stasiun di pagi hari, aku memelukmu erat. Berkali-kali bahkan. Ditambah kamu yang terus berkata, “Dhir, kapan kita bertemu lagi ya?” membuatku semakin berat untuk menahan air mata. Namun senyum tetap kusunggingkan, dan lambaian tangan tetap kulakukan.

***

Le, kamu bilang, kalau kita kuliah bersama di ITB nanti, kita harus saling mengingatkan ya. Jangan sampai murojaah dan hafalan kita kendur. Katamu, kalau bisa, kita buat semacam halaqah, untuk saling menyetor dan saling membenarkan bacaan bila ada yang salah. Kamu benar, Le. Kita harus istiqomah. Perjuangan menjadi keluarga Allah, tidak boleh ada kata menyerah.

***

Teruntuk Wilda dan Alya, sukses dunia-akhirat ya!



You May Also Like

0 comments