#SalamRamadan – Day 4
BELAJAR SEJAK DINI
Mulai
Ramadan ini, Najla dikenalkan berpuasa. Sekolah PAUD-nya melarang
murid-muridnya membawa bekal ke sekolah. Maka tidak ada lagi acara shodaqoh
di kelas, acara membagi-bagikan makanan. Tas sekolah hanya berisi buku mengaji
saja.
Namanya
juga anak kecil. Sahurnya saja jam setengah tujuh, dan waktu berbukanya pun jam
sepuluh pagi. Tapi menurutku, Najla sudah hebat. Ia sahur hanya minum susu (karena
kalau makan akan membutuhkan waktu yang sangat lama), dan baru makan
sekitar jam 11 di rumah.
Aku jadi teringat
ketika aku TK dahulu, saat mulai belajar puasa. Aku sahur jam 6 pagi, dan
berbuka tepat setelah Dzhuhur. Aku baru bangun sahur jam 4 memasuki kelas 1 SD.
Belajar
puasa memang patut diajarkan sejak dini, agar ketika besar nanti menjadi
terbiasa. Karena untuk anak kecil, menahan diri untuk tidak makan, minum,
apalagi jajan memang susah. Bahkan Najla, setelah pulang sekolah, bersama Bunda
mampir ke minimarket dan selalu berkata, “Puasa itu... jajan!”
Belajar
sholat tarawih pun harus dilakukan sejak dini. Walau Najla masih susah disuruh
sholat, tapi sekali dua kali ia ikut sholat tarawih. Bahkan sampai witir. Setidaknya
ia mengetahui bahwa sholat merupakan kewajiban setiap muslim, sebelum ia
merasakan sholat juga merupakan kebutuhan sehari-hari, layaknya makan.
Ketika aku kelas 2 SD, adikku yang pertama, Nada, masih duduk di bangku akhir TK. Saat itu hari terakhir Ramadan, dan Nada berusaha mempertahankan puasanya sampai maghrib. Waktu menunjukkan pukul 4 sore, Nada mulai bertanya-tanya kapan maghrib datang. Bunda, yang memang tidak pernah memaksakan anak-anaknya (apalagi masih kecil) untuk berpuasa sehari penuh, menyuruh Nada untuk berbuka saja bila tidak kuat. Tapi Nada bersikukuh tidak mau.
Jam 5,
yang tadinya hanya bertanya-tanya, Nada mulai marah-marah. Ia merengek-rengek
tidak kuat. Namun, setiap disuruh berbuka, ia semakin marah dan berteriak, “Nggak
mau!” Aku, yang sedari tadi memerhatikan adik yang berbeda dua tahun dariku
merasa geregetan, namun aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya
melanjutkan nonton teveku.
Akhirnya,
di hari terakhir Ramadan, Nada berhasil menyelesaikan puasanya satu hari penuh.
Dimana ke-29 hari lainnya ia hanya sahur jam 6 dan buka jam 12, walau diselingi
ngambek dan marah-marah. Aku selalu tertawa mengingat kejadian tersebut
dan selalu kugunakan untuk meledek Nada.
Najla,
tahun depan, saat kamu TK, makin rajin belajar puasa dan sholat ya! Barakallah,
adikku.
***
AYAT OF THE DAY
AN-NISA: 69
Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan
bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi,
para shiddiqin (pecinta kebenaran), orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang yang sholeh. Mereka itulah sebaik-baiknya teman.
Ingat
surah Al-Fatihah ayat terakhir yang berbunyi, Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan yang Engkau beri nikmat? Apa maksud jalan yang diberi
nikmat tersebut? Nah, pertanyaan itu Allah jawab di dalam Alquran sendiri, di
surah An-Nisa ayat 69.
Maka, orang
yang diberi nikmat oleh Allah adalah siapa saja yang menaati Allah dan
RasulNya. Melakukan apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa yang dilarang.
Jawaban yang sederhana, namun sulit untuk istiqomah di dalamnya.
Ustad
Purwanto, salah satu guru saat aku mengikuti Tahfizh Alquran Academy (Desember
2015) lalu berkata, “Sadar gak sih, orang-orang yang disebut diberi
nikmat oleh Allah itu ketika hidup di dunia seakan tidak mendapatkan nikmat
sama sekali?”
Kemudian,
beliau menjelaskan hal tersebut dan membuatku merenungkannya. Pertama, para
Nabi. Ejekan, cacian, bahkan ancaman pembunuhan selalu menghantui para nabi dan
rasul ketika menyampaikan risalahNya. Nabi Muhammad dan segelintir pengikutnya
saja pernah diboikut selama tiga tahun oleh kafir Quraisy Mekkah. Lalu, para shiddiqin.
Lihat zaman sekarang. Orang-orang yang mencoba menyampaikan kebenaran lebih
sering ditenggelamkan beritanya, dibandingkan orang yang memamerkan
kemaksiatan. Para syuhada, apa lagi. Mereka mengorbankan harta dan jiwa mereka
di jalan Allah. Berperang tiada henti, di bawah terik matahari. Tersabet
senjata, hingga kehilangan anggota badan mereka.
Namun,
janganlah risau. Seperti yang dikatakan di awal ayat tersebut, kunci meraih
kenikmatan dari Allah SWT. adalah menaati Allah dan RasulNya. Dari Amru bin
Murrah Al-Juhan, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi Muhammad SAW dan
berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah dan aku
bersakasi bahwa engkau adalah utusan Allah, dan aku mengerjakan shalat yang
lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan dan melaksnakan ibadah padanya,
maka dari golongan siapakah aku ini?” Rasulullah SAW. Menjawab, “Engkau berada
dalam golongan para shiddiqin dan syuhada.”
Hal yang
dapat aku pahami ialah bahwa untuk mencapai kenikmatan yang hakiki, jalan yang
harus dilalui tidaklah mudah. Penuh halangan dan rintangan. Juga istiqomah.
Maka di akhir ayat, Allah memuji orang-orang yang mendapatkan nikmat tersebut, Mereka
itulah sebaik-baiknya teman.
Semoga
kita termasuk ke dalam golongan orang yang mendapatkan nikmat, aamiin.
Sumber:
Tafsir Ibnu Katsir yang disadur dari internet dan ceramah Ustad Purwanto Abdul
Ghaff pada Desember 2015
0 comments