­

#Keping3; Insan Cendekia Penyatu Dunia

by - May 18, 2017


(edisi Kau Melukis Aku)


Siang itu, 1 Ramadhan 1435 H. Hari pertama kali aku menyandang gelar sebagai anak asrama. Wajah-wajah asing terlihat di sana-sini, dan berharap semoga aku dapat berteman baik dengan mereka.

Yang pertama kali kukenal adalah Naurah. Itu pun karena dikenalkan oleh ayahku. Ayah bilang, Naurah teman TK-ku. Aku saja lupa, hehe.

Semua siswa baru kelas X berkumpul di Gedung Serba Guna untuk diberi arahan mengenai tempat pengukuran seragam, penataan barang bawaan, dan pembagian kamar. Aku berbaris, sendiri, masih segan menyapa teman baru. Setelah semua urusan di GSG selesai, siswa baru diajak ke gedung B, gedung pendidikan untuk pengukuran seragam dan pembagian kamar.

Aku berjalan dengan santai dari GSG menuju gedung B. Tepat di depan tiang bendera Insan Cendekia, seseorang menepuk bahuku. Aku kaget. Perempuan yang kini tepat berada di sampingku, tersenyum, memamerkan lesung pipit yang semakin membuatnya terlihat manis.

“Nadhira ya?” tanyanya.

Aku bingung. Orang ini tahu aku dari mana ya? batinku. Aku menatap wajahnya. Jelas, ia bukan orang yang pernah kutemui selama 15 tahun aku hidup. Tapi sekilas, kok aku seperti melihat orang ini ya? Tapi dimana?

Perempuan itu kembali tersenyum. “Masih ingat aku, gak?” tanyanya lagi.

Aku terkekeh. “Hmmm. Wajahnya kayak kenal, sih. Tapi aku lupa,” jawabku jujur.

“Masih ingat Asma, gak?” perempuan itu kembali bertanya, sambil tetap mempertahankan senyumnya.

Deg.

“ASMA YANG ITU? ASMA YANG ITU? ASMA ASHILAH YANG ITU????” aku bertanya balik, sambil berteriak.

“Iya!” ia mengangguk.

Sontak, aku langsung memeluknya, dan berjingkrak-jingkrak tidak jelas. “Terakhir kutahu bukannya kamu di Semarang?” tanyaku.

“Iya, tapi SMP aku pindah ke Jakarta,” jawabnya.

Aku manggut-manggut. Akhirnya aku dan Asma melangkah bersama menuju gedung B, sambil bercerita mengenai masa lalu kita.

***

Aku dan Asma memang tak pernah bersua. Pertemanan kami hanya di dunia maya. Satu hal yang membuat kami bisa berteman cukup dekat adalah kami sama-sama suka menulis, dan hobi membaca buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya, Mizan).

Aku ingat. Kelas 4 SD, aku mulai menjelajahi dunia internet. Aku membuat sebuah blog dengan domain multiply.com. Isi blog­-ku saat kelas 4 SD sungguh tidak jelas. Foto diri sendiri, games yang dipajang di beranda utama, hingga kode-kode HTML untuk membuat teks berjalan.

Aku bahkan tidak ingat, bagaimana awalnya aku berkenalan dengan Asma. Juga ketiga sahabat dunia maya lainnya; Yasmin, Nida dan Athiya. Yang aku ingat, aku dan dia sering menaruh komentar di entri blog masing-masing.

Kelas 5 SD, aku masih sangat sering membuka Multiply. Rasa keingintahuanku bagaimana cara membuat tema di Multiply mengarahkanku untuk mempelajari CSS dan HTML, secara sendiri. Terkadang, sampai saat ini, aku masih tidak percaya seorang kelas 5 SD begitu antusias terhadap dunia coding komputer, hehe.
Karena aku belajar sendiri, sering kali aku merasa frustasi. Jika sudah kesal seperti itu, biasanya aku melampiaskan pada Asma. Semacam aku ngedumel sendiri betapa susahnya membuat tema di Multiply. Asma dengan sabar mendengarkan (leih tepatnya membaca) keluhanku.

Hingga akhirnya aku berhasil mengerti cara mengotak-atik kode CSS dan HTML tersebut, aku merasa sangat senang! Aku ceritakan pada Asma betapa bahagianya aku. Dan ia pun turut berbahagia. Mulai dari situlah, seorang Nadhira yang sudah memasuki kelas 6 SD belajar Adobe Photoshop.

Suatu hari, aku pernah bertanya pada Asma, “Asma lagi apa?”

Ia menjawab, “Lagi main Twitter.”

Aku, yang hanya baru mengenal Facebook (dan Pet Society tentunya), bertanya lagi padanya, “Twitter itu apa?”

Asma menjelaskan bahwa Twitter mirip dengan Facebook (zaman itu istilah social media belum ada). Bisa menulis status dan berkomentar di status orang. Membaca penjelasannya, aku tertarik membuat akun Twitter. Dan jika kalian melihat following dan followers pertama akun Twitterku, kalian akan mendapati nama Asma Ashilah di sana.

Memasuki masa SMP, komunikasiku dengan Asma semakin berkurang. Asma, yang kutahu, sudah pindah dari kota Balikpapan ke sebuah kota padat di Jawa Tengah, Semarang. Aku dan Asma hanya sesekali bersapa di Twitter, itu pun karena dia memang jarang online.

Kelas 9 SMP, aku hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Asma. Intensitas aku membuka Twitter pun semakin jarang. Hingga akhirnya, kami dipertemukan kembali di bawah langit cinta Insan Cendekia.

***

Asma, yang begitu manis dan lembut, menyadarkanku bahwa seluas-luasnya dunia ini, bila Allah menakdirkan dua orang untuk bertemu, maka mereka akan bertemu. Asma, yang kini sama-sama berjuang untuk menjadi keluarga Allah, menyadarkanku juga bahwa pertemanan, bila dilandasi ketakwaan, akan terus berjalan. Bolehlah berpisah sementara, tapi insyaallah, kita akan kembali berjumpa. (Hai, Trio Conquera!)

Sama seperti aku dan kau. Iya, kau. Seseorang yang telah dituliskan Allah di Lauhul Mahfudz-Nya untukku. Alam takun ardhullaahi waasi’atan fatuhaajiruu fiihaa. Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa berjalan (berpindah) di dalamnya? Namun, bila Allah takdirkan kita untuk bersama, sejauh apapun jarak yang melintang, tak akan ada yang bisa dinafikkan.

Maafkan bila penutupnya  tidak jelas.

You May Also Like

0 comments