#Keping3; Insan Cendekia Penyatu Dunia
(edisi Kau Melukis Aku)
Siang itu, 1 Ramadhan 1435 H. Hari pertama kali aku menyandang gelar sebagai
anak asrama. Wajah-wajah asing terlihat di sana-sini, dan berharap semoga aku
dapat berteman baik dengan mereka.
Yang
pertama kali kukenal adalah Naurah. Itu pun karena dikenalkan oleh ayahku. Ayah
bilang, Naurah teman TK-ku. Aku saja lupa, hehe.
Semua siswa baru kelas X berkumpul di Gedung Serba Guna untuk diberi arahan mengenai tempat pengukuran seragam, penataan barang bawaan, dan pembagian kamar. Aku berbaris, sendiri, masih segan menyapa teman baru. Setelah semua urusan di GSG selesai, siswa baru diajak ke gedung B, gedung pendidikan untuk pengukuran seragam dan pembagian kamar.
Aku
berjalan dengan santai dari GSG menuju gedung B. Tepat di depan tiang bendera
Insan Cendekia, seseorang menepuk bahuku. Aku kaget. Perempuan yang kini tepat
berada di sampingku, tersenyum, memamerkan lesung pipit yang semakin membuatnya
terlihat manis.
“Nadhira
ya?” tanyanya.
Aku
bingung. Orang ini tahu aku dari mana ya? batinku. Aku menatap wajahnya.
Jelas, ia bukan orang yang pernah kutemui selama 15 tahun aku hidup. Tapi
sekilas, kok aku seperti melihat orang ini ya? Tapi dimana?
Perempuan
itu kembali tersenyum. “Masih ingat aku, gak?” tanyanya lagi.
Aku
terkekeh. “Hmmm. Wajahnya kayak kenal, sih. Tapi aku lupa,”
jawabku jujur.
“Masih
ingat Asma, gak?” perempuan itu kembali bertanya, sambil tetap
mempertahankan senyumnya.
Deg.
“ASMA YANG
ITU? ASMA YANG ITU? ASMA ASHILAH YANG ITU????” aku bertanya balik, sambil
berteriak.
“Iya!” ia
mengangguk.
Sontak,
aku langsung memeluknya, dan berjingkrak-jingkrak tidak jelas. “Terakhir kutahu
bukannya kamu di Semarang?” tanyaku.
“Iya, tapi
SMP aku pindah ke Jakarta,” jawabnya.
Aku
manggut-manggut. Akhirnya aku dan Asma melangkah bersama menuju gedung B,
sambil bercerita mengenai masa lalu kita.
***
Aku dan
Asma memang tak pernah bersua. Pertemanan kami hanya di dunia maya. Satu hal
yang membuat kami bisa berteman cukup dekat adalah kami sama-sama suka menulis,
dan hobi membaca buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya, Mizan).
Aku ingat.
Kelas 4 SD, aku mulai menjelajahi dunia internet. Aku membuat sebuah blog
dengan domain multiply.com. Isi blog-ku saat kelas 4 SD sungguh
tidak jelas. Foto diri sendiri, games yang dipajang di beranda utama,
hingga kode-kode HTML untuk membuat teks berjalan.
Aku bahkan
tidak ingat, bagaimana awalnya aku berkenalan dengan Asma. Juga ketiga sahabat
dunia maya lainnya; Yasmin, Nida dan Athiya. Yang aku ingat, aku dan dia sering
menaruh komentar di entri blog masing-masing.
Kelas 5
SD, aku masih sangat sering membuka Multiply. Rasa keingintahuanku bagaimana
cara membuat tema di Multiply mengarahkanku untuk mempelajari CSS dan HTML,
secara sendiri. Terkadang, sampai saat ini, aku masih tidak percaya seorang
kelas 5 SD begitu antusias terhadap dunia coding komputer, hehe.
Karena aku
belajar sendiri, sering kali aku merasa frustasi. Jika sudah kesal seperti itu,
biasanya aku melampiaskan pada Asma. Semacam aku ngedumel sendiri betapa
susahnya membuat tema di Multiply. Asma dengan sabar mendengarkan (leih
tepatnya membaca) keluhanku.
Hingga
akhirnya aku berhasil mengerti cara mengotak-atik kode CSS dan HTML tersebut,
aku merasa sangat senang! Aku ceritakan pada Asma betapa bahagianya aku. Dan ia
pun turut berbahagia. Mulai dari situlah, seorang Nadhira yang sudah memasuki
kelas 6 SD belajar Adobe Photoshop.
Suatu
hari, aku pernah bertanya pada Asma, “Asma lagi apa?”
Ia
menjawab, “Lagi main Twitter.”
Aku, yang
hanya baru mengenal Facebook (dan Pet Society tentunya), bertanya lagi padanya,
“Twitter itu apa?”
Asma
menjelaskan bahwa Twitter mirip dengan Facebook (zaman itu istilah social
media belum ada). Bisa menulis status dan berkomentar di status orang.
Membaca penjelasannya, aku tertarik membuat akun Twitter. Dan jika kalian
melihat following dan followers pertama akun Twitterku, kalian
akan mendapati nama Asma Ashilah di sana.
Memasuki
masa SMP, komunikasiku dengan Asma semakin berkurang. Asma, yang kutahu, sudah
pindah dari kota Balikpapan ke sebuah kota padat di Jawa Tengah, Semarang. Aku
dan Asma hanya sesekali bersapa di Twitter, itu pun karena dia memang jarang online.
Kelas 9
SMP, aku hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Asma. Intensitas aku membuka
Twitter pun semakin jarang. Hingga akhirnya, kami dipertemukan kembali di bawah
langit cinta Insan Cendekia.
***
Asma, yang
begitu manis dan lembut, menyadarkanku bahwa seluas-luasnya dunia ini, bila
Allah menakdirkan dua orang untuk bertemu, maka mereka akan bertemu. Asma, yang
kini sama-sama berjuang untuk menjadi keluarga Allah, menyadarkanku juga bahwa
pertemanan, bila dilandasi ketakwaan, akan terus berjalan. Bolehlah berpisah
sementara, tapi insyaallah, kita akan kembali berjumpa. (Hai, Trio
Conquera!)
Sama
seperti aku dan kau. Iya, kau. Seseorang yang telah dituliskan Allah di Lauhul
Mahfudz-Nya untukku. Alam takun ardhullaahi waasi’atan fatuhaajiruu fiihaa. Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga
kamu bisa berjalan (berpindah) di dalamnya? Namun, bila Allah takdirkan kita
untuk bersama, sejauh apapun jarak yang melintang, tak akan ada yang bisa dinafikkan.
Maafkan
bila penutupnya tidak jelas.
0 comments