• Home
  • About
  • Contact
    • Mail
  • She Talks Football
  • Untuk Nadhira
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram

encyclopedhira


Malam itu, di bawah langit-langit asrama dan kasur bertingkat, aku berbicara dengan seseorang. Bercanda dan bergurau, memimpikan sebuah skenario penuh romansa yang membuatku terkikik kecil. Tak boleh berisik, dua kawan kamar lain sudah terlelap.

“Lucu kali ya, kalau bisa jalan-jalan bareng, main bareng, di sebuah Taman Negeri Ajaib, aku sama doi, kamu sama dia,” begitu kata seseorang tersebut.

Mengingat kenangan itu, terkadang lucu juga. Bertahun-tahun setelahnya, jawaban itu muncul. Ia bisa, sedangkan aku tidak.

Ah, aku bukan ingin membicarakan hal tersebut. Sedikit nostalgia, tak masalah lah ya.

Melalui surat (yang tak beralamat) ini, izinkan aku menumpahkan perasaanku. Segalanya, yang mungkin pernah kupendam.

10 November 2023

Aku tidak tahu kapan pertama kali perasaan itu muncul. Rasanya sudah lamaaaa sekali. Kalau diingat-ingat, mungkin menjelang akhir semester 1 kelas X….. 9 tahun lalu yah ternyata.

Sempat mengira setelah kuliah, tidak pernah bertemu, aku bisa bersikap biasa saja kepadamu. Namun ternyata salah. Bahkan setelah dua tahun, aku masih grogi bila bicara denganmu. Agak alay memang.

Aku pernah berjanji dalam hati, kalau rasa yang mengganjal di hati ini bertahan hingga satu dekade, aku akan bilang langsung, gaada kompromi-kompromi. Gak peduli apapun jawabanmu, yang penting hati ini lega sudah menyampaikan apa yang  lama terpendam.
Ah, tapi Allah punya rencana yang jauh lebih baik.

Cepat atau lambat, aku tahu momen ini akan datang, maka aku sudah mempersiapkan hati bila menerima kabar darimu.

Tapi tak kusangka, kabar itu datang saat aku sedang jalan-jalan, di kota Malang pula, di tempat dulu aku pernah bertualang bersamamu dan teman-teman yang lain. Kebetulan sekali bukan?

Maaf, ternyata aku belum cukup kuat untuk membacanya. Hari itu aku tidak mau buka sosmed. Aku juga menangis di hadapan teman-temanku. Tapi tenang, hanya sebentar kok!

Terima kasih ya, sudah jadi salah satu orang terbaik yang pernah kutemui. Terima kasih sudah membawa pengaruh positif untuk kehidupanku.

Terima kasih untuk tetap menganggapku teman selama ini.

Maaf kalu aku harus menulis ini.

Aku tak pernah menyesal, pernah menyimpan perasaan kepadamu. Tidak akan mudah memang untuk berjalan ke depan dan melupakan semua ini, tapi pelan-pelan aku akan berusaha.

Jadi, boleh kan ya, hari ini aku puas-puas menangis, sedikiiiiit saja meratapi kisah kasih yang tak pernah dimulai ini, menangisi perasaan yang tak pernah berbalas ini?

Aku janji, cukup sampai hari ini saja aku bersedih. Karena mulai besok, aku turut berbahagia, bersama teman-teman yang lain, dan mendoakanmu agar selalu dilimpahkan kebahagiaan.

Sekali lagi, terima kasih.



Butiran debu yang pernah berharap menggapai berlian,
Nadhira

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Tik, tok, tik, tok. Ketukan jam menjadi penanda bergesernya waktu. Melewati satu masa, menuju masa lainnya. Rentang masa tersebut kemudian terisikan jutaan memori yang terlekang, teringat, ataupun ingin terlupakan.

Memori-memori itu kembali berputar dalam kepala, mengarungi setiap detik dan menit yang telah kulewati, membawa kembali ke saat pertama kali aku bertemu denganmu. Aku yang lugu, tak mengerti apa-apa, perlahan tersihir oleh pesonamu.

Tik, tok, tik, tok. Jarum jam bergerak cepat, memundurkan waktu ke titik nol pertemuan.

***

Nol. Tanda awal kisah ini dimulai. Bias, tak begitu jelas kapan waktunya. Yang teringat, hanyalah seseorang mengantarkanku menuju titik tersebut.

Satu tahun. Perlahan. Rasa sayang kadang sepele itu. Jatuh ke dalamnya, dan baru mengetahui masa lalu setelahnya. 6 tahun, tanpa juara, menggantung asa. Aku ternganga. Tidak. Tidak ada kata kembali.

Dua tahun. Ketika rasa yang terpendam semakin dalam, saat itulah ranjau menghadang. Inikah yang dinamakan sakit hati? Ditinggal seseorang, yang terlampau kutaruh tinggi harapan. Tersungkur di gedung sekolah, pertama kali, aku menangisimu. Lupa akan rasa malu, yang ada hanya ingin luapkan pilu.

Tiga tahun. Mencoba melupakan rasa sakit, mari isi dengan kebahagiaan. Ketika jarak antara kau dan aku hanya terpisah oleh sebuah pagar pembatas, ketika aku pertama (dan masih terakhir) kali melihatmu secara langsung, dan ketika aku bersama ribuan orang lainnya bersenandung, menyanyikan ucapan semangat yang biasanya hanya diteriakkan dibalik layar. Satu hari, yang tidak akan terlupa sampai nanti.

Empat tahun. Harapan itu, sembilan tahun lamanya, sejak 2005, akhirnya tersampaikan. Mata air yang berhasil digali di tengah badai gurun pasir. Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan. Menangis bahagia. Itu saja.

Lima tahun. Jarak yang terbentang di antara kita merenggang. Maafkan aku, menjauh terlebih dahulu. Dibatasi peraturan dan perjuangan hidup bertahan, dalam penjara asrama. Akhir tahun, dingin rasanya. Bersemayam di puncak. Sebersit sinar harapan terbit. Penantian 12 tahun. Akankah?

Enam tahun. Ah, sesak. Sakit. Tergelincir. Tak lagi di puncak. Semakin banyak yang tak percaya. Menginginkan sang profesor pergi. Aku ditimpa dilema. Beliau sosok yang kukagumi, berikan satu atau dua tahun lagi. Kuhembuskan napas, bersiap kembali berlayar di tengah ombak emosi.

Tujuh tahun. Terdepak. Terlempar dari posisi nyaman. Tak ada lagi terjaga malam Rabu dan Kamis. Bukan akhir, pikirku dalam hati.

Delapan tahun. Merci. Aku menangis, tengah malam di tenggat akhir pengumpulan tugas. Aku masih terlalu muda untuk merasakan perjalanan 22 tahun lamanya, namun sebuah perpisahan tetap menyedihkan. Setiap akhir merupakan awal yang baru. Aku kembali berharap.

Sembilan tahun. Kembara yang dilewati penuh terjal dan batu. Terkadang, bisa temukanku sedang menangis sendu. Berat rasanya, ditikam bertubi-tubi. Sedih, kecewa, marah. Cukup. Sejujurnya, aku tidak ingin mengingatnya. Setitik asa muncul. Tak mau berharap lebih, hanya menginginkan yang terbaik.

Hampir, sepuluh tahun. Tolonglah, aku ingin mengakhiri dengan sedikit kebahagiaan. Dua hari meratapi perginya keramaian malam Jumat. Perjalanan yang kemudian terhenti tengah jalan, tak dapat bersorak bersama. Apalagi? Jauh dari angan-angan, hanya tersisa satu cara agar masih bisa merasakan udara luar.

Jatuh, bangun. Yang patah kemudian tumbuh. Tangisan kekecewaan menjadi tangisan kebahagiaan. Menutup pertengahan tahun yang cukup indah. Empat belas kali. Kepercayaan itu, harus tetap ada, agar harapan itu, terus bersinar, bersiap untuk diwujudkan.

Inilah kisah Nadhira dan cinta pertama, dalam perjalanan menuju satu dekade lamanya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kalimat yang ditulis miring disadur dari iklan Khong Guan Ramadan 2020 - Sebuah Kenangan Manis.

Salamku pada waktu
Yang sedang temaniku
Di tengah kesendirian yang membelenggu
Membentang jarak yang tak dapat bercumbu

Sang waktu singgah bertemu
Dan yang telah berlalu
Yang dalam sekejap laju
Akan ditinggal rindu
Walau pamit tidak berburu
Namun pergi dengan membisu


Juga kepada rasa
Yang tak dapat dilukiskan dengan kata
Namun tetap bercahaya dalam gulita
Yang mengawalku melintasi masa

Sering kutatap memori dalam alinea
Juga bidikan permata nan kirana
Untaian rindu semakin terasa
Kala kita tak dapat bersua

Puluhan tahun bersamanya
Delusi berdansa terasa lama
Padahal hanya sejauh sandiwara
Tertutup fatamorgana rasa
Namun apa daya
Rasa itu tetap sama


Beragam peran, iya
Aku di sini, sedang kau di sana

Berganti cara pun tak apa
Selama masih menatap langit yang sama
Selama hati selalu berirama
Dan selama alunan doa tetap bergema

Doa untuk semua, agar tetap baik-baik saja
Aku, kamu, juga kita
Dan Indonesia tercinta
Selalu berada dalam lindungan-Nya

Tetap silaturahmi itu pasti
Berbagai cara, namun satu esensi
Menunggu waktu untuk bertemu kembali

Tetap Khong Guan sampai nanti
Dekat, erat, bermanfaat menjadi saksi
Hingga binar penggugah peradaban akan bersemi

***

Mari belajar dari kaleng Khong Guan
Terkadang, apa yang kita harapkan
Tidak berisi sesuatu yang lama diimpikan

Ingin mengambil wafer, rasa sudah terbayang
Ketika dibuka, alamak! Isinya rengginang

Rasa pedih itu pasti, tak dapat dipungkiri
Wafer dan rengginang memang beda dimensi
Namun satu keyakinan
Keduanya masih bisa dimakan
Dan dinikmati dengan rasa senang

30 Ramadan 1441 H.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Tiga minggu lebih aku tidak menginjakkan kaki di tanah Ganesha. Aku masih bertahan di Bandung, menjalani hari-hari di tengah perkuliahan jarak jauh dan mendadak memiliki hobi masak sendiri, hingga akhirnya kemarin, Sabtu, 4 April 2020, aku berkunjung ke Masjid Salman ITB.

Bukan tanpa alasan aku datang ke Salman. Hari itu, aku menjadi tim dokumentasi untuk proyek kerja sama ITB dan Salman, yaitu pembuatan ventilator, atau alat bantu pernapasan bagi penderita yang mengalami gangguan pernapasan.

Aku memasuki kompleks Masjid Salman melalui jalanan tepat depan gerbang utama ITB. Sepi, sunyi, dan hanya disambut oleh seekor kucing yang tengah tiduran di tengah jalan. Masjid Salman sendiri sejak 21 Maret lalu ditutup dan tidak bisa dikunjungi secara bebas karena salah satu mahasiswa yang tinggal di dalamnya pernah kontak dengan seseorang yang diketahui positif COVID-19, sehingga mahasiswa tersebut menjadi ODP (Orang dalam Pemantauan) yang menghasilkan keputusan untuk me-lockdown Salman.

Hari itu aku memiliki janji bertemu Arie, yang akan menjelaskan tugas yang harus kulakukan. Sampai aku berhenti di selasar depan kantin Salman, tidak ada tanda-tanda keberadaan Arie. Lagi-lagi aku disambut oleh kucing, dan terlihat beberapa orang yang sedang duduk dan berbincang, lengkap dengan maskernya. Kucing berwarna hitam yang menyambutku datang mendekat, dan kemudian berhenti tepat di depan kakiku. Satu hal yang belum kulihat sejak terakhir kali datang ke Salman berada di hadapan kucing hitam tersebut. Tempat makan kucing, yang berisi penuh oleh makanan untuk mereka.

Terima kasih, gumamku. Kuucapkan terima kasih untuk orang yang selalu memerhatikan kucing-kucing di Salman dan memberi mereka makan.


Sembari menunggu Arie (yang tidak menjawab telepon), aku mengintip tempat wudhu, ruang cermin, menaiki tangga menuju koridor selatan, dan melihat sekeliling. Hampa. Pintu-pintu menuju ruang utama Masjid Salman dikunci. Aku hanya bisa mengintip dari luar. Satu hal yang kuingat, Masjid Salman tidak pernah sepi, kecuali sesaat setelah Idul Fitri. Sampai pelaksanaan sholat hari raya, aktivitas dan orang lalu lalang di Salman tidak pernah hilang. Namun kini, tidak terlihat orang yang sedang sholat, mahasiswa ITB yang tengah mengerjakan tugas, murid SMA yang asyik belajar dan diajar, hingga berbagai perkumpulan di segala sisi.

Arie akhirnya menghubungiku. Aku diminta menemuinya di gedung CRCS. Aku bingung. Di kampus ITB? Dari ujung selatan ke ujung timur laut ITB?

***

Ternyata, di selasar gedung CRCS ITB tengah dilaksanakan presentasi dan pengujian alat ventilator (dan dua alat lainnya) di hadapan perwakilan Kementerian Kesehatan. Aku bertugas mendokumentasi kegiatan tersebut. Aku merekam penjelasan dosen dan mahasiswa yang presentasi, dan hanya dapat manggut-manggut mendengar istilah yang tak pernah disebut dalam perkuliahanku.

Acara berlangsung hingga mendekati pukul empat sore. Meja dan kursi dirapikan, sampah dibereskan, dan selasar gedung CRCS pun siap untuk disterilkan dengan disinfektan oleh tenaga kerja dari ITB. Aku menyaksikan bagaimana para pekerja tersebut memakai baju pelindung dan membawa tabung berisi cairan disinfektan untuk disemprot ke seluruh selasar dan ruangan gedung CRCS. Aku membantu membawa tabung oksigen yang dipakai untuk pengujian alat kembali ke Salman. Menumpang di mobil ambulans milik Salman, aku mengelilingi kampus ITB yang sudah tidak ada kehidupan selama tiga minggu  sembari mengabadikannya lewat video.

Aku menaruh tabung oksigen di depan ruang GSS A Masjid Salman. Saat itu pula mataku terbelalak. Kaget, tak percaya.

Ruang-ruang GSS Salman, yang biasanya berfungi sebagai kelas atau ruang rapat, berubah menjadi laboratorium dadakan. Terpajang di depan pintu ruangan, ‘Ruang Print 3D’, ‘Ruang Penyimpanan’, dan ‘Ruang Rakit Ventilator’. Kotak makanan, kotak snack, galon berisi air, hingga kotak berisi masker dan hand sanitizer juga terpajang di depan masing-masing ruangan.


Cukup banyak orang berada di dalam salah satu ruang tersebut. Lebih tepatnya mahasiswa. Aku yakin, mereka merupakan mahasiswa ITB.

Aku sudah mendengar soal ventilator buatan Salman cukup lama. Dimulai dari berita tentang Pak Syarif Hidayat, dosen ITB sekaligus pengurus Masjid Salman, yang menggagas pembuatan ventilator portabel tersebut. Jujur saja. Kukira, proyek ini lebih banyak diurus dosen-dosen ITB yang aktif di Salman dan beberapa mahasiswa saja. Tak kusangka, banyak juga mahasiswa yang terlibat di dalamnya.

Seketika aku teringat percakapan yang tak sengaja kudengar saat presentasi alat ventilator di gedung CRCS tadi. Salah satu dosen bercerita bahwa awalnya tak ada izin dari pihak fakultas untuk menggunakan laboratorium, sehingga dosen tersebut harus diam-diam membawa alat tersebut keluar laboratorium dan ditaruh di GSS Salman. Bahkan alat-alat tersebut masih perlu disusun sedemikian rupa di sebuah ruangan yang tidak mendukung penempatan alat laboratorium. Aku melihat mahasiswa yang sedang melakukan kalibrasi flowmeter di depan pintu ruang GSS. Alat yang berbentuk selang tersebut direkatkan di daun pintu.



Aku salut dengan para mahasiswa tersebut. Di tengah keterbatasan, di sela-sela perkuliahan jarak jauh, mereka masih semangat membantu mewujudkan impian Pak Syarif untuk membantu tenaga medis dalam menangani pandemi ini. Ketika banyak di antara kami yang memilih pulang ke kampung halaman ataupun diam di kos menjalani hari-hari biasa, mereka mengarantina diri di Salman dan membuat sebuah penemuan yang akan berguna nantinya.

Dibalik kesunyian Masjid Salman, terdapat orang-orang yang mendedikasikan diri dan ilmunya untuk bahu-membahu menciptakan sesuatu dalam menghadapi krisis ini.

Terima kasih. Aku percaya, semua bidang dapat membantu meringankan beban Indonesia melewati situasi yang buruk ini. Seperti himpunan biologi, mikrobiologi, dan farmasi yang mengedukasi mahasiswa dan masyarakat soal COVID-19, seperti himpunan teknik kimia yang membuat hand sanitizer sendiri dan membagikannya ke beberapa rumah sakit, seperti himpunan kimia yang juga membuat hand sanitizer dan mendistribusikan ke pengendara jalanan, dan seperti teman-teman yang menciptakan alat pembantu tenaga kesehatan.

Aku berjalan menuruni tangga GSS Salman, bersiap untuk pulang, dan masih memikirkan pertanyaan yang sama sejak seminggu lalu: Apa yang bisa bidang arsitektur sumbangkan untuk membantu penanggulangan bencana ini ya?


Sumber berita:
https://www.itb.ac.id/news/read/57458/home/itb-kembangkan-ventilator-portabel-untuk-pasien-covid-19
https://www.disway.id/r/889/ventilator-salman
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
25 Ramadan 1440 H, 30 Mei 2019. Hari ini aku pulang ke Serang! Jam 7 pagi, aku berangkat dari Masjid Salman, kembali menuju tempat kosku. Aku merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang, menaruh laundry, menyapu dan mengepel kamar, serta membersihkan kamar mandi. Tepat sebelum dzuhur, aku sudah siap.

Aku pulang menggunakan travel, dan travel-ku berangkat jam 13.30 siang. Usai sholat, aku keluar kamar, mengunci pintu kamar dan utama, dan bersiap kembali ke... Masjid Salman. Ada urusan yang harus kuselesaikan, alias memindahkan foto-foto dokumentasi ke Salsa, anggota divisi dokumentasi yang bertugas menghimpun foto-foto kegiatan Ramadan. Kameraku juga masih kutinggal di sekre.

Aku datang ke gedung sekretariat P3RI, mengenakan seragam ketiga Arsenal musim 2018/2019, dan mendapati teman-temanku di dalamnya. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, menang atau kalah, aku akan tetap menggunakan baju Arsenal saat pulang.

“Udah kalah masih saja dipakai bajunya, dasar si Mbok,” celetuk seseorang. Suara medhok yang sangat khas, siapa lagi kalau bukan Iqbal.

Jawabanku hanya satu. “Bacot.”

Ada satu kegiatan (budaya P3RI lebih tepatnya) yang kusuka menjelang kepulangan seseorang. Berbondong-bondong panitia P3RI akan mengantar temannya yang hendak pulang. Kalau teman tersebut pulang menggunakan kereta, diantar ke stasiun. Bila teman tersebut pulang menaiki pesawat, diantar sampai bandara. Bahkan jika teman tersebut pulang mengendarai motor (alias orang sekitar Bandung dan Jawa Barat), dilepas bersama di tempat parkir. Kisah-kisah pengantar kepulangan lebih baik kuceritakan lain kali.

Dalam hati, aku berharap akan ada cukup banyak orang yang mengantarku pulang (hehe). Aku menelepon Ulya, Titi, Titin, Tami, dan Ata agar tidak tertidur supaya hadir mengantarku pulang.

“Mbok, travel-mu berangkat jam berapa?” tanya seseorang – Hanif. “Jam setengah dua,” jawabku.

“Mbok gak usah dianterin ya, pamitan di sini aja,” seru Iqbal, sambil mengangkat HP-nya, bersiap untuk wefie. Yap, salah satu dari kegiatan mengantar kepulangan adalah foto bersama dengan orang yang akan pulang.

“Dadah Nadhira, hati-hati di jalan ya, semoga Arsenal kapan-kapan menang.” Teman-temanku berkata seolah berpamitan denganku. Aku mendengus kesal.

Titi, yang sedari tadi menemaniku mengingatkanku untuk berangkat, karena waktu sudah menunjukkan pukul 13.12. “Ayo Ti, pesan Grab!” pintaku, panik.

“Kalian beneran gak ada yang mau antar aku?” aku memelas. Ketua P3RI, Hadad berkata, “Mobil Salman dua-duanya lagi dipakai.” Rasa kecewa sedikit menghampiriku.

Titi memesan kendaraan online. Kami berdua berjalan keluar sekre, dan ternyata diikuti oleh gerombolan penghuni sekre. Yakinlah, mereka hanya bercanda tidak mau mengantarku pulang. Hahaha, aku merasakan kemenangan.

Waktu berjalan, dan kini menunjukkan pukul 13.20. Aku menaiki mobil di bangku depan, dengan Iqbal, Rudy, Hafizhan, dan Zhafran di bangku belakang. Mobil yang dipesan Hafizhan datang lebih dulu dibanding mobil yang dipesan Titi, jadilah untuk mengejar waktu aku menaiki mobil yang dipesan Hafizhan.

“Nadhira, benar kan pesan travel hari ini?” tanya Hafizhan, mulai panik.

“Benar kok.”

“Bukan tanggal 31 Mei kan, Mbok?” Iqbal menambahkan.

“Bukan lah.”

“Benar kan jam setengah dua siang berangkatnya?” tanya Hafizhan lagi.

“Iyeee.”

“Kalau ketinggalan, bagaimana loh,” celetuk Zhafran.

“Nggak, gak akan kok,” aku begitu yakin.

Untung saja tempat travel yang akan kunaiki tidak jauh dari daerah ITB, hanya di daerah Cihampelas. Aku sampai pukul 13.28, memasuki ruang tunggu travel dan mengonfirmasi pesanan kepada petugas yang ada di sana. Aman, alhamdulillah, batinku.

Aku berjalan kembali keluar ruang tunggu travel, mendapati mobil yang ditumpangi Titi dan teman-temanku lainnya – Bayu, Fadhil, Bagus, Hanif dan sang ketua P3RI sendiri, Hadad, sudah tiba.

“Gimana Nad, gak telat, kan?” tanya Hafizhan, masih memastikan. “Aman, kok.”

Dua menit kemudian, datang tiga motor yang dikendarai teman-temanku, menghampiri tempatku berdiri. Ulya, Tami, Ata, Shofi, dan Pujas datang tepat waktu. Tak berselang lama, Titin juga sampai.

Bahagiaku membuncah. Terharu rasanya melihat teman-temanku datang untuk mengantarku pulang. Ulya, Titi, Titin, dan Ata memberikan makanan kecil sebagai hadiah untuk kepulanganku. Aku juga memberikan hadiah kepada mereka, yang sudah kuberi pagi hari sebelum kembali dari Salman.

“Hmmm, jadi gini,” salah satu suara laki-laki berkata. Aku yang tengah berbincang dengan teman-teman perempuanku menoleh.

Suara Bayu. “Mbok, berdiri di situ Mbok!” seru Hanif, sambil menunjuk tempat di hadapan Bayu. Jadilah teman-temanku mengelilingiku, dan Bayu kembali bersuara.

“Jadi ini sekadar kenang-kenangan buat mengobati yang tadi malam...” buncahlah tawa semua orang yang ada di sekitarku.

“Jadi ini, kami para ahlus sekre ingin memberikan kenang-kenangan kepada Mbak yang di depan.”

Bayu menyodorkan sebuah kotak hitam – OH itu kotak yang dipakai untuk meminta donasi alias kotak infak, memintaku untuk membukanya, dan kudapati sebuah kotak terbungkus kertas koran di dalamnya. Aku mengambilnya, dan semua orang bersorak.

“Dibukanya harus di travel ya!” seru Hanif. Aku masih tertawa.

Hafizhan merekam menggunakan HP-ku, kemudian menghadapkan kamera HP kepadaku dan bertanya, “Apa sepatah dua patah kata untuk ahlus sekre?”

Aku masih tidak bisa berhenti tertawa dan sedikit tidak percaya. Para ahlus sekre, alias bocah-bocah yang hobi meledekku dan klub kesayanganku, memberikan hadiah kepadaku.

“Untuk para ahlus sekre, terima kasih atas kenang-kenangannya. Pesanku satu, menang atau kalah, aku tetap cinta Arsenal!” seruku mantap.

Kemudian aku teringat sesuatu. Aku mengambil makanan kecil yang kusimpan di dalam bungkus berisi oleh-oleh titipan orang tua, kembali menghampiri Bayu, dan memberikannya. Sebungkus Hello Panda dan satu saset Enervon-C. Tinggal sang super korlap yang belum sempat kuberikan hadiah.

Sebagai simbolis penukaran hadiah, aku berfoto bersama Bayu, dengan saset Enervon-C di tangannya dan kotak hitam berlogo Rumah Amal Salman di belakang, yang dipegang oleh Hanif. Tak lupa, aku berfoto bersama teman-temanku yang mengantarku, minus Shofi yang memotret dan memang tidak ingin difoto.


“Nadhira kan dokum, ayo Nad fotoin kita. Nanti yang dikirim ke grup foto yang gak ada kamunya ya!” masih kurang ajar mereka ternyata.

Aku memotret mereka semua, berpamitan untuk yang terakhir kalinya, memeluk teman-temanku yang perempuan, dan masuk ke dalam ruang tunggu travel. Satu persatu, teman-temanku pulang untuk kembali bertugas di Masjid Salman. Dan tepat pukul 13.50, mobil travel berangkat dari Cihampelas.

***

Aku menatap kotak yang diberikan para ahlus sekre. Sebuah sticky notes tertempel di atasnya, bertuliskan: Semoga selamat sampai tujuan. Sekadar kenang-kenangan dari kami para penghuni tetap. Hehe. Dari para ahlus sekre.

Perlahan, kurobek kertas koran yang menutupi kotak tersebut. Sebuah kotak Beng-Beng ternyata. Aku membuka kotak Beng-Beng tersebut, dan ternyata berisi minuman Fruit Tea, air mineral gelas, dan kue basah, yang kutahu, semua makanan, minuman, bahkan kotak tersebut merupakan barang-barang yang terdapat di dalam sekre yang merupakan donasi dan selalu dibagikan kepada panitia saat berbuka, alias makanan gratis. Dasar tidak modal.

Yang menarik perhatianku bukan makanan ataupun minumannya. Di dalam kotak Beng-Beng tersebut terdapat banyak sekali sticky notes yang berserakan. Aku mengambil satu-persatu kertas-kertas tersebut, kemudian membacanya.

Aku mengernyitkan dahi dan tertawa dalam hati.

4esena1
Eh ini 4-1 ya?
Semoga yang disemogakan untuk 4rsena1 dapat disegerakan
I love Chelsea...
Fii 4maan1llah Nadhira
Semangat N4dh1ra! :)
Dadah Mbok Dhir! Walaupun 4rsena1 kalah, kamu tetap pemenangnya kok
Kamu spesial kayak 4rsena1

Hampir semua tulisan mengandung unsur 4-1. Memang kurang ajar sekali teman-temanku ini. Tapi yang lebih lucu adalah tulisan-tulisan ini:

Sampai jumpa lagi di 1 4 4-1
Sampai bertemu di 14 4-1 H.
P3RI 144-1 H. menunggumu tahun depan

Aku tersenyum membacanya. Siapa sangka, kekalahan klub yang sudah kudukung hampir sembilan tahun ini malah membuat sebuah kenangan yang tidak terlupakan di Bulan Ramadan.

Aku menaruh kembali kertas-kertas yang sudah kususun rapi ke dalam kotak, menutupnya, sembari mengaminkan, semoga aku dan teman-temanku kembali bertemu pada Ramadan 1441 H. tahun depan.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

About me

About Me

Nadhira KA, 21. An architecture student who loves photography and proudly be as a Gooner.

Follow Us

  • twitter
  • instagram
  • behance

Categories

  • Nadhira dan Cinta Pertama
  • karena kita; Axiora
  • kehidupan ITB
  • kepingan kenangan

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  November 2023 (1)
      • Unsent Letter - Untuk yang Terakhir Kalinya
  • ►  2020 (3)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
  • ►  2019 (5)
    • ►  June 2019 (4)
    • ►  May 2019 (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
  • ►  2017 (45)
    • ►  December 2017 (3)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  August 2017 (1)
    • ►  July 2017 (15)
    • ►  June 2017 (5)
    • ►  May 2017 (14)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  September 2016 (3)
    • ►  August 2016 (3)
    • ►  July 2016 (6)
    • ►  June 2016 (6)
    • ►  May 2016 (4)
    • ►  April 2016 (7)
    • ►  March 2016 (2)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (46)
    • ►  December 2015 (8)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  September 2015 (4)
    • ►  August 2015 (6)
    • ►  July 2015 (3)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (1)
    • ►  April 2015 (3)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (8)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (24)
    • ►  December 2014 (7)
    • ►  November 2014 (4)
    • ►  October 2014 (12)
    • ►  September 2014 (1)

Facebook

ThemeXpose