Mendadak Jadi Tempat Setoran

by - July 01, 2017

Seperti tahun-tahun sebelumnya, lebaran kali ini aku kembali berkunjung ke rumah keluarga besar ayahku. Bedanya, tahun ini tidak dilaksanakan di tempat yang sama. Tahun ini, silaturahim dilakukan di rumah keluarga besar adik nenekku.

Dan seperti biasanya pula, acara yang paling ditunggu-tunggu adalah pembagian THR. Dan entah mengapa, nama ayah selalu disebut untuk membagikan THR. Memangnya Ayah sebegitu banyak uang ya? Hm.

Acara pembagian THR dipandu oleh paman ayahku yang sering kusebut kakek. Orangnya humoris dan koplak. Ada saja perkataan beliau yang berhasil membuat kami tertawa. Yang pertama membagikan adalah Om Hendi, anggota baru keluarga kami sejak H-2 sebelum UN 2017, menikahi kakak sepupuku Teh Tya, dan gara-gara tanggal yang bertepatan dengan persiapan Ujian Nasional lah aku tidak bisa menghadiri pernikahannya.

Barisan terdepan dalam antrian adalah anak-anak kecil dan anak SD. Mereka berbaris dengan rapi sambil berharap semoga dikasih lebih dari selembar. Najla tidak ikut. Ia tidak berada dalam kondisi mood yang baik. Biasa lah, anak kecil habis bangun tidur suka begitu. Ia malah bergelayut manja di pangkuan Bunda.

Gelombang kedua adalah para remaja dan mahasiswa. Antrian yang ini jelas lebih rapi, walaupun sesekali terdengar rayuan, “Kasih lagi dong Om.” Aku dan Nada? Hanya duduk dan menonton dari karpet yang telah disediakan sambil terkekeh melihat kelakuan mereka. Ya, aku dan Nada tidak ikut mengantre dalam pembagian THR. Sejak aku kelas 6 SD, aku sudah tidak pernah lagi mendapat THR dan tidak pernah diajarkan untuk meminta THR.

Tiba-tiba, “Om Deden! Om Deden! Om Deden!”

Nama Ayah disebut-sebut. Artinya, giliran ayahku yang membagikan THR. Namun, untuk yang kedua kalinya, aku yang mengambil alih tugas Ayah tersebut. Pecahan lima ribuan kuambil dari Bunda, dan aku berjalan menuju antrean dan kerumunan orang-orang.

Sebelum membagikan, Kakek terlebih dahulu memperkenalkanku. “Ya ini putrinya Pak Deden, siapa namanya teh, lupa.”

“Nadhira.”

“Oh ya! Ini namanya Kak Nadhira. Inget ya, namanya Kak Nadhira,” ucap Kakek. “Nadhira sudah siap?” lanjutnya.

Aku mengangguk. Sebelumnya, kubisikan sesuatu pada Kakek.

“Oh ya. Kata Kak Nadhira, siapa yang bisa ngaji, dapat dua lembar!” teriak Kakek.

Sontak, anak-anak kecil yang tadinya ramai di hadapanku mendadak diam. Tiba-tiba...

“Aku! Aku!” sesosok anak seumuran SD mengacungkan tangannya tinggi sambil melompat. Aku menyuruhnya maju mendekatiku.

Ngaji surah apa Kak?” tanyanya.

“Juz 30 bisa?” aku balik bertanya. Ia mengangguk. “Ya sudah, surah Al-Muthaffifin ya,” pintaku. Entah mengapa, di pikiranku saat itu hanya ada surah Al-Muthaffifin.

Aku meminta para sudaraku, juga om dan tanteku, untuk diam, mendengarkan lantunan ayat Alquran yang akan dibacakan oleh sepupu jauh yang belum pernah kutemui sebelumnya ini. Ia membaca ta’awudz, dilanjut basmalah, dan mulai membaca (bil ghoib ya) surah Al-Muthaffifin. Aku mendengarkan dengan seksama. Lantas, aku tersenyum simpul. Bocah ini membacakan surah ke-83 dalam Alquran itu dengan lancar. Setelah membaca beberapa ayat, aku menyuruhnya berhenti dan kuberikan kepadanya dua lembar lima ribuan.

“Ayo! Siapa lagi yang mau ngaji?” Kakek berteriak kembali.

Beberapa anak mulai mengacungkan tangan. Ada yang kusuruh baca Ad-Duha, ‘Abasa, hingga An-Naba. Anak-anak seumuran TK dan SD kelas 1 aku pinta membaca surah-surah pendek. Ada yang malu-malu, ada juga yang sangat bersemangat. Yang tidak mengaji, hanya kuberi satu lembar saja.

Pembagian THR untuk anak-anak selesai dilaksanakan. Kali ini, giliran para remaja dan mahasiswa yang diperbolehkan mengantre.

Krik krik. Selama satu menit, tidak ada yang mau mengantre di depanku. Sepupu-sepupuku yang umurnya tidak beda jauh denganku malah berkumpul di belakang. Aku tertawa. Lagi-lagi, Kakek, berkata untuk mencairkan suasana. “Ya, ada yang bisa ngaji gak nih?”

Tak ada yang menjawab. Yang ada hanya kekehan para remaja. “Ya sudah, gak usah ngaji juga gak apa-apa,” kataku pada akhirnya. Barulah setelah itu, mereka dengan malu-malu mengantre di depanku.

Semua anak dan remaja telah mendapatkan jatahnya masing-masing, namun uang yang kupegang masih cukup banyak. Anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin kembali mengangkat tangan. Ia ingin mendapat uang tambahan lagi. Namun, salah satu tanteku mencegatku. “Gantian yang lain ya, yang ngebagiin. Kalau mau tambahan minta lagi aja ke Kak Nadhira langsung. Jangan lupa ngaji dulu ya tapi,” ujarnya sambil tertawa.

Aku kembali duduk dekat kedua orang tuaku. Eh benar saja. Belum semenit aku duduk, si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin mendatangiku. “Kak aku mau setor lagi!” serunya.

“Mau setor surah apa?” tanyaku.

“An-Naziat boleh Kak?” tanyanya. Aku mengiyakan.

Setelah setoran, kembali aku memberinya dua lembar lima ribuan. Ia dengan senang hati menerimanya, sambil berteriak, “Yes dapet lagi!”

Tak berapa lama, seseorang datang kembali. Bajunya mirip dengan si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin itu. Sepertinya adiknya. “Mau setor?” tanyaku. Ia mengangguk.

“Juz 30 hafal?” tanyaku lagi. Ia kembali mengangguk. Lalu aku menyuruhnya membaca surah Al-Buruj. Mumtaz. Aku memberinya dua lembar.

Datang lagi seorang anak, kali ini memakai kaus abu-abu. Sepertinya umurnya tidak beda jauh dengan si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin. Ia menyetorkan surah An-Naba.

“Ayo Dek, gak usah malu,” suara seseorang terdengar dari belakangku. Aku menengok ke arah sumber suara. Ternyata seorang ibu sedang memotivasi anak perempuannya untuk menyetorkan hafalannya kepadaku. Aku tersenyum. “Ayo setoran sini,” ajakku.

Si anak perempuan menggeleng. “Gak mau Bunda, takut salah,” tolaknya.

Gak apa-apa, kalau salah nanti kakaknya yang benerin. Anggap aja ini murojaah biasa,” ujar ibunya lagi.

Akhirnya, anak perempuan itu duduk di hadapanku. “Denger-dengen udah hafal banyak ya,” kataku. Anak itu menjawab, “Cuma dua juz kok, Kak.”

Aku mengangguk. Anak perempuan tersebut kemudian menyetorkan salah satu surah di juz 30 (aku lupa surahnya) kepadaku. Aku menyimak bacaannya. Masyaallah. Makhraijul huruf­-nya sangat bagus. Nada mengajinya pun sangat enak didengar. Setelah selesai, aku bertanya kepadanya. “Namanya siapa?”

“Nazwa.”

“Nazwa kelas berapa, deh?” tanyaku.

“Kelas enam.”

“Tajwid kamu bagus, lho,” pujiku. Ia tersenyum dan berterima kasih.

Akhirnya, selama hampir setengah jam aku sibuk meladeni empat orang yang terus menerus menyetorkan hafalannya padaku. Si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin–yang ternyata bernama Fazel, adiknya Fazel, Nazwa, dan anak laki-laki berkaus abu-abu yang merupakan adiknya Nazwa. Ada beberapa anak kecil juga yang menyetorkan hafalan surah-surah pendek kepadaku.

Fazel dan anak berkaus abu-abu (ya Allah, aku lupa namanya) berebutan menyetorkan hafalannya padaku. Bahkan berlomba siapa yang lebih banyak mendapatkan THR hasil setoran hafalan. Aku terkikik melihat kelakuan kedua bocah SD ini.

“Kak, setor Ar-Rahman boleh nggak?” tanya Fazel.

“Kak, aku mau setor surah Al-Baqarah ya. Tapi yang awal-awal aja,” pinta anak berkaus abu-abu.

Aku tersenyum dan mengiyakan. Ketika mereka semangat menyetor, aku pun ikut semangat menyimak. Masyaallah, anak SD, lho.

“Kak, aku mau setor surah Yasin,” ucap Fazel.

“Eh, aku belum hafal surah Yasin,” kataku. “Tunggu sebentar, ya.”

Karena aku tidak membawa HP ataupun Alquran, aku meminjam HP Bunda dan membuka Alquran digital. “Sok, mulai Yasin-nya,” ujarku. Aku mendengarkan bacaan Fazel sembari melihat Alquran digital.

“Kakak, aku ngajinya pakai langgam ya,” kali ini, anak berkaus abu-abu yang mencuri perhatianku.

“Langgam apa?” tanyaku. Ia menjawab tak tahu. “Ya sudah, ngaji aja dulu,” kataku pada akhirnya.

Ia membacakan surah An-Nas. Ketika aku mendengarnya, aku tidak dapat menebak jenis langgam tersebut. Namun yang kutahu, itu langgam yang sering digunakan para peserta Hafidz Indonesia yang tayang di salah satu televisi swasta Indonesia.

Fazel, juga adiknya pun tak mau kalah. Mereka menyetorkan hafalan surah pendek menggunakan langgam. Hingga akhirnya, uang yang kupegang bersisa satu lembar saja.

Aku bingung hendak diapakan uang ini. Fazel dan anak berkaus abu-abu masih ingin mendapatkannya. Namun Bunda bilang, “Itu Kak. Kasih Nazwa aja.”

Oh ya benar. Kasihan anak perempuan itu selalu disabotase oleh tiga bocah laki-laki. Akhirnya, kuberikan selembar lima ribuan tersebut pada Nazwa dengan syarat tentu saja setoran terlebih dahulu. “Sambung ayat aja Kak,” usul Nada.

Akhirnya, aku mengetes Nazwa di juz 29. Aku membacakan satu potongan ayat di surah Al-Qiyamah (lagi-lagi, itu yang terpikirkan pertama kali) dan memintanya untuk melanjutkan ayat tersebut. Dan masyaallah, Nazwa dapat menyambungkan ayat itu dengan sempurna.

Selesailah tugasku membagikan THR, dengan hampir separuhnya diberikan kepada bocah-bocah yang menyetorkan hafalan padaku. Mendadak, aku seperti menjadi musyrifah tempat setoran para muridnya. Menyenangkan, sekaligus mengharukan.

Aku berkesempatan bertanya kepada Fazel. “Fazel kelas berapa, deh?”

“Kelas 6 Kak,” aku manggut-manggut. “Insyaallah nanti SMP mau lanjut ke Al-Ma’tuq,” lanjutnya.

Sekilas, aku pernah mendengar nama pesantren tersebut. “Al-Ma’tuq yang pesantren tahfizh itu bukan?”

“Iya Kak,” Fazel menjawab dengan mantap.

Masyaallah, calon hafizh nih,” godaku. Ia tersenyum.

Di mobil dalam perjalanan pulang, Bunda bercerita. “Dulu, waktu Kakak masih kecil, Kakak juga sering banget disuruh ngaji sama Kakek (re: paman Ayah itu lho). Tapi bedanya, Kakak disuruh ngaji doang, nggak dapet THR-nya. Kakek bilang, beliau senang banget ngedenger Kakak ngaji.”

Aku tertawa. Ya, aku ingat. Semasa bocah aku sering berdiri di depan antrean dan mengaji surah-surah pendek, atau doa-doa pilihan. Kayaknya, cuma aku yang sering diminta seperti itu. Nada hampir tidak pernah, dikarenakan ia tidak berani berhadapan dengam banyak orang. Berbeda degan aku yang sering malu-maluin.

Tapi yang jelas, hari itu aku bahagia sekali. Menemukan anak-anak dengan semangat menghafal yang tinggi. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan “Menghafalnya jangan cuma karena THR ya,” kepada mereka saat ini. Namun setidaknya, tekad mereka dalam menghafal patut diacungi jempol. Dan seharusnya, sepupu-sepupuku yang remaja merasa malu karena tidak memiliki ghiroh untuk menjadi penjaga ayat suci-Nya. Dan kali ini, aku mendapatkan suntikan semangat dari bocah-bocah tersebut untuk menyetor dan memurojaah hafalanku.

Seperti yang aku katakan kepada setiap orang yang kuberi THR, “Jangan lupa baca Alquran ya. Dan semangat buat menghafal Qur’an!” serta tambahan kepada Fazel dan adiknya serta Nazwa dan adiknya, “Ayo, tambah semangat lagi menghafalnya. Kalian calon hafizh-hafizhah nih! Insyaallah.”

You May Also Like

0 comments