Mendadak Jadi Tempat Setoran
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, lebaran kali ini aku kembali berkunjung ke rumah
keluarga besar ayahku. Bedanya, tahun ini tidak dilaksanakan di tempat yang
sama. Tahun ini, silaturahim dilakukan di rumah keluarga besar adik
nenekku.
Dan
seperti biasanya pula, acara yang paling ditunggu-tunggu adalah pembagian THR. Dan
entah mengapa, nama ayah selalu disebut untuk membagikan THR. Memangnya Ayah
sebegitu banyak uang ya? Hm.
Acara
pembagian THR dipandu oleh paman ayahku yang sering kusebut kakek. Orangnya
humoris dan koplak. Ada saja perkataan beliau yang berhasil membuat kami
tertawa. Yang pertama membagikan adalah Om Hendi, anggota baru keluarga kami
sejak H-2 sebelum UN 2017, menikahi kakak sepupuku Teh Tya, dan gara-gara
tanggal yang bertepatan dengan persiapan Ujian Nasional lah aku tidak bisa
menghadiri pernikahannya.
Barisan
terdepan dalam antrian adalah anak-anak kecil dan anak SD. Mereka berbaris
dengan rapi sambil berharap semoga dikasih lebih dari selembar. Najla tidak
ikut. Ia tidak berada dalam kondisi mood yang baik. Biasa lah, anak
kecil habis bangun tidur suka begitu. Ia malah bergelayut manja di pangkuan
Bunda.
Gelombang
kedua adalah para remaja dan mahasiswa. Antrian yang ini jelas lebih rapi,
walaupun sesekali terdengar rayuan, “Kasih lagi dong Om.” Aku dan Nada? Hanya
duduk dan menonton dari karpet yang telah disediakan sambil terkekeh melihat
kelakuan mereka. Ya, aku dan Nada tidak ikut mengantre dalam pembagian THR. Sejak
aku kelas 6 SD, aku sudah tidak pernah lagi mendapat THR dan tidak pernah
diajarkan untuk meminta THR.
Tiba-tiba,
“Om Deden! Om Deden! Om Deden!”
Nama Ayah
disebut-sebut. Artinya, giliran ayahku yang membagikan THR. Namun, untuk yang
kedua kalinya, aku yang mengambil alih tugas Ayah tersebut. Pecahan lima ribuan
kuambil dari Bunda, dan aku berjalan menuju antrean dan kerumunan orang-orang.
Sebelum
membagikan, Kakek terlebih dahulu memperkenalkanku. “Ya ini putrinya Pak Deden,
siapa namanya teh, lupa.”
“Nadhira.”
“Oh ya!
Ini namanya Kak Nadhira. Inget ya, namanya Kak Nadhira,” ucap Kakek.
“Nadhira sudah siap?” lanjutnya.
Aku
mengangguk. Sebelumnya, kubisikan sesuatu pada Kakek.
“Oh ya.
Kata Kak Nadhira, siapa yang bisa ngaji, dapat dua lembar!” teriak
Kakek.
Sontak,
anak-anak kecil yang tadinya ramai di hadapanku mendadak diam. Tiba-tiba...
“Aku!
Aku!” sesosok anak seumuran SD mengacungkan tangannya tinggi sambil melompat.
Aku menyuruhnya maju mendekatiku.
“Ngaji surah
apa Kak?” tanyanya.
“Juz 30
bisa?” aku balik bertanya. Ia mengangguk. “Ya sudah, surah Al-Muthaffifin ya,”
pintaku. Entah mengapa, di pikiranku saat itu hanya ada surah Al-Muthaffifin.
Aku
meminta para sudaraku, juga om dan tanteku, untuk diam, mendengarkan lantunan
ayat Alquran yang akan dibacakan oleh sepupu jauh yang belum pernah kutemui
sebelumnya ini. Ia membaca ta’awudz, dilanjut basmalah, dan mulai
membaca (bil ghoib ya) surah Al-Muthaffifin. Aku mendengarkan dengan
seksama. Lantas, aku tersenyum simpul. Bocah ini membacakan surah ke-83 dalam
Alquran itu dengan lancar. Setelah membaca beberapa ayat, aku menyuruhnya
berhenti dan kuberikan kepadanya dua lembar lima ribuan.
“Ayo!
Siapa lagi yang mau ngaji?” Kakek berteriak kembali.
Beberapa
anak mulai mengacungkan tangan. Ada yang kusuruh baca Ad-Duha, ‘Abasa, hingga
An-Naba. Anak-anak seumuran TK dan SD kelas 1 aku pinta membaca surah-surah
pendek. Ada yang malu-malu, ada juga yang sangat bersemangat. Yang tidak
mengaji, hanya kuberi satu lembar saja.
Pembagian
THR untuk anak-anak selesai dilaksanakan. Kali ini, giliran para remaja dan
mahasiswa yang diperbolehkan mengantre.
Krik
krik. Selama satu menit,
tidak ada yang mau mengantre di depanku. Sepupu-sepupuku yang umurnya tidak
beda jauh denganku malah berkumpul di belakang. Aku tertawa. Lagi-lagi, Kakek,
berkata untuk mencairkan suasana. “Ya, ada yang bisa ngaji gak nih?”
Tak ada
yang menjawab. Yang ada hanya kekehan para remaja. “Ya sudah, gak usah ngaji
juga gak apa-apa,” kataku pada akhirnya. Barulah setelah itu, mereka dengan
malu-malu mengantre di depanku.
Semua anak
dan remaja telah mendapatkan jatahnya masing-masing, namun uang yang kupegang
masih cukup banyak. Anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin kembali mengangkat tangan.
Ia ingin mendapat uang tambahan lagi. Namun, salah satu tanteku mencegatku.
“Gantian yang lain ya, yang ngebagiin. Kalau mau tambahan minta lagi aja
ke Kak Nadhira langsung. Jangan lupa ngaji dulu ya tapi,” ujarnya sambil
tertawa.
Aku
kembali duduk dekat kedua orang tuaku. Eh benar saja. Belum semenit aku duduk,
si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin mendatangiku. “Kak aku mau setor lagi!”
serunya.
“Mau setor
surah apa?” tanyaku.
“An-Naziat
boleh Kak?” tanyanya. Aku mengiyakan.
Setelah
setoran, kembali aku memberinya dua lembar lima ribuan. Ia dengan senang hati
menerimanya, sambil berteriak, “Yes dapet lagi!”
Tak berapa
lama, seseorang datang kembali. Bajunya mirip dengan si
anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin itu. Sepertinya adiknya. “Mau setor?”
tanyaku. Ia mengangguk.
“Juz 30
hafal?” tanyaku lagi. Ia kembali mengangguk. Lalu aku menyuruhnya membaca surah
Al-Buruj. Mumtaz. Aku memberinya dua lembar.
Datang
lagi seorang anak, kali ini memakai kaus abu-abu. Sepertinya umurnya tidak beda
jauh dengan si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin. Ia menyetorkan surah An-Naba.
“Ayo Dek, gak
usah malu,” suara seseorang terdengar dari belakangku. Aku menengok ke arah
sumber suara. Ternyata seorang ibu sedang memotivasi anak perempuannya untuk
menyetorkan hafalannya kepadaku. Aku tersenyum. “Ayo setoran sini,” ajakku.
Si anak
perempuan menggeleng. “Gak mau Bunda, takut salah,” tolaknya.
“Gak
apa-apa, kalau salah nanti kakaknya yang benerin. Anggap aja ini murojaah
biasa,” ujar ibunya lagi.
Akhirnya,
anak perempuan itu duduk di hadapanku. “Denger-dengen udah hafal banyak
ya,” kataku. Anak itu menjawab, “Cuma dua juz kok, Kak.”
Aku
mengangguk. Anak perempuan tersebut kemudian menyetorkan salah satu surah di
juz 30 (aku lupa surahnya) kepadaku. Aku menyimak bacaannya. Masyaallah.
Makhraijul huruf-nya sangat bagus. Nada mengajinya pun sangat enak
didengar. Setelah selesai, aku bertanya kepadanya. “Namanya siapa?”
“Nazwa.”
“Nazwa
kelas berapa, deh?” tanyaku.
“Kelas
enam.”
“Tajwid
kamu bagus, lho,” pujiku. Ia tersenyum dan berterima kasih.
Akhirnya,
selama hampir setengah jam aku sibuk meladeni empat orang yang terus menerus
menyetorkan hafalannya padaku. Si anak-pembaca-surah-Al-Muthaffifin–yang
ternyata bernama Fazel, adiknya Fazel, Nazwa, dan anak laki-laki berkaus
abu-abu yang merupakan adiknya Nazwa. Ada beberapa anak kecil juga yang
menyetorkan hafalan surah-surah pendek kepadaku.
Fazel dan
anak berkaus abu-abu (ya Allah, aku lupa namanya) berebutan menyetorkan
hafalannya padaku. Bahkan berlomba siapa yang lebih banyak mendapatkan THR hasil
setoran hafalan. Aku terkikik melihat kelakuan kedua bocah SD ini.
“Kak, setor
Ar-Rahman boleh nggak?” tanya Fazel.
“Kak, aku
mau setor surah Al-Baqarah ya. Tapi yang awal-awal aja,” pinta anak berkaus
abu-abu.
Aku
tersenyum dan mengiyakan. Ketika mereka semangat menyetor, aku pun ikut
semangat menyimak. Masyaallah, anak SD, lho.
“Kak, aku
mau setor surah Yasin,” ucap Fazel.
“Eh, aku
belum hafal surah Yasin,” kataku. “Tunggu sebentar, ya.”
Karena aku
tidak membawa HP ataupun Alquran, aku meminjam HP Bunda dan membuka Alquran
digital. “Sok, mulai Yasin-nya,” ujarku. Aku mendengarkan bacaan Fazel
sembari melihat Alquran digital.
“Kakak, aku
ngajinya pakai langgam ya,” kali ini, anak berkaus abu-abu yang mencuri perhatianku.
“Langgam
apa?” tanyaku. Ia menjawab tak tahu. “Ya sudah, ngaji aja dulu,” kataku
pada akhirnya.
Ia
membacakan surah An-Nas. Ketika aku mendengarnya, aku tidak dapat menebak jenis
langgam tersebut. Namun yang kutahu, itu langgam yang sering digunakan para
peserta Hafidz Indonesia yang tayang di salah satu televisi swasta Indonesia.
Fazel, juga
adiknya pun tak mau kalah. Mereka menyetorkan hafalan surah pendek menggunakan
langgam. Hingga akhirnya, uang yang kupegang bersisa satu lembar saja.
Aku
bingung hendak diapakan uang ini. Fazel dan anak berkaus abu-abu masih ingin
mendapatkannya. Namun Bunda bilang, “Itu Kak. Kasih Nazwa aja.”
Oh ya
benar. Kasihan anak perempuan itu selalu disabotase oleh tiga bocah laki-laki.
Akhirnya, kuberikan selembar lima ribuan tersebut pada Nazwa dengan syarat tentu
saja setoran terlebih dahulu. “Sambung ayat aja Kak,” usul Nada.
Akhirnya,
aku mengetes Nazwa di juz 29. Aku membacakan satu potongan ayat di surah
Al-Qiyamah (lagi-lagi, itu yang terpikirkan pertama kali) dan memintanya untuk
melanjutkan ayat tersebut. Dan masyaallah, Nazwa dapat menyambungkan
ayat itu dengan sempurna.
Selesailah
tugasku membagikan THR, dengan hampir separuhnya diberikan kepada bocah-bocah
yang menyetorkan hafalan padaku. Mendadak, aku seperti menjadi musyrifah
tempat setoran para muridnya. Menyenangkan, sekaligus mengharukan.
Aku berkesempatan
bertanya kepada Fazel. “Fazel kelas berapa, deh?”
“Kelas 6
Kak,” aku manggut-manggut. “Insyaallah nanti SMP mau lanjut ke Al-Ma’tuq,”
lanjutnya.
Sekilas,
aku pernah mendengar nama pesantren tersebut. “Al-Ma’tuq yang pesantren tahfizh
itu bukan?”
“Iya Kak,”
Fazel menjawab dengan mantap.
“Masyaallah,
calon hafizh nih,” godaku. Ia tersenyum.
Di mobil
dalam perjalanan pulang, Bunda bercerita. “Dulu, waktu Kakak masih kecil, Kakak
juga sering banget disuruh ngaji sama Kakek (re: paman Ayah itu
lho). Tapi bedanya, Kakak disuruh ngaji doang, nggak dapet THR-nya.
Kakek bilang, beliau senang banget ngedenger Kakak ngaji.”
Aku
tertawa. Ya, aku ingat. Semasa bocah aku sering berdiri di depan antrean dan
mengaji surah-surah pendek, atau doa-doa pilihan. Kayaknya, cuma aku yang
sering diminta seperti itu. Nada hampir tidak pernah, dikarenakan ia tidak
berani berhadapan dengam banyak orang. Berbeda degan aku yang sering
malu-maluin.
Tapi yang
jelas, hari itu aku bahagia sekali. Menemukan anak-anak dengan semangat
menghafal yang tinggi. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan “Menghafalnya
jangan cuma karena THR ya,” kepada mereka saat ini. Namun setidaknya, tekad
mereka dalam menghafal patut diacungi jempol. Dan seharusnya, sepupu-sepupuku
yang remaja merasa malu karena tidak memiliki ghiroh untuk menjadi
penjaga ayat suci-Nya. Dan kali ini, aku mendapatkan suntikan semangat dari
bocah-bocah tersebut untuk menyetor dan memurojaah hafalanku.
Seperti
yang aku katakan kepada setiap orang yang kuberi THR, “Jangan lupa baca Alquran
ya. Dan semangat buat menghafal Qur’an!” serta tambahan kepada Fazel dan
adiknya serta Nazwa dan adiknya, “Ayo, tambah semangat lagi menghafalnya.
Kalian calon hafizh-hafizhah nih! Insyaallah.”
0 comments