Jadi Guru TK?
Aku dan
keluargaku sedang berada dalam perjalanan menuju Gramedia terbesar di BSD City,
Serpong. Di tengah mengendarai mobil, Ayah bertanya, “Kak, kapan bisa ngambil
ijazah?”
“Ya
setelah masuk sekolah, kali,” jawabku.
“Emang
kalau sekarang gak bisa?” Ayah bertanya lagi.
“Sekolah
juga libur kali Yah.”
Tiba-tiba,
Bunda menimpali. “Sekolah libur ya guru-gurunya libur juga, Ayah. Beda sama
pegawai swasta mah.”
“Wih,
enak juga ya jadi guru. Liburnya bareng anak-anak murid. Jadi guru aja,
Kak,” celetuk Ayah.
“Enak kali
ya jadi guru TK. Hehehe,” cerocosku.
Nada, yang
dari tadi diam saja, ikut bicara. “Berarti harus bisa cebokin anak
kecil, Kak.”
Aku termenung.
“Iya juga, sih. Eh tapi seru tau. Bisa main ayunan sama perosotan
bareng sama anak kecil. Jadi gak perlu malu kalau lagi main. Bisa
loncat-loncat juga.”
Bunda
mengomentari, sambil tertawa. “Nanti kalau Kakak kayak gitu mainannya cepet rusak,
terus dipanggil kepala sekolah, nanti gak dikasih gaji, lho.”
Aku ikut
tertawa.
“Kalau
Kakak jadi guru TK kayak gitu, nanti yang bingung murid-muridnya, Kak. Ntar
mereka mikir, ‘Ini guru gue kenapa coba,’ Ntar murid-muridnya
malu Kak punya guru kayak Kakak hahaha,” canda Nada.
Ah,
bener juga sih. Tapi gak apa-apa lah ya, hehehe.
“Malu sih,
Kak. Inget Kak, kemuliaan seorang perempuan itu terletak pada rasa
malunya,” tiba-tiba Bunda bicara.
Bukan
hanya sekali Bunda berkata seperti itu. Seingatku sudah tiga kali bahkan. Dan
Bunda mengatakannya, setelah membaca pesan dari seseorang.
Kemudian
aku terdiam.
0 comments