Ketika Nadhira Menyetrika
Hari ini, aku disuruh Bunda menyetrika. Selepas subuh, aku langsung menggelar alas setrika dan menyalakan setrikanya. Aku menyetrika baju-baju milik Najla. Sebenarnya, ini tugas Nada semalam. Namun karena satu dan lain hal adikku yang satu itu tidak menyelesaikan pekerjaannya. Jadilah aku yang ditugasi untuk menyelesaikannya.
Setelah dzhuhur, Bunda kembali memintaku untuk menyetrika. Kali ini, aku diberi tugas menyetrika pakaian rumahan milikku, Nada, Bunda, Ayah, dan ditambah dua stel seragam kerja Ayah. Namun, rasa kantuk menghampiri sehingga aku tertidur bahkan sebelum memulai menyetrika.
Aku bangun menjelang pukul setengah tiga sore. Dengan mata yang masih berat dan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, aku kembali menggelar alas setrika dan menyalakan setrikanya. Aku memulai dari seragam Ayah terlebih dahulu.
Pekerjaan menyetrika kulakukan dengan senang hati, karena aku sudah terbiasa melakukannya semasa di Insan Cendekia. Biasanya, aku bergantian dengan teman kamarku untuk menyetrika, karena kebetulan anak kamar 102 H semuanya mencuci baju sendiri.
"Kak, bisa nyetrika seragam Ayah?" Bunda muncul dari balik pintu.
"Bisa lah. Kakak sering kali nyetrika di IC," ucapku.
"Jangan terlalu panas ya Kak setrikanya, nanti bolong lagi kayak kerudung Najla..."
Oke. Jika di IC aku rajin menyetrika, lain halnya dengan di rumah. Urusan menyetrika diserahkan pada Mbak yang bekerja di rumah. Namun, karena Mbak-nya belum masuk dan entah kapan akan masuk kembali, jadilah aku yang mengganti peran beliau. Karena itulah Bunda agak sedikit ragu dengan kemampuan menyetrikaku. Terlebih, beberapa bulan lalu, aku membuat sebuah lubang di tengah kerudung Najla yang baru dibeli Bunda. Hehe.
Tak terasa, adzan asar mulai berkumandang. Sedangkan setrikaanku masih seperempat lagi.
"Kakak, sholat asar dulu."
"Iya," teriakku dari dalam kamar.
Seketika, aku teringat kembali masa-masa di Insan Cendekia. Aku yang senang menyetrika lewat pukul dua siang, hingga waktu asar pun datang.
"Dhir, masjid yuk."
Jika sudah terdengar adzan, Nuni dan Hani pasti mengajakku ke masjid. Sering kali kutinggalkan tumpukan pakaian yang belum disetrika di lantai, mencabut kabel setrika, dan bergegas mengambil wudhu dan pergi ke masjid. Pekerjaan menyetrika kulanjutkan kembali setelah balik dari masjid (kalau rajin), atau kurapikan sejenak baju yang sedikit berserakan di lantai untuk dilanjutkan sepulang sholat isya.
Inilah yang aku syukuri. Mempunyai teman yang selalu mengingatkan pada kebaikan, bahkan ketika aku sedang melakukan pekerjaan calon ibu rumah tangga. Kapan lagi ketika aku sedang menyetrika disuruh ke masjid?
Akhirnya, usai sholat asar, aku kembali melaksanakan tugas menyetrika. Hanya tersisa bajuku dan Nada, serta kerudung Najla berwarna hitam yang pernah kubolongi itu. Namun kali ini, aku tidak membolonginya lagi. Hehe.
0 comments