Maha Pengabul Doa
Kali ini,
aku akan menceritakan kisah dua orang yang berbeda, dengan nasib yang sama.
Satu teman SMA-ku, dan satunya lagi sepupuku.
Kisah
pertama datang dari teman SMA-ku, anak Axiora. Sebut saja namanya Om. Sesaat
seteleh aku mengirimkan kartu lebaran kepadanya, ia membalas ala-ala
lebaran, mengucapkan permohonan maaf lahir batin.
Karena satu
hal yang membuatku penasaran, aku bertanya padanya. “Om daftar mana deh?”
Sebuah
pertanyaan yang membutuhkan keberanian untuk mengungkapkannya. Mengapa? Karena aku
mengetahui hasil SBMPTN dan Utulnya, yang membuatku agak sedikit tidak enak
menanyakannya.
“Udah,
Teknik Pangan UNS gua,” jawabnya. Dalam hati, aku langsung berteriak. Alhamdulillaah!
Lega rasanya. Ia melanjutkan, “Pulang kampung gua...”
Ia lalu
bercerita kegagalannya mendapatkan PTN di Jogja dan Surabaya. “Lima prodi
Jogja, satu prodi Surabaya, gagal gua. Eh giliran sekali coba di Solo, dapet
gua.”
Katanya,
takdir memang ajaib. Pintar-pintar saja dimana menemukan keajaibannya.
Seketika,
aku teringat obrolanku dengannya di suatu malam di awal semester enam.
Saat itu,
aku baru saja menyelesaikan olahraga malamku, bulu tangkis. Aku melihatnya
sedang duduk di kursi di pinggir Gedung Serba Guna dan segera aku
menghampirinya. Setelah bicara panjang lebar, aku bertanya padanya. “Om, masih
mau ke STEI ITB, gak?”
Ia
menjawab. “Nggak, ah. Kejauhan. Gak mau jauh-jauh gua. Udah
lah paling jauh Jogja aja. Udah cukup merantaunya.” Saat itu, aku
hanya bisa berkata ooh.
Aku
kembali membalas pesannya. “Om kan pernah bilang gak mau jauh-jauh... dikabulin
kan sama Allah.”
***
Kisah
kedua, sepupuku yang bercerita. Foeby namanya, Uby panggilannya. Ia memutuskan
untuk menunda kuliah tahun ini, dikarenakan hasil SBMPTN-nya berwarna merah.
Seminggu
menjelang pengumuman SBMPTN, Uby dinyatakan diterima di IPB program diploma 3
jurusan Teknologi Benih, lewat jalur rapor. Diterimanya di IPB Sukabumi pula,
yang berarti ia tidak perlu mengekos karena tidak jauh dari rumahnya. Masalahnya,
waktu pendaftaran ulang hanya berlangsung seminggu dan ia harus membayar UKT
sebesar enam juta rupiah.
“Ya aku nggak
sanggup lah buat bayar langsung segitu. Waktu akhir semester lima
kemarin, Uby tuh berharap, walau nggak mungkin banget, biar
kuliah nggak pakai uang Mama sama sekali,” ungkapnya. Beasiswa
bidikmisi pun tidak dapat mendaftar karena bukan program sarjana. Qadarullah,
ia, maupun keluarganya tidak ada yang bercerita kepada Ayah atau Bunda, karena
kalau bercerita pasti akan dibantu.
“Mau lepas
IPB juga sayang, itu pilihan pertama juga. Ya sudah lah, Uby mah berharap
banget sama hasil SBMPTN,” lanjutnya lagi.
Saat
pengumuman SBMPTN, ketika teman-temannya sudah membuka hasilnya, ia belum. Ia
dipaksa teman-temannya untuk membuka. “Ntar we atuh, di rumah aja
bukanya,” tolaknya. Dan ketika ia membukanya, ia sempat tidak percaya. Ini
aku lolos atau nggak sih? Perasaan kalau lolos tampilannya bukan gini, deh,
batinnya.
Akhirnya,
ia sadar bahwa dirinya dinyatakan tidak lolos SBMPTN 2017. Kecewa, pasti.
Apalagi sudah berharap banyak. Ia hanya diam di kamar, tidak bisa berkata
apa-apa.
Untungnya,
tak lama setelah kelulusan SMA, ia sudah mendapat pekerjaan di sebuah dealer
Honda, bagian administrasi. Setahun tidak kuliah pun tidak masalah, toh ia juga
sudah bekerja. Gaji yang ia dapatkan akan digunakan untuk mendaftar dan membayar
bimbingan belajar persiapan SBMPTN 2018, juga ditabung untuk kuliah nanti.
“Uby, kamu
bilang gak mau kuliah pake uang Mama kan? Allah mungkin nggak mengabulkan
doa kamu diterima di SBMPTN, tapi Allah mengambulkan doamu, membuka jalan
supaya bisa kuliah pake uang kamu sendiri,” ujarku.
Uby
menangguk. “Iya alhamdulillaah, ada benarnya juga.”
***
Kejadian
dua hari berturut-turut tersebut membuatku sadar, bahwa Allah memang selalu mengabulkan
setiap doa hambaNya. Siapa tahu, doa yang Allah perkenankan untuk dijawab adalah
perkataan yang tidak kita sadari, bukan yang ingin kita dapatkan. Jadi, tidak
ada alasan untuk kecewa, apalagi marah kepadaNya, karena Ia adalah Maha
Pengabul Doa.
0 comments