Nikmat Itu
Waktu
menunjukkan pukul 04.05 pagi. Alarm berbunyi cukup nyaring dari ponselku. Aku
sedikit tersadar dari mati sementaraku. Tak berapa lama, terdengar ketukan dari
pintu kamarku. Aku menyalakan lampu, kemudian memutar kunci pintu dan
membukanya. Terlihat Bunda berdiri di depan pintu.
“Kak, tahajud Kak,” ujarnya.
“Kak, tahajud Kak,” ujarnya.
***
Terbangun
di sepertiga malam terakhir, lalu mengambil wudhu dan sholat tahajud, bagiku
merupakan nikmat yang tiada terkira. Di tengah keheningan malam, berkasih dan
bercumbu pada Pemilik Semesta. Meminta apapun, ibarat tak ada jarak antara diriku
denganNya.
Satu nasihat
Bunda yang selalu terngiang di kepalaku. “Kak, kalau Kakak di IC sering sholat
tahajud, di rumah juga jangan susah dong, kalau dibangunin.”
Aku
tertegun. Ya, selama di Insan Cendekia, walau tidak ada dering alarm HP, cukup
mudah bagiku untuk bangun jauh sebelum adzan subuh berkumandang. Mulai dari murottal
yang terdengar kencang, hingga teman sekamarku yang tidak pernah lelah
membangunkanku.
Hani,
hampir setiap hari ia membangunkanku, agar aku bisa melaksanakan sholat
tahajud, minimal di kamar. Ia yang selalu bangun paling awal di kamar. Ia juga
yang selalu semangat membangunkan anak-anak penghuni gedung H. Terkadang juga
Nuni yang membangunkanku, setelah ia selesai melaksanakan sholat tahajud.
Ada masa hampir
setiap hari aku bangun 10 menit sebelum subuh. Mau sahur ke kantin, susah, mau
sholat tahajud di masjid juga keburu adzan. Jadilah selama beberapa
minggu tersebut aku usahakan sholat tahajud kilat–dua rakaat ditambah satu
witir, bahkan melaksanakan sholat qobliyah subuh di kamar.
Keyakinanku
satu. Jika aku mengawali hari dengan sholat tahajud, insyaallah satu
hari tersebut akan terasa menyenangkan dan dimudahkan. Maka dari itulah, aku
selalu sedih bila dalam beberapa hari aku tidak dapat melaksanakan sholat
tahajud.
Di rumah,
Ayah dan Bunda tidak pernah bosan membangunkanku–bahkan dari 45 menit sebelum
subuh, agar aku dapat melaksanakan sholat tahajud. Sholat tahajud seakan menjadi
sholat wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Memang, tak pernah sekalipun
kulihat Ayah dan Bunda absen dari bangun dan sholat di sepertiga malam
terakhir. Bahkan, bila aku kedapatan tidak sempat melaksanakan sholat tahajud,
Bunda pasti menggerutu dan menasihatiku.
Sejak SMP,
Ayah dan Bunda mengajari aku dan adikku untuk sholat tahajud. Dahulu, aku hanya
dibangunkan di akhir pekan, mungkin kalau di hari biasa takut ngantuk di
sekolah. Lama kelamaan, jika liburan sekolah datang, dua hari sekali mereka
membangunkanku untuk sholat tahajud. Dan setelah aku masuk Insan Cendekia,
intensitas Ayah dan Bunda dalam membangunkanku semakin meningkat.
Aku tahu,
sebenarnya Ayah dan Bunda tidak mau terus membangunkanku. Mereka ingin aku
bangun sendiri. Terkadang aku bangun, namun seringnya aku dibangunkan. Padahal
aku sudah memasang alarm dengan kencang di HPku (beruntunglah aku karena tidak
sekamar dengan Najla, sehingga aku tidak mengganggunya). Entahlah. Mungkin
niatku kurang kencang, yakin, dan ikhlas. Padahal, di asrama, ketika aku
begadang hingga jam satu atau dua pagi, aku masih bisa bangun setengah jam
sebelum subuh.
Hal
itulah, yang hingga detik ini terus mengganggu pikiranku. Di IC, ada banyak
teman yang tak pernah bosan membangunkanku, entah karena aku yang minta atau
mereka yang sangat baik. Dan di rumah, Ayah dan Bunda tidak pernah lelah
mengetuk pintu kamarku hingga aku beranjak dari kasur dan melangkah ke kamar
mandi untuk berwudhu. Tak lama lagi aku kuliah. Siapa yang nanti akan
membangunkanku?
Jujur, aku
takut. Aku tidak ingin kehilangan nikmat melaksanakan sholat di sepertiga malam
terakhir. Sholat tahajud yang menenangkan, sholat tahajud yang memberi jawaban,
dan sholat tahajud yang dapat menambah kedekatan. Aku selalu ingat apa yang
pernah guru halaqahku, Bu Dini, katakan. “Jika kita kehilangan nikmat suatu
ibadah, maka tanyakan kepada diri kita sendiri. Apakah hal tersebut terjadi karena
kita sering bermaksiat kepadaNya, sehingga Allah tidak lagi ridho memberikan
nikmat ibadah tersebut kepada kita?”
Ya Allah
ya Rabb, aku tidak ingin kehilangan nikmat itu...
Renungan
beberapa hari terakhir ini, beberapa hari sebelum Syawal berakhir.
0 comments