Jurus 1000 Alasan

by - July 01, 2017


Aku sedang asyik tengkurap di hapadan laptop, menulis sebuah entri untuk encyclopedhira, ketika sebuah tangisan mengusikku.


Aku sedang asyik tengkurap di hapadan laptop, menulis sebuah entri untuk encyclopedhira, ketika sebuah tangisan mengusikku.

“Mau keluar... Mau ke Bunda... Mau keluar...”

Rupanya Najla. Adik 4 tahunku tersebut baru bangun tidur dan tidak mendapati Bunda di manapun di sudut rumah. Ya, Bunda sedang pergi keluar sebentar untuk membeli makan dan jemuran handuk, karena jemuran handuk di rumah tiba-tiba patah.

Namanya anak kecil baru bangun, pasti seringnya nangis. Begitu juga Najla. Ia menarikku untuk menemaninya keluar rumah.

“Kakak tutup laptopnya!” pintanya dengan nada memaksa. “Mau ke luar...” tambahnya lagi.

Aku, tentu saja ogah untuk keluar rumah. Kuncinya saja pasti dibawa Bunda. “Najla mau ke luar?” tanyaku.

“Mau ke luar...” masih dengan tangisannya.

Niat iseng pun muncul. Aku berjalan menuju ruang keluarga. “Nih, udah ke luar, kan? Ke luar kamar,” kataku.

Najla semakin mengamuk mendengar perkataanku. “Mau ke luar! Ke luar rumah!” erangnya.

“Ya sudah. Boleh ke luar rumah, tapi mandi dulu ya.” Dan tangisan Najla pun semakin kencang.

Aku menghampiri sofa ruang keluarga, kemudian rebahan di atasnya. Najla ikut duduk, masih menangis. “Mau di luar aja, mau ke Bunda.”

“Bundanya beli makan sebentar, Ade,” jelasku.

“Ke luar!” ia membentakku.

“Ke luar aja sendiri. Emang kuncinya ada? Kakak sih gak mau ke luar.”

Najla masih merengek. “Mau ke luar, yang ada mataharinya...”

What? Sontak aku tertawa. Nada, yang sedang mencuci piring di dapur, bertanya, “Kenapa Kak, katanya?”

“Mau ke luar katanya, yang ada mataharinya,” jawabku sambil terkikik. Nada pun ikut-ikutan tertawa. Tidak habis pikir aku dengan Najla. Dasar pinter, batinku.

Keisenganku pun muncul kembali. “Oh, di luar ada mataharinya, ya?” Najla mengangguk. “Terus, kalau di luar ada bulannya gak?” ia menggeleng. “Ada bintangnya gak?”

“Mau ke luar... yang ada mataharinya!" Najla mengulangi lagi.

"Di luar ada apa lagi ya? Ada pohon, ada mobil, ada kucing, ada jalanan, ada apa lagi ya? Ada harimau gak?" tanyaku. Najla mengiyakan.

"Ih, kalau ada harimau di luar gak mau ah. Nanti harimaunya gigit. Ih, serem!" candaku.

Najla masih meringis. "Mau yang ada mataharinya..."

"Mendung tau Dek, mataharinya gak muncul. Lihat, tuh. Gelap kan di luar," kataku sambil menunjuk jendela. Memang, terlihat dari jendela matahari masih malu untuk memunculkan sinarnya.

Najla terdiam. Sejurus kemudian, ia berkata lagi. "Mau ke luar... Mau ambil daun..."

Aku terkikik. Tak kuat aku menahan tawa. Kepikiran saja ini bocah mau mengambil daun di luar. Hmmm. Kalau Najla punya 1000 alasan untuk bisa ke luar, aku juga punya 1000 cara untuk mengalihkan perhatiannya, setelah berpengalaman selama hampir 4 tahun. 

"Memangnya mau ngapain ambil daun di luar? Mau nyari tanaman obat? Eh tau gak Dek, tanaman obat ada yang namanya kumis kucing lho," cerocosku. "Eh bener gak sih, Nad?" tanyaku pada Nada yang sedang berjalan menuju kamar, setelah menyelesaikan mencuci piringnya.

"Iya, kali," ujarnya sambil berlalu.

Ingin mengerjai Najla lagi, aku mengikuti Nada ke kamar sambil membawa toples berisi kerupuk makaroni. Di kamar, Najla masih merengek ingin keluar. Tangisannya sudah tidak kencang, namun tetap saja mengganggu.

Ide kreatif seorang Nadhira kembali muncul. "Najla, lihat deh, bentuk makaroni yang ini kayak jamur atau kayak kerang, ya?" tanyaku mengalihkan perhatian Najla.

Najla melihat kerupuk makaroni yang sedang kupegang. Ia mengambilnya. "Kayak jamur."

Aku mengambil satu kerupuk makaroni lagi. "Wah, ini bentuknya kayak yang suka ada di bawah hidung kerbau," aku menaruh kerupuk makaroni tersebut di bawah hidung Najla.

Najla perlahan berhenti merengek. Ia bersamaku mengobok-obok toples kerupuk makaroni tersebut dan menebak bentuknya seperti apa.

"Kak, yang ini bentuk apa?" tanya Najla.

"Kayak bentuk hati."

"Kalau yang ini bentuk apa?" tanyanya lagi.

"Hmmm. Apa ya? Kayak bentuk setengah lingkaran," jawabku asal.

Jadilah aku harus berpikir keras mengimajinasikan bentuk-bentuk kerupuk makaroni yang notabene mirip semua. Kalau sudah frustasi, aku pasti menjawab, "Bentuk pipa." Untungnya, Najla hanya manggut-manggut walaupun terus melancarkan pertanyaan mengenai bentuk kerupuk makaroni.

"Eh, yang ini bentuknya kayak kerang, Najla!" seruku. Najla melihatnya.

"Iya, kayak kerang. Boleh dimakan ya?"

"Sok aja," kataku.

Najla mulai memakan kerupuk makaroni. Sesaat kemudian, "Kak, boleh nonton TV?"

Akhirnya, tugasku pun terselesaikan dengan baik. Yess.

You May Also Like

0 comments