Jurus 1000 Alasan
Aku sedang
asyik tengkurap di hapadan laptop, menulis sebuah entri untuk encyclopedhira,
ketika sebuah tangisan mengusikku.
Aku sedang asyik tengkurap di hapadan laptop, menulis sebuah entri untuk encyclopedhira, ketika sebuah tangisan mengusikku.
“Mau keluar... Mau ke Bunda... Mau keluar...”
Rupanya
Najla. Adik 4 tahunku tersebut baru bangun tidur dan tidak mendapati Bunda di
manapun di sudut rumah. Ya, Bunda sedang pergi keluar sebentar untuk membeli
makan dan jemuran handuk, karena jemuran handuk di rumah tiba-tiba patah.
Namanya
anak kecil baru bangun, pasti seringnya nangis. Begitu juga Najla. Ia menarikku
untuk menemaninya keluar rumah.
“Kakak
tutup laptopnya!” pintanya dengan nada memaksa. “Mau ke luar...” tambahnya
lagi.
Aku, tentu
saja ogah untuk keluar rumah. Kuncinya saja pasti dibawa Bunda. “Najla
mau ke luar?” tanyaku.
“Mau ke
luar...” masih dengan tangisannya.
Niat iseng
pun muncul. Aku berjalan menuju ruang keluarga. “Nih, udah ke luar, kan?
Ke luar kamar,” kataku.
Najla
semakin mengamuk mendengar perkataanku. “Mau ke luar! Ke luar rumah!” erangnya.
“Ya sudah.
Boleh ke luar rumah, tapi mandi dulu ya.” Dan tangisan Najla pun semakin
kencang.
Aku
menghampiri sofa ruang keluarga, kemudian rebahan di atasnya. Najla ikut duduk,
masih menangis. “Mau di luar aja, mau ke Bunda.”
“Bundanya
beli makan sebentar, Ade,” jelasku.
“Ke luar!”
ia membentakku.
“Ke luar
aja sendiri. Emang kuncinya ada? Kakak sih gak mau ke luar.”
Najla
masih merengek. “Mau ke luar, yang ada mataharinya...”
What? Sontak aku tertawa. Nada, yang sedang
mencuci piring di dapur, bertanya, “Kenapa Kak, katanya?”
“Mau ke
luar katanya, yang ada mataharinya,” jawabku sambil terkikik. Nada pun
ikut-ikutan tertawa. Tidak habis pikir aku dengan Najla. Dasar pinter, batinku.
Keisenganku pun muncul kembali. “Oh, di luar ada
mataharinya, ya?” Najla mengangguk. “Terus, kalau di luar ada bulannya gak?”
ia menggeleng. “Ada bintangnya gak?”
“Mau ke
luar... yang ada mataharinya!" Najla mengulangi lagi.
"Di
luar ada apa lagi ya? Ada pohon, ada mobil, ada kucing, ada jalanan, ada apa
lagi ya? Ada harimau gak?" tanyaku. Najla mengiyakan.
"Ih,
kalau ada harimau di luar gak mau ah. Nanti harimaunya gigit. Ih, serem!"
candaku.
Najla masih meringis. "Mau yang ada mataharinya..."
"Mendung tau Dek, mataharinya gak muncul. Lihat,
tuh. Gelap kan di luar," kataku sambil menunjuk jendela.
Memang, terlihat dari jendela matahari masih malu untuk memunculkan sinarnya.
Najla terdiam. Sejurus kemudian, ia berkata lagi.
"Mau ke luar... Mau ambil daun..."
Aku terkikik. Tak kuat aku menahan tawa. Kepikiran
saja ini bocah mau mengambil daun di luar. Hmmm. Kalau Najla punya
1000 alasan untuk bisa ke luar, aku juga punya 1000 cara untuk mengalihkan
perhatiannya, setelah berpengalaman selama hampir 4 tahun.
"Memangnya mau ngapain ambil daun
di luar? Mau nyari tanaman obat? Eh tau gak Dek, tanaman obat ada
yang namanya kumis kucing lho," cerocosku. "Eh bener gak
sih, Nad?" tanyaku pada Nada yang sedang berjalan menuju kamar,
setelah menyelesaikan mencuci piringnya.
"Iya, kali," ujarnya sambil berlalu.
Ingin mengerjai Najla lagi, aku mengikuti Nada ke
kamar sambil membawa toples berisi kerupuk makaroni. Di kamar, Najla masih
merengek ingin keluar. Tangisannya sudah tidak kencang, namun tetap saja
mengganggu.
Ide kreatif seorang Nadhira kembali muncul.
"Najla, lihat deh, bentuk makaroni yang ini kayak jamur atau kayak
kerang, ya?" tanyaku mengalihkan perhatian Najla.
Najla melihat kerupuk makaroni yang sedang kupegang.
Ia mengambilnya. "Kayak jamur."
Aku mengambil satu kerupuk makaroni lagi. "Wah,
ini bentuknya kayak yang suka ada di bawah hidung kerbau," aku menaruh
kerupuk makaroni tersebut di bawah hidung Najla.
Najla perlahan berhenti merengek. Ia bersamaku
mengobok-obok toples kerupuk makaroni tersebut dan menebak bentuknya seperti
apa.
"Kak, yang ini bentuk apa?" tanya Najla.
"Kayak bentuk hati."
"Kalau yang ini bentuk apa?" tanyanya lagi.
"Hmmm. Apa ya? Kayak bentuk setengah
lingkaran," jawabku asal.
Jadilah aku harus berpikir keras mengimajinasikan
bentuk-bentuk kerupuk makaroni yang notabene mirip semua. Kalau sudah frustasi,
aku pasti menjawab, "Bentuk pipa." Untungnya, Najla hanya
manggut-manggut walaupun terus melancarkan pertanyaan mengenai bentuk kerupuk
makaroni.
"Eh, yang ini bentuknya kayak kerang,
Najla!" seruku. Najla melihatnya.
"Iya, kayak kerang. Boleh dimakan ya?"
"Sok aja," kataku.
Najla mulai memakan kerupuk makaroni. Sesaat kemudian,
"Kak, boleh nonton TV?"
Akhirnya, tugasku pun terselesaikan dengan baik. Yess.
0 comments