Tidak biasanya aku menyetel radio di mobil, apalagi mendengarkan lagu. Selalu Najla yang menyabotase DVD player di mobil. Namun, karena ini bukan mobilku, aku menurut saja, sambil mendengarkan.
Lembaran foto hitam putih
Aku
tersentak. Lagu itu! Lagu yang dinyanyikan saat wisuda lalu. Tepatnya
saat wisudawan dan wisudawati turun dari panggung Gedung Serba Guna. Dan
sialnya, lagu itu membawa memoriku terbang ke hari-hari sebelum 13 Mei.
Ya. Foto
hitam-putih yang tertera di kartu USBN, UAMBN, bahkan UN menjadi saksi
perjuangan yang telah kita tempuh selama tiga tahun di Insan Cendekia. Hasilnya,
foto hitam-putih lainnya yang tertera di ijazah–yang baru saja (banyak dari)
kita dapatkan–menjadi jawaban atas perjuangan tak kenal lelah yang telah kita lakukan.
Aku coba ingat lagi warna bajumu kala itu
Malam
menjelang 13 Mei. Kita baru kembali ke asrama lewat jam 11 malam. Malam akrab
Axiora terakhir, sebelum wisuda. Doa khotmil Qur’an dipanjatkan sebelum
mulai acara, sebagai rasa syukur setelah lima hari berhasil mengkhatamkan Alquran bil ghoib. Dilanjutkan dengan pemberian kenang-kenangan kepada
Bu Evi dan Pak Zein, membuat malam itu penuh haru.
Aku
kembali membuka foto hari itu. Foto wefie seangkatan, dengan Hafi
sebagai tongsisnya. Aku memakai gamis marun, Nuni dengan gamis denimnya,
Atrika sangat soft mengenakan kerudung baby pink dan kemeja
putih, Hani yang terlalu sering memakai kerudung hitam, dan Bu Evi cantik
dengan kerudung pink keunguan. Ketua angkatan kita, Zhofir, mengenakan
kaus lengan panjang bermotif garis-garis. Dan aku mengingatmu, yang kala itu
duduk di samping sang ketua angkatan, memakai baju dengan warna yang sama seperti
Pak Zein, putih.
Kali
pertama di hidupku, manusia lain memelukku
Tentu saja
ini bukan kali pertama aku memiliki teman. Namun, jujur saja, ini kali pertama
aku mempunyai teman yang tidak pernah bosan untuk saling mengingatkan, akan
kebaikan dan kesabaran. Teman yang bahkan ketika salah satu dari kita sudah
tidak bersama lagi di Insan Cendekia, masih diundang untuk merayakan hari jadi
Axiora.
Di mana
pun kalian berada
Kini, masing-masing
dari kita mulai melebarkan sayap, menempuh salah satu jalan menuju surga Allah
di berbagai macam tempat. Dari mulai Jambi hingga Jepang, juga Mesir hingga
Malang.
Kukirimkan
terima kasih
Terima
kasih, teman-teman. Atas rangkulanmu, nasihatmu, dukunganmu, serta doamu. Terima
kasih juga, untuk para guru yang tak pernah lelah mengajarkan kami berbagai
ilmu dan mendidik kami agar menjadi manusia yang bermanfaat nantinya.
Dan terima
kasih juga untuk... dirimu. Untuk sejuta alasan yang tidak dapat kusebutkan.
Untuk
warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah
Mulai
kenalan pertama saat matrikulasi, capek bersama saat PTS, mulai menyatukan
kelas di Gakic, pusing bersama mengurusi Cordoba, stukol ke Yogya, memutar otak
saat Lazemmour, merayakan Ramadan bersama i-Fun 1436 H., sampai bersenang-senang
di Astara.
Menjadi pemegang
kendali OSIS, latihan kemimpinan di Cidahu, bahu membahu di Sonic Lingustic dan
i-Care, drama fikih yang melegenda, mengadakan AXARA Cup, berteriak-teriak di
Trans Studio Bandung, merasakan kehidupan sederhana saat homestay, hingga
teror biologi Bu Etty.
Memperjuangkan
Matsama Al-Kautsar, LPJ yang diterima dua kali, menampilkan tari cebol
saat milad Axiora yang kedua, sibuk intensif dan BK, insiden bakar jagung
gedung F, ARA’s night bersama Bu
Evi, mulai mengurusi baju wisuda dan BTS, seminar karir, naik kapal ke Lampung,
keliling dunia bersama The Voyage, ujian dan ujian, nyanyian “Taaaman Bunga
Nusantara!”, seru-seruan di Avelasca, juga kebersamaan lainnya yang
menghabiskan waktu tiga kali puasa dan tiga kali lebaran (Idul Adha).
Kau
melukis aku
Semua
memori yang telah kusebutkan, insyaallah tersimpan rapi dalam sebuah
kotak satu terabyte bernama Blu’s Clues. Hardisk yang sering banget dipinjam
sebelum acara angkatan–baik angkatan sendiri ataupun angkatan lain, dibutuhkan
saat LPJ, bahkan diperlukan untuk lampiran kegiatan sekolah ketika mengikuti lomba
sekolah sehat.
Sekadar
informasi, kumpulan foto dan video kita selama 3 tahun, memakan 506 gigabyte di
hardisk-ku, yang berisikan lebih dari 65.000 fail foto dan video. Ini hampir
lima kali lipat besarnya daripada koleksi film dan drama yang juga tersimpan dalam
Blu’s Clues. Super, bukan?
Lembar
monokrom hitam putih
Aku
coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak
akan kumengenal cinta
Bila
bukan karena hati baikmu
Cinta apapun
yang kurasakan, aku mensyukurinya.
Ini kue Axiora. Sebagai perayaan milad yang ketiga. Terlalu awal memang, masih 30 hari menuju 20 Agustus. Bukan soal kue, tapi soal cerita tentangnya.
Hari ini, aku pergi ke Insan Cendekia untuk mengambil ijazah, sekaligus bertemu kembali dengan teman-temanku. Dan hari ini pula, untuk pertama kalinya, aku ke IC menggunakan kendaraan umum. Bersama Fia, aku naik bis. Berangkat dari Terminal Pakupatan jam 8, sampai di IC jam 11. Itu pun karena ada insiden salah jurusan angkot, hehe.
Hari ini, aku pergi ke Insan Cendekia untuk mengambil ijazah, sekaligus bertemu kembali dengan teman-temanku. Dan hari ini pula, untuk pertama kalinya, aku ke IC menggunakan kendaraan umum. Bersama Fia, aku naik bis. Berangkat dari Terminal Pakupatan jam 8, sampai di IC jam 11. Itu pun karena ada insiden salah jurusan angkot, hehe.
Anak
Axiora yang pertama kutemui setelah sampai di IC adalah Fariza dan Fitri. Setelah
membayar ongkos kepada pengemudi Gr*b, aku langsung meneriaki mereka. “Ijaaaaay!
Ipiiiiiiiit!”
Aku
berjalan menuju ruang audio visual (AV). Disana, aku bertemu lebih
banyak lagi dengan teman-temanku. Melepas rindu, aku memeluk mereka. Mengobrol
hal-hal remeh, bahkan masih sempat bergosip.
Jalan-jalan
sekitar IC pun dimulai. Bersama Fia, Mira, Marwah, Muti, Ijay, dan Ipit, kami
berkunjung ke rumah Bu Dini, sekaligus menengok bayi Fatimah. Anak kelima Bu
Dini tersebut sangat menggemaskan. Wajahnya putih, agak-agak mirip bule
gitu heheheh. Selanjutnya, kami mampir dan jajan di saung Teh Sri.
Terlihat di bangku depan saung banyak siswa yang tidak kuketahui wajahnya–siswa
angkatan 23. Mereka sempat melirik kami, dan kami tetap saja (masih) heboh.
Kami
berjalan lagi menuju depan perpustakaan. Pak Kris ada di sana, sedang duduk.
Kami menyapa Pak Kris. Dari depan pintu perpustakaan, Bu Elly muncul. Kami juga
salam kepada Bu Elly. Tak lama, Pak Japar muncul dengan motornya. Kami pun
menyapa Pak Japar.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 11.35. Kami berniat kembali ke ruang AV. Aku berjalan
dengan riang, hingga dari kejauhan terlihat tiga sosok anak Axiora yang sedang
berjalan menuju masjid. Hari itu hari Jumat, maka para laki-laki pun sudah
bersiap untuk melaksanakan sholat Jumat. Padahal ketiga sosok tersebut masih
cukup jauh, namun salah satunya sukses membuatku tersenyum dan salah tingkah.
Pembagian
ijazah, yang direncanakan selesai sebelum sholat Jumat, molor baru bisa
dibagikan setelah sholat Jumat. Entah siapa yang harus disalahkan. Aku menunggu
namaku dipanggil dengan sabar. Hanya satu sebenarnya yang kupikirkan, bagaimana
aku pulang nantinya. Aku berjanji pada orang tuaku untuk tidak pulang terlalu
larut, dan aku juga bukan orang yang dengan mudahnya berkata, “Ayah, Bunda, aku
mau nginep di rumah si ini, ya!”
Namun
hingga pukul 3 sore, namaku tak kunjung dipanggil. 20 menit kemudian, adzan
asar berkumandang. Aku dan teman-temanku yang sama-sama belum cap tiga jari
untuk ijazah, melaksanakan sholat asar terlebih dahulu, di masjid penuh
kenangan, Ulil Albab. Barulah setelah sholat Asar, aku dapat cap tiga jari.
Setelah itu, aku langsung pergi ke tempat kumpul Axiora, Saoenk Kito BSD
(tentunya setelah menunggu abang-abang Gr*b datang).
Aku sampai
di Saoenk Kito dengan keadaan pusing dan lelah. Lapar juga. Aku langsung naik
tangga ke tempat yang telah dipesan BPH Axiora, dan langsung duduk di hadapan
sebakul nasi dan ayam goreng. Karena rasa lapar yang tidak tertahankan, aku
langsung menyantap menu makan-siang-tapi-dimakan-saat-sore dengan lahap. Mukaku
pun sudah kusut tidak karuan, haha.
Waktu
terus berjalan. “Fia, gimana kita pulang?” tanyaku panik. Aku dan Fia harus
pulang dengan bis kembali. Sedangkan aku belum berada di halte bus saat itu. Arah
menuju halte bus di Kebon Nanas pun aku tidak tahu. Aku kacau. Aku tidak mau
menghancurkan kepercayaan orang tuaku.
Jadilah,
tepat pukul 17.20, aku dan Fia berangkat dari Saoenk Kito menuju halte Kebon
Nanas, dengan perasaanku yang campur aduk, meninggalkan sepotong kue ulang
tahun Axiora yang belum sempat kucicipi.
***
Ada satu
cerita, tepat sebelum aku pulang. Tak akan kujelaskan memang. Namun menyisakan
satu pertanyaan.
Kapan
kita bertemu kembali, ya?
Waktu
menunjukkan pukul 04.05 pagi. Alarm berbunyi cukup nyaring dari ponselku. Aku
sedikit tersadar dari mati sementaraku. Tak berapa lama, terdengar ketukan dari
pintu kamarku. Aku menyalakan lampu, kemudian memutar kunci pintu dan
membukanya. Terlihat Bunda berdiri di depan pintu.
“Kak, tahajud Kak,” ujarnya.
“Kak, tahajud Kak,” ujarnya.
***
Terbangun
di sepertiga malam terakhir, lalu mengambil wudhu dan sholat tahajud, bagiku
merupakan nikmat yang tiada terkira. Di tengah keheningan malam, berkasih dan
bercumbu pada Pemilik Semesta. Meminta apapun, ibarat tak ada jarak antara diriku
denganNya.
Satu nasihat
Bunda yang selalu terngiang di kepalaku. “Kak, kalau Kakak di IC sering sholat
tahajud, di rumah juga jangan susah dong, kalau dibangunin.”
Aku
tertegun. Ya, selama di Insan Cendekia, walau tidak ada dering alarm HP, cukup
mudah bagiku untuk bangun jauh sebelum adzan subuh berkumandang. Mulai dari murottal
yang terdengar kencang, hingga teman sekamarku yang tidak pernah lelah
membangunkanku.
Hani,
hampir setiap hari ia membangunkanku, agar aku bisa melaksanakan sholat
tahajud, minimal di kamar. Ia yang selalu bangun paling awal di kamar. Ia juga
yang selalu semangat membangunkan anak-anak penghuni gedung H. Terkadang juga
Nuni yang membangunkanku, setelah ia selesai melaksanakan sholat tahajud.
Ada masa hampir
setiap hari aku bangun 10 menit sebelum subuh. Mau sahur ke kantin, susah, mau
sholat tahajud di masjid juga keburu adzan. Jadilah selama beberapa
minggu tersebut aku usahakan sholat tahajud kilat–dua rakaat ditambah satu
witir, bahkan melaksanakan sholat qobliyah subuh di kamar.
Keyakinanku
satu. Jika aku mengawali hari dengan sholat tahajud, insyaallah satu
hari tersebut akan terasa menyenangkan dan dimudahkan. Maka dari itulah, aku
selalu sedih bila dalam beberapa hari aku tidak dapat melaksanakan sholat
tahajud.
Di rumah,
Ayah dan Bunda tidak pernah bosan membangunkanku–bahkan dari 45 menit sebelum
subuh, agar aku dapat melaksanakan sholat tahajud. Sholat tahajud seakan menjadi
sholat wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Memang, tak pernah sekalipun
kulihat Ayah dan Bunda absen dari bangun dan sholat di sepertiga malam
terakhir. Bahkan, bila aku kedapatan tidak sempat melaksanakan sholat tahajud,
Bunda pasti menggerutu dan menasihatiku.
Sejak SMP,
Ayah dan Bunda mengajari aku dan adikku untuk sholat tahajud. Dahulu, aku hanya
dibangunkan di akhir pekan, mungkin kalau di hari biasa takut ngantuk di
sekolah. Lama kelamaan, jika liburan sekolah datang, dua hari sekali mereka
membangunkanku untuk sholat tahajud. Dan setelah aku masuk Insan Cendekia,
intensitas Ayah dan Bunda dalam membangunkanku semakin meningkat.
Aku tahu,
sebenarnya Ayah dan Bunda tidak mau terus membangunkanku. Mereka ingin aku
bangun sendiri. Terkadang aku bangun, namun seringnya aku dibangunkan. Padahal
aku sudah memasang alarm dengan kencang di HPku (beruntunglah aku karena tidak
sekamar dengan Najla, sehingga aku tidak mengganggunya). Entahlah. Mungkin
niatku kurang kencang, yakin, dan ikhlas. Padahal, di asrama, ketika aku
begadang hingga jam satu atau dua pagi, aku masih bisa bangun setengah jam
sebelum subuh.
Hal
itulah, yang hingga detik ini terus mengganggu pikiranku. Di IC, ada banyak
teman yang tak pernah bosan membangunkanku, entah karena aku yang minta atau
mereka yang sangat baik. Dan di rumah, Ayah dan Bunda tidak pernah lelah
mengetuk pintu kamarku hingga aku beranjak dari kasur dan melangkah ke kamar
mandi untuk berwudhu. Tak lama lagi aku kuliah. Siapa yang nanti akan
membangunkanku?
Jujur, aku
takut. Aku tidak ingin kehilangan nikmat melaksanakan sholat di sepertiga malam
terakhir. Sholat tahajud yang menenangkan, sholat tahajud yang memberi jawaban,
dan sholat tahajud yang dapat menambah kedekatan. Aku selalu ingat apa yang
pernah guru halaqahku, Bu Dini, katakan. “Jika kita kehilangan nikmat suatu
ibadah, maka tanyakan kepada diri kita sendiri. Apakah hal tersebut terjadi karena
kita sering bermaksiat kepadaNya, sehingga Allah tidak lagi ridho memberikan
nikmat ibadah tersebut kepada kita?”
Ya Allah
ya Rabb, aku tidak ingin kehilangan nikmat itu...
Renungan
beberapa hari terakhir ini, beberapa hari sebelum Syawal berakhir.
Berhubung di postingan sebelumnya aku menyinggung film Iqro, ada baiknya aku menceritakan juga sedikit dari film yang berdurasi 97 menit ini.
Pertama kali aku melihat banner film Iqro adalah saat acara visit campus Axiora ke ITB, Desember 2016. Saat itu aku sedang berjalan menuju tempat wudhu di Masjid Salman, dan mataku menangkap beberapa banner yang terpajang di sekitar area Salman.
Aku tidak begitu memperhatikannya, karena pada waktu itu aku sedang terburu-buru. Hanya saja, aku sempat melihat tanggal tayang film tersebut, yaitu 26 Januari 2017. Sempat terlintas untuk menontonnya, namun aku hiraukan pikiran itu. Kayak bakal tayang di Teko (Teras Kota) saja, batinku.
Qadarullah, aku berkesempatan menonton film Iqro
di tempat aku melihat banner film ini, Masjid Salman ITB, bahkan dengan
cuma-cuma, saat Ramadan lalu. Berawal dari acara Inspirasi Ramadan yang tidak
dapat dilaksanakan dikarenakan pembicara yang tidak hadir, acara pada sore itu
diganti dengan nonton bareng film Iqro.
***
Film Iqro; Petualangan Meraih Bintang merupakan film pertama yang dihasilkan oleh
kolaborasi antara YPM Salman ITB dan Salman Film Academy, sekaligus film pertama
di Indonesia yang diproduksi oleh masjid (seperti yang telah kusebutkan pada postingan sebelum ini). Film ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Aqila yang
sangat ingin mengamati Pluto untuk tugas liburannya di Observatorium Bosscha,
Lembang. Kakeknya merupakan astronom di observatorium tersebut. Sang kakek
(biasa dipanggil Opa) membolehkan cucunya untuk mengamati Pluto lewat teleskop
terbesar Bosscha, dengan syarat Aqila harus belajar mengaji dan melancarkannya.
Alur
cerita film ini sederhana. Klimaksnya adalah saat Opa tidak dapat memenuhi
janjinya pada Aqila karena Observatorium Bosscha akan ditutup sebab polusi
cahaya dan pembangunan hotel. Jelas saja, karena film ini memang film keluarga.
Anak kecil yang menontonnya pun tidak akan merasa kesulitan memahimi ceritanya.
Film Iqro
menitikberatkan pada sains dan Alquran. Lima menit pertama pembuka film ini
kita disuguhkan adegan Opa yang sedang menjelaskan tata surya di depan audiens di
dalam ruangan persis dengan tempat yang pernah aku (dan teman-teman Axiora
tentunya) kunjungi saat studi kolaboratif ke Observatorium Bosscha kelas XI
lalu. Bukan soal itu, melainkan dalam adegan tersebut Opa menyebutkan ayat yang
menjadi ikon dari film ini, Ali Imran ayat 190. Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. Hal itu membuatku tertegun.
Demi bisa
meneropong Pluto dengan teropong terbesar Bosscha, Aqila semangat mengikuti
pesantren kilat yang diadakan di musholla dekat rumah kakeknya. Awalnya mungkin
terpaksa, namun lama kelamaan ia menikmatinya. Buku legendaris masa kecil–Iqro
pun ia habiskan dalam waktu singkat. Puncaknya adalah Aqila (dan satu teman
laki-laki cukup bandel, yang cukup menghibur dalam film tersebut) mewakili desa
kakeknya mengikuti lomba mengaji, sekaligus menjadi pembuktian pada sang kakek
bahwa ia telah lancar mengaji.
Film ini
seakan menyadarkanku akan pentingnya ilmu pengetahuan, yang membuatku harus
semakin semangat dalam berjihad mempelajari ilmu-ilmu Allah. Film yang
sederhana, namun sarat akan makna. Membuat mataku berkaca-kaca mengetahui
rahasia ilmu pengetahuan dalam kalamNya.
Bendungan
air mataku pecah saat mendengar backsound pengiring kredit film. Jika di
awal film kita didengarkan ayat Alquran, maka di akhir film doa khotmil Qur’an
lah yang ditampilkan. Allaahummarhamnaa bil qur’an-nya Muzammil
Hasballah mampu membuat sebagian penonton meneteskan air mata haru. Bulu kudukku
merinding mendengarnya.
Pada
akhirnya, aku sungguh menyarankan kalian untuk menonton film Iqro.
Jangan cuma menonton film horor, apalagi cinta menye-menye. Sekali-kali,
tontonlah film yang membuat kalian semakin mencintai ilmu dan Alquran. Insyaallah
menonton film seperti itu akan mendapatkan pahala, hehe.
Namun
sayang, pasti sulit mendapatkan film tersebut, bahkan yang bajakannya sekalipun.
Tapi jangan khawatir, akan ada sekuel dari film Iqro ini yang berjudul Iqro
2. Aku bahkan sudah menonton trailer-nya lho, hehe. Sekedar
bocoran, setting film Iqro 2 bertempat di luar negeri, dengan
Aqila yang sudah tumbuh menjadi remaja. Tenang saja. Bila aku mendapat info
kapan film tersebut akan tayang, insyaallah akan aku sebarkan kepada
kalian. Jadi, tunggu film Iqro 2 di bioskop-bioskop kesayangan
Anda, ya!
(Ssst! Ternyata, film Iqro akan dibuat novel!)
Bonus! Trailer film Iqro:
Sekalian deh, beberapa cuplikan dari trailer film Iqro 2 (diambil dari fanpage Facebook Film Iqro):
![]() |
Mungkin saja manusia bisa tinggal di planet lain, Tapi apakah manusia sudah cukup dalam menjaga air, tanah, dan udara yang disediakan Allah di bumi ini? |
“Mengapa makin ke sini makin banyak orang yang tidak mencintai ilmu pengetahuan?” tanya seorang Kakek pada cucu perempuannya.
Aqila, sang cucu, hanya bisa duduk dan terdiam.
Aqila, sang cucu, hanya bisa duduk dan terdiam.
“Padahal,
Allah sudah menyuruh manusia untuk membaca apa yang ada di alam semesta,
seperti yang terdapat dalam firmanNya; Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 190),” lanjut sang Kakek.
***
Itulah
sedikit cuplikan dari film layar lebar berjudul Iqro’; Petualangan Meraih Bintang yang kutonton saat
di Salman lalu. Ya, film ini diproduksi oleh YPM Salman ITB, dan merupakan film
pertama yang digarap oleh sebuah masjid. Pastinya film ini bertema religi.
Namun, bukan seperti kebanyakan film religi di Indonesia yang membahas tentang
cinta dan menikah, film ini menceritakan tentang pentingnya mencari ilmu.
Seperti
ayat Alquran yang pertama kali turun, iqro’. Bacalah dengan nama Tuhanmu
Yang Menciptakan. Sang Kakek, dalam film tersebut menuturkan, bahwa yang
dimaksud dengan iqro’ adalah tiga hal. Membaca apa yang terdapat dalam
Alquran, membaca apa yang terjadi di alam semesta, dan membaca apa yang ada
dalam diri manusia. Yang intinya, Allah menyuruh kita, sebagai makhluk
ciptaanNya yang peling cerdas dan berhak menjadi khalifah di bumi, untuk
belajar dan mencari ilmu.
Betapa
pentingnya mencari ilmu, hingga Rasulullah SAW. dalam haditsnya berkata, ”Tuntulah
ilmu dari buaian hingga liang lahat,” dan “Tuntulah ilmu hingga ke
negeri Cina.” Sungguh, betapa mulianya para pencari ilmu. Bahkan, seorang tholabul
‘ilmi disamakan dengan mujahid yang berjuang di jalan Allah. Karena barangsiapa
yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan
menuju surga.
Sumber
dari segala ilmu terdapat dalam kitab suci yang telah turun lebih dari 1400
tahun yang lalu, Alquranul karim. Seperti pada surah Ali Imran ayat 190
di atas, Allah menyinggung tentang penciptaan langit dan bumi serta pergantian
siang dan malam yang menjadi dasar ilmu astronomi. Ilmu-ilmu lain yang terdapat
dalam Alquran pun tidak terhitung jumlahnya. Yang pernah kubaca (dari
terjemahan Alquran saja), ada yang menyebutkan tentang pertumbuhan tanaman, perkembangan
manusia dalam rahim, hingga turunnya hujan.
Itu baru
dalam bidang sains. Selain itu, Alquran juga merupakan sumber hukum. Ilmu
sosial dan muamalah pun tidak luput dijelaskan dalam Alquran. Maka dari
itu, tidak dapat dinafikkan bahwa segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini
tidak bisa dipisahkan dengan Alquran.
Orang-orang
berakal (ulil albab) yang disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190 merupakan sekelompok
manusia yang berjuang mencari ilmu Allah dan memahami tanda-tanda kebesaranNya.
Kurasa, hal tersebut pasti berhubungan dengan ayat setelahnya. (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. Jika kita telah mencari
dan mendapatkan ilmu, sepatutnya kita akan semakin mengingat Allah, bahkan
dalam keadaan apapun. Karena semua tanda kuasa yang Allah tunjukkan, akan
menghantarkan kita pada suatu fakta bahwa Allah tidak menciptakan semua yang
ada di alam semesta ini dengan sia-sia. Dan sekali lagi, hanya orang yang
berakal lah yang dapat memahami ini. Maka, orang-orang berakal pun kemudian
berdoa agar dijauhkan dari segala hal yang dapat menjerumuskan mereka pada
kesia-siaan dan membawa mereka menemui azab neraka.
Satu hal
yang kurenungkan. Mungkin inilah salah satu alasan kaligrafi yang terpasang di
Masjid Ulil Albab di Insan Cendekia memampang ayat ini, dimulai dari QS. Ali
Imran ayat 189 hingga 191. Memuji dan mengesakan Allah, mencari dan memahami
tanda-tanda kebesaran Allah, dan semakin tunduk dan patuh kepada Allah. Masyaallah,
aku merinding membayangkannya.
Film Iqro’
menyadarkanku bahwa semakin kita mempelajari Alquran, seharusnya semakin
semangat kita dalam mempelajari ilmu-ilmu Allah yang lain. Alquran barulah pintu
masuk akan luasnya ilmu Allah, juga sebagai pengingat dan jalan hidup kita
sebagai umat Nabi Muhammad. Semakin jatuh cinta pada Alquran, akan semakin
cinta pula kepada penulisnya, dan akan menuntun kita pula menyibak tanda-tanda
kekuasaan Allah yang masih sedikit sekali tersentuh. Seperti Aqila, dengan
bangga ia berkata pada kakeknya, “Aku nggak pernah menyesal belajar
Alquran!”
Sekedar
pengingat diri sendiri, untuk menghadapi dunia kuliah yang tidak akan lama
lagi.
Sebuah
kehormatan bagiku, untuk bisa menjadi satu di antara 120 semut pekerja keras
tanpa lelah ini. Suatu hal yang aku syukuri, berjuang bersama dengan para
mujahid pencari ilmu. Satu hal yang aku akui, aku menemukan cinta di bawah
naungan nama Axiora. Cinta dalam mengajak kebaikan, cinta dalam saling
menyemangati, hingga cinta yang terucap dalam doa.
Pagi tadi,
sebuah berita dari laman resmi Kementrian Agama muncul. Menjelaskan tentang MAN
Insan Cendekia Serpong meraih peringkat satu rata-rata UN nasional jurusan IPS.
Tak hanya itu, situs detik.com juga membicarakan hal serupa. Banyak komentar
yang bermunculan. Ada yang memberi apresiasi, ada juga bernada mencaci.
Aku jadi
teringat, bagaimana perjalanan panjang penuh liku itu pernah kita lewati
bersama.
Tahukah,
saat kelas X, betapa ego masing-masing dari kita sangatlah tinggi. Perdebatan
tanpa henti, hingga menciptakan jarak seperti langit dan bumi. Terlebih di
semester dua. Antar anggota khwan dan akhwat sangat terasa
jauhnya. Pun dengan sesama anak akhwat. Masa-masa paling sulit,
menurutku. Sampai-sampai pernah aku berpikir, Duh, mending jadi anak
angkatan lain aja, deh. Terlebih, kasus pertama yang menimpa Axiora, yang
mulai membuat nama Axiora sedikit tercoreng.
Memasuki
kelas XI, masa ketika tumpu kepemimpinan OSIS, kita yang kendalikan. Tahukah,
bahkan dalam penentuan bakal calon ketua OSIS dan MPS saja kita meributkannya.
Jangan si ini, lah, jangan si itu, lah. Pusing aku
mendengarnya, apalagi memikirkannya. Apalagi setelah kejadian kekosongan
jabatan ketua angkatan Axiora. Beruntungnya, sesaat sebelum demo angkatan pada
acara Pekan Ta’aruf Siswa, Axiora memiliki ketua angkatan baru.
Kegoyahan
bidang akademik pun cukup terasa. Dihantui oleh biologinya Bu Etty, membuat
tidur kita serasa tidak pernah nyenyak. Juga dengan KIR dan segala revisinya. Banyak
nilai dari kita yang menurun drastis saat semester tiga, aku termasuk salah
satunya. Apalagi, Sonic Linguistic dan iCare juga menambah tanggung jawab di pundak
kita.
Perlahan,
satu demi satu dari kita mulai berguguran. Dari yang mengundurkan diri karena
sakit, masalah akademis, hingga terpaksa dikeluarkan. Sedih memang rasanya.
Tetapi, bagaimana pun, doa dan semangat selalu kita berikan kepada mereka agar mereka
juga sukses di luar sana.
Semakin
banyak alasan untuk tidak menyukai angkatan ini. Rasanya, segala sesuatu yang
kita lakukan selalu dikomentari dan dipersulit. Puncaknya pada saat itu ialah
pelarangan pemunculan maskot Sonlis yang telah susah payah dibuat oleh salah
satu dari kita. Gedeg sana-sini pastinya. Ngedumel di belakang
juga iya. Tapi, kesabaran menjadi benteng terakhir dalam meluapkan emosi kita.
Sampailah
kita di kelas XII, masa yang seharusnya difokuskan untuk ujian akhir dan
persiapan memasuki perguruan tinggi. Masih terngiang di kepalaku perseteruan
antara OSIS dan sekolah dalam pelaksanaan kegiatan Matsama (Masa Ta’aruf Siswa
Madrasah). Dimulai dari nama yang tiba-tiba berganti, pemberian tugas kepada
peserta Matsama, hingga kontroversial tim tata tertib. Kegiatan hari-hari
Matsama pun kita jalankan tanpa bimbingan sang ketua OSIS, karena yang
bersangkutan diberi tugas oleh sekolah menggantikan siswa yang undur diri dalam
lomba MTQ tingkat nasional.
Masa yang
seharusnya fokus untuk belajar kemudian ternodai oleh beberapa dari kita yang
dimintai tolong (bahasa halusnya) untuk menjadi panitia Milad IC ke 20 dan
pembuat video profil tentang sekolah sehat. Walau begitu, kita melakukannya
dengan sepenuh hati, tanpa meminta balasan. Cukuplah diapresiasi.
Penghujung
semester lima, berita mencengangkan muncul. Tiga dari kita harus dikembalikan
kepada orang tua, sedang Ujian Nasional di depan mata. Beruntunglah, ketiganya
segera mendapat sekolah sehingga kekhawatiran tidak dapat ikut ujian pun
hilang.
Awal
semester enam, lagi-lagi datang berita mengejutkan. Tak sedikitnya lima orang
dari kita terkena skorsing. Beberapa bahkan dihukum karena ketidaksengajaan
yang dilakukan setahun sebelumnya. Tidak habis pikir memang.
Masa-masa
ini, ghiroh belajar kita melonjak naik. Bahkan di tengah kebimbangan ada
tidaknya pelaksanaan UN dan tiba-tiba muncul ujian baru bernama USBN, kita
masih tetap semangat belajar. Intensif pun kami usahakan selalu hadir. Namun,
ada saja yang tidak melihat usaha belajar kita. Ada yang mengatakan, “Kok saya
belum melihat semangat belajar kalian.” Tapi hal itu membuat kami berpacu lebih
kencang.
Hingga
akhirnya, satu persatu ujian berhasil kami lewati. Ada yang dilewati dengan
mudah, ada juga yang dengan susah payah. Apapun hasilnya, kita serahkan kepadaNya.
Puncaknya,
Ujian Nasional Berbasis Komputer yang dilaksanakan pada tanggal 10-13 April
2017. Secara teknis tidak ada kendala yang berarti, namun melirik soal-soalnya,
rasanya seperti menghadapi ulangan harian ala guru Insan Cendekia. Sampai-sampai
ada yang menyeletuk, “Soal UN rasa SBMPTN ini mah.”
Kemudian
aku tersadar. Rintangan yang menghadang, jalanan penuh tanjakan, pandangan
sebelah mata terhadap angkatan, mejadi tidak terasa, saat aku dan kau bersama. Canda
dan tawa yang selalu menghiasi hari, pelukan dan genggaman yang terus menemani,
hingga panjatan doa yang tak pernah berhenti seakan menghapus kesedihan yang
kita alami.
Apalah
kata orang-orang di belakang, ketika kita bisa menjadi diri sendiri. Biarlah
orang berkata apa, yang penting kita bahagia. Tak dapat kulukiskan satu persatu
kenangan indah yang telah kita lewati. Tak terhitung jumlahnya. Namun memori
tentangnya akan selalu ada. Biarkanlah Blu’s Clues (nama hardisk-ku–red)
yang menyimpannya, dalam kepingan-kepingan hasil bidikan lensa.
Hingga akhirnya,
kita dapat menunjukkan pada dunia, bahwa Axiora itu ada. Kabar bahagia yang
terus bermunculan, menjadi satu pembuktian kita akan rasa tidak percaya yang
pernah dirasakan oleh kami. Dimulai dari 13 Juni lalu saat pengumuman SBMPTN,
dimana dari 90 orang yang mengikuti SBMPTN, hanya 9 orang yang belum berhasil
meraihnya. Terlebih, lebih dari 15 orang diterima di fakultas kedokteran yang
tersebar di universitas negeri di Pulau Jawa. Bahkan, mengukuhkan lima nama di
FKUI. Betapa pencapaian luar biasa.
Lagi, baru
sehari yang lalu kita mendapat hasil rata-rata Ujian Nasional 2017, yang
menempatkan hasil jurusan IPA sebagai peringkat tiga nasional dan jurusan IPS
kokoh di peringkat satu nasional. Suatu pencapaian yang jujur saja kita tidak
menyangka. Hasil yang menunjukkan pada kita bahwa Allah selalu bersama
orang-orang yang sabar.
Tentulah
kita bersyukur akan apa yang telah kita raih. Tak lupa juga rasa terima kasih
kepada guru-guru, kakak dan adik kelas, hingga para orang tua yang telah
mendoakan kita tak henti-hentinya. Namun ingatlah, perjalanan yang lebih
panjang masih menunggu kita di depan mata. Perjalanan panjang menjadi
insan-insan yang berilmu, beriman, berakhlak, dan bermanfaat untuk sekitar.
Tetaplah
berada di sisiku kawan. Saling berpegang erat untuk menyongsong masa depan.
Walau badan tidak lagi berdekatan, tetapi doa akan selalu menyatukan. Karena
kita, dalam suka dan duka, meraih cita, seperti lirik yang tertera dalam
lagu angkatan Axiora.
44 hari
menuju milad ke-3 Axiora