• Home
  • About
  • Contact
    • Mail
  • She Talks Football
  • Untuk Nadhira
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram

encyclopedhira

Kami Anak Ultra Mimi!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Schuchro
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Tidak biasanya aku menyetel radio di mobil, apalagi mendengarkan lagu. Selalu Najla yang menyabotase DVD player di mobil. Namun, karena ini bukan mobilku, aku menurut saja, sambil mendengarkan.

Lembaran foto hitam putih

Aku tersentak. Lagu itu! Lagu yang dinyanyikan saat wisuda lalu. Tepatnya saat wisudawan dan wisudawati turun dari panggung Gedung Serba Guna. Dan sialnya, lagu itu membawa memoriku terbang ke hari-hari sebelum 13 Mei.

Ya. Foto hitam-putih yang tertera di kartu USBN, UAMBN, bahkan UN menjadi saksi perjuangan yang telah kita tempuh selama tiga tahun di Insan Cendekia. Hasilnya, foto hitam-putih lainnya yang tertera di ijazah–yang baru saja (banyak dari) kita dapatkan–menjadi jawaban atas perjuangan tak kenal lelah yang telah kita lakukan.

Aku coba ingat lagi warna bajumu kala itu

Malam menjelang 13 Mei. Kita baru kembali ke asrama lewat jam 11 malam. Malam akrab Axiora terakhir, sebelum wisuda. Doa khotmil Qur’an dipanjatkan sebelum mulai acara, sebagai rasa syukur setelah lima hari berhasil mengkhatamkan Alquran bil ghoib. Dilanjutkan dengan pemberian kenang-kenangan kepada Bu Evi dan Pak Zein, membuat malam itu penuh haru.

Aku kembali membuka foto hari itu. Foto wefie seangkatan, dengan Hafi sebagai tongsisnya. Aku memakai gamis marun, Nuni dengan gamis denimnya, Atrika sangat soft mengenakan kerudung baby pink dan kemeja putih, Hani yang terlalu sering memakai kerudung hitam, dan Bu Evi cantik dengan kerudung pink keunguan. Ketua angkatan kita, Zhofir, mengenakan kaus lengan panjang bermotif garis-garis. Dan aku mengingatmu, yang kala itu duduk di samping sang ketua angkatan, memakai baju dengan warna yang sama seperti Pak Zein, putih.

Kali pertama di hidupku, manusia lain memelukku

Tentu saja ini bukan kali pertama aku memiliki teman. Namun, jujur saja, ini kali pertama aku mempunyai teman yang tidak pernah bosan untuk saling mengingatkan, akan kebaikan dan kesabaran. Teman yang bahkan ketika salah satu dari kita sudah tidak bersama lagi di Insan Cendekia, masih diundang untuk merayakan hari jadi Axiora.

Di mana pun kalian berada

Kini, masing-masing dari kita mulai melebarkan sayap, menempuh salah satu jalan menuju surga Allah di berbagai macam tempat. Dari mulai Jambi hingga Jepang, juga Mesir hingga Malang.

Kukirimkan terima kasih

Terima kasih, teman-teman. Atas rangkulanmu, nasihatmu, dukunganmu, serta doamu. Terima kasih juga, untuk para guru yang tak pernah lelah mengajarkan kami berbagai ilmu dan mendidik kami agar menjadi manusia yang bermanfaat nantinya.

Dan terima kasih juga untuk... dirimu. Untuk sejuta alasan yang tidak dapat kusebutkan.

Untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah

Mulai kenalan pertama saat matrikulasi, capek bersama saat PTS, mulai menyatukan kelas di Gakic, pusing bersama mengurusi Cordoba, stukol ke Yogya, memutar otak saat Lazemmour, merayakan Ramadan bersama i-Fun 1436 H., sampai bersenang-senang di Astara.

Menjadi pemegang kendali OSIS, latihan kemimpinan di Cidahu, bahu membahu di Sonic Lingustic dan i-Care, drama fikih yang melegenda, mengadakan AXARA Cup, berteriak-teriak di Trans Studio Bandung, merasakan kehidupan sederhana saat homestay, hingga teror biologi Bu Etty.

Memperjuangkan Matsama Al-Kautsar, LPJ yang diterima dua kali, menampilkan tari cebol saat milad Axiora yang kedua, sibuk intensif dan BK, insiden bakar jagung gedung F,  ARA’s night bersama Bu Evi, mulai mengurusi baju wisuda dan BTS, seminar karir, naik kapal ke Lampung, keliling dunia bersama The Voyage, ujian dan ujian, nyanyian “Taaaman Bunga Nusantara!”, seru-seruan di Avelasca, juga kebersamaan lainnya yang menghabiskan waktu tiga kali puasa dan tiga kali lebaran (Idul Adha).

Kau melukis aku

Semua memori yang telah kusebutkan, insyaallah tersimpan rapi dalam sebuah kotak satu terabyte bernama Blu’s Clues. Hardisk yang sering banget dipinjam sebelum acara angkatan–baik angkatan sendiri ataupun angkatan lain, dibutuhkan saat LPJ, bahkan diperlukan untuk lampiran kegiatan sekolah ketika mengikuti lomba sekolah sehat.

Sekadar informasi, kumpulan foto dan video kita selama 3 tahun, memakan 506 gigabyte di hardisk­-ku, yang berisikan lebih dari 65.000 fail foto dan video. Ini hampir lima kali lipat besarnya daripada koleksi film dan drama yang juga tersimpan dalam Blu’s Clues. Super, bukan?

Lembar monokrom hitam putih
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan kumengenal cinta
Bila bukan karena hati baikmu

Cinta apapun yang kurasakan, aku mensyukurinya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Idul Adha Pertama
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebelum Perjuangan Dimulai
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari Pertama Masuk Asrama
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ini kue Axiora. Sebagai perayaan milad yang ketiga. Terlalu awal memang, masih 30 hari menuju 20 Agustus. Bukan soal kue, tapi soal cerita tentangnya.

Hari ini, aku pergi ke Insan Cendekia untuk mengambil ijazah, sekaligus bertemu kembali dengan teman-temanku. Dan hari ini pula, untuk pertama kalinya, aku ke IC menggunakan kendaraan umum. Bersama Fia, aku naik bis. Berangkat dari Terminal Pakupatan jam 8, sampai di IC jam 11. Itu pun karena ada insiden salah jurusan angkot, hehe.

Anak Axiora yang pertama kutemui setelah sampai di IC adalah Fariza dan Fitri. Setelah membayar ongkos kepada pengemudi Gr*b, aku langsung meneriaki mereka. “Ijaaaaay! Ipiiiiiiiit!”

Aku berjalan menuju ruang audio visual (AV). Disana, aku bertemu lebih banyak lagi dengan teman-temanku. Melepas rindu, aku memeluk mereka. Mengobrol hal-hal remeh, bahkan masih sempat bergosip.

Jalan-jalan sekitar IC pun dimulai. Bersama Fia, Mira, Marwah, Muti, Ijay, dan Ipit, kami berkunjung ke rumah Bu Dini, sekaligus menengok bayi Fatimah. Anak kelima Bu Dini tersebut sangat menggemaskan. Wajahnya putih, agak-agak mirip bule gitu heheheh. Selanjutnya, kami mampir dan jajan di saung Teh Sri. Terlihat di bangku depan saung banyak siswa yang tidak kuketahui wajahnya–siswa angkatan 23. Mereka sempat melirik kami, dan kami tetap saja (masih) heboh.

Kami berjalan lagi menuju depan perpustakaan. Pak Kris ada di sana, sedang duduk. Kami menyapa Pak Kris. Dari depan pintu perpustakaan, Bu Elly muncul. Kami juga salam kepada Bu Elly. Tak lama, Pak Japar muncul dengan motornya. Kami pun menyapa Pak Japar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.35. Kami berniat kembali ke ruang AV. Aku berjalan dengan riang, hingga dari kejauhan terlihat tiga sosok anak Axiora yang sedang berjalan menuju masjid. Hari itu hari Jumat, maka para laki-laki pun sudah bersiap untuk melaksanakan sholat Jumat. Padahal ketiga sosok tersebut masih cukup jauh, namun salah satunya sukses membuatku tersenyum dan salah tingkah.

Pembagian ijazah, yang direncanakan selesai sebelum sholat Jumat, molor baru bisa dibagikan setelah sholat Jumat. Entah siapa yang harus disalahkan. Aku menunggu namaku dipanggil dengan sabar. Hanya satu sebenarnya yang kupikirkan, bagaimana aku pulang nantinya. Aku berjanji pada orang tuaku untuk tidak pulang terlalu larut, dan aku juga bukan orang yang dengan mudahnya berkata, “Ayah, Bunda, aku mau nginep di rumah si ini, ya!”

Namun hingga pukul 3 sore, namaku tak kunjung dipanggil. 20 menit kemudian, adzan asar berkumandang. Aku dan teman-temanku yang sama-sama belum cap tiga jari untuk ijazah, melaksanakan sholat asar terlebih dahulu, di masjid penuh kenangan, Ulil Albab. Barulah setelah sholat Asar, aku dapat cap tiga jari. Setelah itu, aku langsung pergi ke tempat kumpul Axiora, Saoenk Kito BSD (tentunya setelah menunggu abang-abang Gr*b datang).

Aku sampai di Saoenk Kito dengan keadaan pusing dan lelah. Lapar juga. Aku langsung naik tangga ke tempat yang telah dipesan BPH Axiora, dan langsung duduk di hadapan sebakul nasi dan ayam goreng. Karena rasa lapar yang tidak tertahankan, aku langsung menyantap menu makan-siang-tapi-dimakan-saat-sore dengan lahap. Mukaku pun sudah kusut tidak karuan, haha.

Waktu terus berjalan. “Fia, gimana kita pulang?” tanyaku panik. Aku dan Fia harus pulang dengan bis kembali. Sedangkan aku belum berada di halte bus saat itu. Arah menuju halte bus di Kebon Nanas pun aku tidak tahu. Aku kacau. Aku tidak mau menghancurkan kepercayaan orang tuaku.

Jadilah, tepat pukul 17.20, aku dan Fia berangkat dari Saoenk Kito menuju halte Kebon Nanas, dengan perasaanku yang campur aduk, meninggalkan sepotong kue ulang tahun Axiora yang belum sempat kucicipi.

***

Ada satu cerita, tepat sebelum aku pulang. Tak akan kujelaskan memang. Namun menyisakan satu pertanyaan.

Kapan kita bertemu kembali, ya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Waktu menunjukkan pukul 04.05 pagi. Alarm berbunyi cukup nyaring dari ponselku. Aku sedikit tersadar dari mati sementaraku. Tak berapa lama, terdengar ketukan dari pintu kamarku. Aku menyalakan lampu, kemudian memutar kunci pintu dan membukanya. Terlihat Bunda berdiri di depan pintu.
 
“Kak, tahajud Kak,” ujarnya.

***

Terbangun di sepertiga malam terakhir, lalu mengambil wudhu dan sholat tahajud, bagiku merupakan nikmat yang tiada terkira. Di tengah keheningan malam, berkasih dan bercumbu pada Pemilik Semesta. Meminta apapun, ibarat tak ada jarak antara diriku denganNya.

Satu nasihat Bunda yang selalu terngiang di kepalaku. “Kak, kalau Kakak di IC sering sholat tahajud, di rumah juga jangan susah dong, kalau dibangunin.”

Aku tertegun. Ya, selama di Insan Cendekia, walau tidak ada dering alarm HP, cukup mudah bagiku untuk bangun jauh sebelum adzan subuh berkumandang. Mulai dari murottal yang terdengar kencang, hingga teman sekamarku yang tidak pernah lelah membangunkanku.

Hani, hampir setiap hari ia membangunkanku, agar aku bisa melaksanakan sholat tahajud, minimal di kamar. Ia yang selalu bangun paling awal di kamar. Ia juga yang selalu semangat membangunkan anak-anak penghuni gedung H. Terkadang juga Nuni yang membangunkanku, setelah ia selesai melaksanakan sholat tahajud.

Ada masa hampir setiap hari aku bangun 10 menit sebelum subuh. Mau sahur ke kantin, susah, mau sholat tahajud di masjid juga keburu adzan. Jadilah selama beberapa minggu tersebut aku usahakan sholat tahajud kilat–dua rakaat ditambah satu witir, bahkan melaksanakan sholat qobliyah subuh di kamar.

Keyakinanku satu. Jika aku mengawali hari dengan sholat tahajud, insyaallah satu hari tersebut akan terasa menyenangkan dan dimudahkan. Maka dari itulah, aku selalu sedih bila dalam beberapa hari aku tidak dapat melaksanakan sholat tahajud.

Di rumah, Ayah dan Bunda tidak pernah bosan membangunkanku–bahkan dari 45 menit sebelum subuh, agar aku dapat melaksanakan sholat tahajud. Sholat tahajud seakan menjadi sholat wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Memang, tak pernah sekalipun kulihat Ayah dan Bunda absen dari bangun dan sholat di sepertiga malam terakhir. Bahkan, bila aku kedapatan tidak sempat melaksanakan sholat tahajud, Bunda pasti menggerutu dan menasihatiku.

Sejak SMP, Ayah dan Bunda mengajari aku dan adikku untuk sholat tahajud. Dahulu, aku hanya dibangunkan di akhir pekan, mungkin kalau di hari biasa takut ngantuk di sekolah. Lama kelamaan, jika liburan sekolah datang, dua hari sekali mereka membangunkanku untuk sholat tahajud. Dan setelah aku masuk Insan Cendekia, intensitas Ayah dan Bunda dalam membangunkanku semakin meningkat.

Aku tahu, sebenarnya Ayah dan Bunda tidak mau terus membangunkanku. Mereka ingin aku bangun sendiri. Terkadang aku bangun, namun seringnya aku dibangunkan. Padahal aku sudah memasang alarm dengan kencang di HPku (beruntunglah aku karena tidak sekamar dengan Najla, sehingga aku tidak mengganggunya). Entahlah. Mungkin niatku kurang kencang, yakin, dan ikhlas. Padahal, di asrama, ketika aku begadang hingga jam satu atau dua pagi, aku masih bisa bangun setengah jam sebelum subuh.

Hal itulah, yang hingga detik ini terus mengganggu pikiranku. Di IC, ada banyak teman yang tak pernah bosan membangunkanku, entah karena aku yang minta atau mereka yang sangat baik. Dan di rumah, Ayah dan Bunda tidak pernah lelah mengetuk pintu kamarku hingga aku beranjak dari kasur dan melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu. Tak lama lagi aku kuliah. Siapa yang nanti akan membangunkanku?

Jujur, aku takut. Aku tidak ingin kehilangan nikmat melaksanakan sholat di sepertiga malam terakhir. Sholat tahajud yang menenangkan, sholat tahajud yang memberi jawaban, dan sholat tahajud yang dapat menambah kedekatan. Aku selalu ingat apa yang pernah guru halaqahku, Bu Dini, katakan. “Jika kita kehilangan nikmat suatu ibadah, maka tanyakan kepada diri kita sendiri. Apakah hal tersebut terjadi karena kita sering bermaksiat kepadaNya, sehingga Allah tidak lagi ridho memberikan nikmat ibadah tersebut kepada kita?”

Ya Allah ya Rabb, aku tidak ingin kehilangan nikmat itu...


Renungan beberapa hari terakhir ini, beberapa hari sebelum Syawal berakhir.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Berhubung di postingan sebelumnya aku menyinggung film Iqro, ada baiknya aku menceritakan juga sedikit dari film yang berdurasi 97 menit ini.

Pertama kali aku melihat banner film Iqro adalah saat acara visit campus Axiora ke ITB, Desember 2016. Saat itu aku sedang berjalan menuju tempat wudhu di Masjid Salman, dan mataku menangkap beberapa banner yang terpajang di sekitar area Salman.

Aku tidak begitu memperhatikannya, karena pada waktu itu aku sedang terburu-buru. Hanya saja, aku sempat melihat tanggal tayang film tersebut, yaitu 26 Januari 2017. Sempat terlintas untuk menontonnya, namun aku hiraukan pikiran itu. Kayak bakal tayang di Teko (Teras Kota) saja, batinku.

Qadarullah, aku berkesempatan menonton film Iqro di tempat aku melihat banner film ini, Masjid Salman ITB, bahkan dengan cuma-cuma, saat Ramadan lalu. Berawal dari acara Inspirasi Ramadan yang tidak dapat dilaksanakan dikarenakan pembicara yang tidak hadir, acara pada sore itu diganti dengan nonton bareng film Iqro.

***

Film Iqro; Petualangan Meraih Bintang merupakan film pertama yang dihasilkan oleh kolaborasi antara YPM Salman ITB dan Salman Film Academy, sekaligus film pertama di Indonesia yang diproduksi oleh masjid (seperti yang telah kusebutkan pada postingan sebelum ini). Film ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Aqila yang sangat ingin mengamati Pluto untuk tugas liburannya di Observatorium Bosscha, Lembang. Kakeknya merupakan astronom di observatorium tersebut. Sang kakek (biasa dipanggil Opa) membolehkan cucunya untuk mengamati Pluto lewat teleskop terbesar Bosscha, dengan syarat Aqila harus belajar mengaji dan melancarkannya.

Alur cerita film ini sederhana. Klimaksnya adalah saat Opa tidak dapat memenuhi janjinya pada Aqila karena Observatorium Bosscha akan ditutup sebab polusi cahaya dan pembangunan hotel. Jelas saja, karena film ini memang film keluarga. Anak kecil yang menontonnya pun tidak akan merasa kesulitan memahimi ceritanya.

Film Iqro menitikberatkan pada sains dan Alquran. Lima menit pertama pembuka film ini kita disuguhkan adegan Opa yang sedang menjelaskan tata surya di depan audiens di dalam ruangan persis dengan tempat yang pernah aku (dan teman-teman Axiora tentunya) kunjungi saat studi kolaboratif ke Observatorium Bosscha kelas XI lalu. Bukan soal itu, melainkan dalam adegan tersebut Opa menyebutkan ayat yang menjadi ikon dari film ini, Ali Imran ayat 190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. Hal itu membuatku tertegun.

Demi bisa meneropong Pluto dengan teropong terbesar Bosscha, Aqila semangat mengikuti pesantren kilat yang diadakan di musholla dekat rumah kakeknya. Awalnya mungkin terpaksa, namun lama kelamaan ia menikmatinya. Buku legendaris masa kecil–Iqro pun ia habiskan dalam waktu singkat. Puncaknya adalah Aqila (dan satu teman laki-laki cukup bandel, yang cukup menghibur dalam film tersebut) mewakili desa kakeknya mengikuti lomba mengaji, sekaligus menjadi pembuktian pada sang kakek bahwa ia telah lancar mengaji.

Film ini seakan menyadarkanku akan pentingnya ilmu pengetahuan, yang membuatku harus semakin semangat dalam berjihad mempelajari ilmu-ilmu Allah. Film yang sederhana, namun sarat akan makna. Membuat mataku berkaca-kaca mengetahui rahasia ilmu pengetahuan dalam kalamNya.

Bendungan air mataku pecah saat mendengar backsound pengiring kredit film. Jika di awal film kita didengarkan ayat Alquran, maka di akhir film doa khotmil Qur’an lah yang ditampilkan. Allaahummarhamnaa bil qur’an-nya Muzammil Hasballah mampu membuat sebagian penonton meneteskan air mata haru. Bulu kudukku merinding mendengarnya.

Pada akhirnya, aku sungguh menyarankan kalian untuk menonton film Iqro. Jangan cuma menonton film horor, apalagi cinta menye-menye. Sekali-kali, tontonlah film yang membuat kalian semakin mencintai ilmu dan Alquran. Insyaallah menonton film seperti itu akan mendapatkan pahala, hehe.

Namun sayang, pasti sulit mendapatkan film tersebut, bahkan yang bajakannya sekalipun. Tapi jangan khawatir, akan ada sekuel dari film Iqro ini yang berjudul Iqro 2. Aku bahkan sudah menonton trailer-nya lho, hehe. Sekedar bocoran, setting film Iqro 2 bertempat di luar negeri, dengan Aqila yang sudah tumbuh menjadi remaja. Tenang saja. Bila aku mendapat info kapan film tersebut akan tayang, insyaallah akan aku sebarkan kepada kalian. Jadi, tunggu film Iqro 2 di bioskop-bioskop kesayangan Anda, ya!

(Ssst! Ternyata, film Iqro akan dibuat novel!)

Bonus! Trailer film Iqro:
 

Sekalian deh, beberapa cuplikan dari trailer film Iqro 2 (diambil dari fanpage Facebook Film Iqro):

Mungkin saja manusia bisa tinggal di planet lain,
Tapi apakah manusia sudah cukup dalam menjaga air, tanah, dan udara yang disediakan Allah di bumi ini?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
“Mengapa makin ke sini makin banyak orang yang tidak mencintai ilmu pengetahuan?” tanya seorang Kakek pada cucu perempuannya.

Aqila, sang cucu, hanya bisa duduk dan terdiam.

“Padahal, Allah sudah menyuruh manusia untuk membaca apa yang ada di alam semesta, seperti yang terdapat dalam firmanNya; Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 190),” lanjut sang Kakek.

***

Itulah sedikit cuplikan dari film layar lebar berjudul Iqro’; Petualangan Meraih Bintang yang kutonton saat di Salman lalu. Ya, film ini diproduksi oleh YPM Salman ITB, dan merupakan film pertama yang digarap oleh sebuah masjid. Pastinya film ini bertema religi. Namun, bukan seperti kebanyakan film religi di Indonesia yang membahas tentang cinta dan menikah, film ini menceritakan tentang pentingnya mencari ilmu.

Seperti ayat Alquran yang pertama kali turun, iqro’. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Sang Kakek, dalam film tersebut menuturkan, bahwa yang dimaksud dengan iqro’ adalah tiga hal. Membaca apa yang terdapat dalam Alquran, membaca apa yang terjadi di alam semesta, dan membaca apa yang ada dalam diri manusia. Yang intinya, Allah menyuruh kita, sebagai makhluk ciptaanNya yang peling cerdas dan berhak menjadi khalifah di bumi, untuk belajar dan mencari ilmu.

Betapa pentingnya mencari ilmu, hingga Rasulullah SAW. dalam haditsnya berkata, ”Tuntulah ilmu dari buaian hingga liang lahat,” dan “Tuntulah ilmu hingga ke negeri Cina.” Sungguh, betapa mulianya para pencari ilmu. Bahkan, seorang tholabul ‘ilmi disamakan dengan mujahid yang berjuang di jalan Allah. Karena barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.

Sumber dari segala ilmu terdapat dalam kitab suci yang telah turun lebih dari 1400 tahun yang lalu, Alquranul karim. Seperti pada surah Ali Imran ayat 190 di atas, Allah menyinggung tentang penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam yang menjadi dasar ilmu astronomi. Ilmu-ilmu lain yang terdapat dalam Alquran pun tidak terhitung jumlahnya. Yang pernah kubaca (dari terjemahan Alquran saja), ada yang menyebutkan tentang pertumbuhan tanaman, perkembangan manusia dalam rahim, hingga turunnya hujan.

Itu baru dalam bidang sains. Selain itu, Alquran juga merupakan sumber hukum. Ilmu sosial dan muamalah pun tidak luput dijelaskan dalam Alquran. Maka dari itu, tidak dapat dinafikkan bahwa segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini tidak bisa dipisahkan dengan Alquran.

Orang-orang berakal (ulil albab) yang disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190 merupakan sekelompok manusia yang berjuang mencari ilmu Allah dan memahami tanda-tanda kebesaranNya. Kurasa, hal tersebut pasti berhubungan dengan ayat setelahnya. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. Jika kita telah mencari dan mendapatkan ilmu, sepatutnya kita akan semakin mengingat Allah, bahkan dalam keadaan apapun. Karena semua tanda kuasa yang Allah tunjukkan, akan menghantarkan kita pada suatu fakta bahwa Allah tidak menciptakan semua yang ada di alam semesta ini dengan sia-sia. Dan sekali lagi, hanya orang yang berakal lah yang dapat memahami ini. Maka, orang-orang berakal pun kemudian berdoa agar dijauhkan dari segala hal yang dapat menjerumuskan mereka pada kesia-siaan dan membawa mereka menemui azab neraka.

Satu hal yang kurenungkan. Mungkin inilah salah satu alasan kaligrafi yang terpasang di Masjid Ulil Albab di Insan Cendekia memampang ayat ini, dimulai dari QS. Ali Imran ayat 189 hingga 191. Memuji dan mengesakan Allah, mencari dan memahami tanda-tanda kebesaran Allah, dan semakin tunduk dan patuh kepada Allah. Masyaallah, aku merinding membayangkannya.

Film Iqro’ menyadarkanku bahwa semakin kita mempelajari Alquran, seharusnya semakin semangat kita dalam mempelajari ilmu-ilmu Allah yang lain. Alquran barulah pintu masuk akan luasnya ilmu Allah, juga sebagai pengingat dan jalan hidup kita sebagai umat Nabi Muhammad. Semakin jatuh cinta pada Alquran, akan semakin cinta pula kepada penulisnya, dan akan menuntun kita pula menyibak tanda-tanda kekuasaan Allah yang masih sedikit sekali tersentuh. Seperti Aqila, dengan bangga ia berkata pada kakeknya, “Aku nggak pernah menyesal belajar Alquran!”


Sekedar pengingat diri sendiri, untuk menghadapi dunia kuliah yang tidak akan lama lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebuah kehormatan bagiku, untuk bisa menjadi satu di antara 120 semut pekerja keras tanpa lelah ini. Suatu hal yang aku syukuri, berjuang bersama dengan para mujahid pencari ilmu. Satu hal yang aku akui, aku menemukan cinta di bawah naungan nama Axiora. Cinta dalam mengajak kebaikan, cinta dalam saling menyemangati, hingga cinta yang terucap dalam doa.

Pagi tadi, sebuah berita dari laman resmi Kementrian Agama muncul. Menjelaskan tentang MAN Insan Cendekia Serpong meraih peringkat satu rata-rata UN nasional jurusan IPS. Tak hanya itu, situs detik.com juga membicarakan hal serupa. Banyak komentar yang bermunculan. Ada yang memberi apresiasi, ada juga bernada mencaci.

Aku jadi teringat, bagaimana perjalanan panjang penuh liku itu pernah kita lewati bersama.

Tahukah, saat kelas X, betapa ego masing-masing dari kita sangatlah tinggi. Perdebatan tanpa henti, hingga menciptakan jarak seperti langit dan bumi. Terlebih di semester dua. Antar anggota khwan dan akhwat sangat terasa jauhnya. Pun dengan sesama anak akhwat. Masa-masa paling sulit, menurutku. Sampai-sampai pernah aku berpikir, Duh, mending jadi anak angkatan lain aja, deh. Terlebih, kasus pertama yang menimpa Axiora, yang mulai membuat nama Axiora sedikit tercoreng.

Memasuki kelas XI, masa ketika tumpu kepemimpinan OSIS, kita yang kendalikan. Tahukah, bahkan dalam penentuan bakal calon ketua OSIS dan MPS saja kita meributkannya. Jangan si ini, lah, jangan si itu, lah. Pusing aku mendengarnya, apalagi memikirkannya. Apalagi setelah kejadian kekosongan jabatan ketua angkatan Axiora. Beruntungnya, sesaat sebelum demo angkatan pada acara Pekan Ta’aruf Siswa, Axiora memiliki ketua angkatan baru.

Kegoyahan bidang akademik pun cukup terasa. Dihantui oleh biologinya Bu Etty, membuat tidur kita serasa tidak pernah nyenyak. Juga dengan KIR dan segala revisinya. Banyak nilai dari kita yang menurun drastis saat semester tiga, aku termasuk salah satunya. Apalagi, Sonic Linguistic dan iCare juga menambah tanggung jawab di pundak kita.

Perlahan, satu demi satu dari kita mulai berguguran. Dari yang mengundurkan diri karena sakit, masalah akademis, hingga terpaksa dikeluarkan. Sedih memang rasanya. Tetapi, bagaimana pun, doa dan semangat selalu kita berikan kepada mereka agar mereka juga sukses di luar sana.

Semakin banyak alasan untuk tidak menyukai angkatan ini. Rasanya, segala sesuatu yang kita lakukan selalu dikomentari dan dipersulit. Puncaknya pada saat itu ialah pelarangan pemunculan maskot Sonlis yang telah susah payah dibuat oleh salah satu dari kita. Gedeg sana-sini pastinya. Ngedumel di belakang juga iya. Tapi, kesabaran menjadi benteng terakhir dalam meluapkan emosi kita.

Sampailah kita di kelas XII, masa yang seharusnya difokuskan untuk ujian akhir dan persiapan memasuki perguruan tinggi. Masih terngiang di kepalaku perseteruan antara OSIS dan sekolah dalam pelaksanaan kegiatan Matsama (Masa Ta’aruf Siswa Madrasah). Dimulai dari nama yang tiba-tiba berganti, pemberian tugas kepada peserta Matsama, hingga kontroversial tim tata tertib. Kegiatan hari-hari Matsama pun kita jalankan tanpa bimbingan sang ketua OSIS, karena yang bersangkutan diberi tugas oleh sekolah menggantikan siswa yang undur diri dalam lomba MTQ tingkat nasional.

Masa yang seharusnya fokus untuk belajar kemudian ternodai oleh beberapa dari kita yang dimintai tolong (bahasa halusnya) untuk menjadi panitia Milad IC ke 20 dan pembuat video profil tentang sekolah sehat. Walau begitu, kita melakukannya dengan sepenuh hati, tanpa meminta balasan. Cukuplah diapresiasi.

Penghujung semester lima, berita mencengangkan muncul. Tiga dari kita harus dikembalikan kepada orang tua, sedang Ujian Nasional di depan mata. Beruntunglah, ketiganya segera mendapat sekolah sehingga kekhawatiran tidak dapat ikut ujian pun hilang.

Awal semester enam, lagi-lagi datang berita mengejutkan. Tak sedikitnya lima orang dari kita terkena skorsing. Beberapa bahkan dihukum karena ketidaksengajaan yang dilakukan setahun sebelumnya. Tidak habis pikir memang.

Masa-masa ini, ghiroh belajar kita melonjak naik. Bahkan di tengah kebimbangan ada tidaknya pelaksanaan UN dan tiba-tiba muncul ujian baru bernama USBN, kita masih tetap semangat belajar. Intensif pun kami usahakan selalu hadir. Namun, ada saja yang tidak melihat usaha belajar kita. Ada yang mengatakan, “Kok saya belum melihat semangat belajar kalian.” Tapi hal itu membuat kami berpacu lebih kencang.

Hingga akhirnya, satu persatu ujian berhasil kami lewati. Ada yang dilewati dengan mudah, ada juga yang dengan susah payah. Apapun hasilnya, kita serahkan kepadaNya.

Puncaknya, Ujian Nasional Berbasis Komputer yang dilaksanakan pada tanggal 10-13 April 2017. Secara teknis tidak ada kendala yang berarti, namun melirik soal-soalnya, rasanya seperti menghadapi ulangan harian ala guru Insan Cendekia. Sampai-sampai ada yang menyeletuk, “Soal UN rasa SBMPTN ini mah.”

Kemudian aku tersadar. Rintangan yang menghadang, jalanan penuh tanjakan, pandangan sebelah mata terhadap angkatan, mejadi tidak terasa, saat aku dan kau bersama. Canda dan tawa yang selalu menghiasi hari, pelukan dan genggaman yang terus menemani, hingga panjatan doa yang tak pernah berhenti seakan menghapus kesedihan yang kita alami.

Apalah kata orang-orang di belakang, ketika kita bisa menjadi diri sendiri. Biarlah orang berkata apa, yang penting kita bahagia. Tak dapat kulukiskan satu persatu kenangan indah yang telah kita lewati. Tak terhitung jumlahnya. Namun memori tentangnya akan selalu ada. Biarkanlah Blu’s Clues (nama hardisk-ku–red) yang menyimpannya, dalam kepingan-kepingan hasil bidikan lensa.

Hingga akhirnya, kita dapat menunjukkan pada dunia, bahwa Axiora itu ada. Kabar bahagia yang terus bermunculan, menjadi satu pembuktian kita akan rasa tidak percaya yang pernah dirasakan oleh kami. Dimulai dari 13 Juni lalu saat pengumuman SBMPTN, dimana dari 90 orang yang mengikuti SBMPTN, hanya 9 orang yang belum berhasil meraihnya. Terlebih, lebih dari 15 orang diterima di fakultas kedokteran yang tersebar di universitas negeri di Pulau Jawa. Bahkan, mengukuhkan lima nama di FKUI. Betapa pencapaian luar biasa.

Lagi, baru sehari yang lalu kita mendapat hasil rata-rata Ujian Nasional 2017, yang menempatkan hasil jurusan IPA sebagai peringkat tiga nasional dan jurusan IPS kokoh di peringkat satu nasional. Suatu pencapaian yang jujur saja kita tidak menyangka. Hasil yang menunjukkan pada kita bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.

Tentulah kita bersyukur akan apa yang telah kita raih. Tak lupa juga rasa terima kasih kepada guru-guru, kakak dan adik kelas, hingga para orang tua yang telah mendoakan kita tak henti-hentinya. Namun ingatlah, perjalanan yang lebih panjang masih menunggu kita di depan mata. Perjalanan panjang menjadi insan-insan yang berilmu, beriman, berakhlak, dan bermanfaat untuk sekitar.

Tetaplah berada di sisiku kawan. Saling berpegang erat untuk menyongsong masa depan. Walau badan tidak lagi berdekatan, tetapi doa akan selalu menyatukan. Karena kita, dalam suka dan duka, meraih cita, seperti lirik yang tertera dalam lagu angkatan Axiora.


44 hari menuju milad ke-3 Axiora
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Nadhira KA, 21. An architecture student who loves photography and proudly be as a Gooner.

Follow Us

  • twitter
  • instagram
  • behance

Categories

  • Nadhira dan Cinta Pertama
  • karena kita; Axiora
  • kehidupan ITB
  • kepingan kenangan

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  November 2023 (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
  • ►  2019 (5)
    • ►  June 2019 (4)
    • ►  May 2019 (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
  • ▼  2017 (45)
    • ►  December 2017 (3)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  August 2017 (1)
    • ▼  July 2017 (15)
      • {H-24}
      • {H-25}
      • {H-26} – Monokrom
      • {H-27}
      • {H-28}
      • {H-29}
      • {H-30} – Belum Sempat Kucicipi
      • Nikmat Itu
      • Sekilas Tentang Iqro
      • Petualangan Meraih Bintang
      • Dalam Suka dan Duka, Meraih Cita
      • Jadi Guru TK?
      • Jurus 1000 Alasan
      • Maha Pengabul Doa
      • Mendadak Jadi Tempat Setoran
    • ►  June 2017 (5)
    • ►  May 2017 (14)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  September 2016 (3)
    • ►  August 2016 (3)
    • ►  July 2016 (6)
    • ►  June 2016 (6)
    • ►  May 2016 (4)
    • ►  April 2016 (7)
    • ►  March 2016 (2)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (46)
    • ►  December 2015 (8)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  September 2015 (4)
    • ►  August 2015 (6)
    • ►  July 2015 (3)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (1)
    • ►  April 2015 (3)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (8)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (24)
    • ►  December 2014 (7)
    • ►  November 2014 (4)
    • ►  October 2014 (12)
    • ►  September 2014 (1)

Facebook

ThemeXpose