• Home
  • About
  • Contact
    • Mail
  • She Talks Football
  • Untuk Nadhira
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram

encyclopedhira

النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ

النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ

النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ

Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat tersebut selalu membayangiku setiap kali aku membersihkan meja samping kulkas. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat itu lagi yang muncul di benakku setiap kali aku menyapu lantai asrama. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat itu pula yang seakan menerorku saat aku merapikan sandal depan asrama.

Dan bersamaan dengan itu, sebuah ayat muncul di benakku. Sebuah ayat di surah Al-Hujurat, bukan ayat-ayat yang pernah dihafal saat pelajaran aqidah akhlak semasa madrasah dulu, tetapi satu ayat setelah Allah memerintahkan manusia untuk saling mengenal.


"Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; seseungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)

Apa maksudnya Allah mengingatkanku akan hadits tentang kebersihan dan ayat tentang iman dan islam?

Walau sanad dari hadits tersebut adalah dhaif, tapi aku yakin Allah pasti merencakan sesuatu padaku.

Aku mulai berpikir. Menyusun potongan-potongan puzzle dalam benak dan logikaku. Karena aku tidak mempunyai tafsir surah Al-Hujurat, aku merengungkannya ala kadarku saja, dibantu oleh penjelasan Ustad Samsu pada pembinaan aqidah yang telah lalu.

Ah, ya. Sepertinya aku mulai memahaminya.

Jika kebersihan merupakan sebagian dari iman, maka seseorang belum dikatakan beriman bila ia tidak menjaga kebersihan. Begitu, kah?

Betapa kebersihan sangat diagungkan dalam Islam. Mantan ketua YPM Salman ITB, Pak Syarif Hidayat, dalam acara Salman Spiritual Camp (SSC) menegaskan bahwa adab masuk toilet–bahkan masuk masjid sekalipun, bukan membaca doa, melainkan menjaga kebersihan.

Begitu tingginya derajat keimanan. Aku merasa malu bila aku meninggalkan asrama (dalam hal terkecil, kamar) dalam keadaan tidak rapi. Belumlah aku dikatakan beriman kepada Allah, padahal iman berarti kepercayaan. Belumlah iman masuk ke dalam hatiku, apabila aku tak taat perintah Allah dan RasulNya.

Padahal, ibarat sebuah rumah, iman merupakan fondasinya. Bila iman tidak sempurna, kita hanya bisa dikatakan sebagai manusia yang tunduk/Islam (quuluu aslamnaa). Maukah membangun sebuah rumah tanpa fondasi yang kokoh? Hanya sebatas dinding (Islam) dan atapnya (ihsan)?

Bukan sekadar menggurui, apalagi merasa paling suci. Mari sama-sama berbenah diri. Mari berjuang bersama mencapai derajat keimanan dengan hal-hal sederhana yang mudah untuk dilakukan.

Menjaga kebersihan, contohnya. Mulailah dari hal kecil. Mari bersama-sama untuk menaruh sandal dan sepatu di tempat yang telah disediakan dengan rapi. Jangan lupa membuang sampah pada tempatnya. Juga mencuci piring setiap habis makan, dan mencuci peralatan dapur setiap usai masak.

Tak hanya menjaga kebersihan tempat tinggal, menjaga kebersihan diri tak kalah pentingnya. Jangan lupa mandi dua kali sehari. Bila memang pulang kuliah malam hari dan air terlalu dingin untuk mandi, setidaknya berganti baju, mencuci muka, dan menyikat gigi. Bukankah pepatah mengatakan kebersihan pangkal kesehatan?

Aku sendiri pun masih belajar untuk terus meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan. Tegur saja aku bila aku melailaikan. Jangan lupa untuk saling mengingatkan, toh ini juga merupakan kebaikan.

Bukankah menjaga kebersihan itu indah? Dan bukankah Allah itu Indah dan mencintai keindahan?



Catatan: Diri ini hanyalah insan fakir ilmu dan penuh dosa. Karena ini menyangkut ayat Alquran, bila terdapat kesalahan dalam penjelasan, jangan segan-segan untuk mengingatkan. Terima kasih. Wallahu a’lam bisshawaab.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Liburan sudah di ujung mata. Kalau bukan karena LMD (Latihan Mujahid Dakwah, Salman), aku ingin cepat-cepat pulang. Kangen masakan Bunda, kangen main-main sama Najla, dan kangen tethering sepuasnya (astaghfirullah).

Jadilah hari Kamis, 14 Desember kemarin, aku dan teman-teman sepermadrasahku melakukan rihlah melepas penatnya ujian ke suatu tempat di Lembang, The Lodge Maribaya. Memang tidak semuanya, karena beberapa masih ujian dan yang lainnya ada yang sudah pulang. Hanya aku, Alya, Mira, Almyra, Tita, Ihsan, dan Afif.

Kami memandangi hijaunya dataran Maribaya dan menaiki wahananya hingga menjelang siang. Kami kembali menuju kota menggunakan angkot (karena tidak menemukan transportasi online). Di tempat pemberhentian angkot, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Trans Studio Mall untuk makan. Kalau bukan karena ditraktir, mana mungkin aku akan mengiyakan. TSM mahal, bro. Hehe.

Kebetulan sekali, 14 Desember merupakan hari lahir salah satu dari kami, yaitu Mira. Teman sekamarku semasa kelas 11 ini ingin membelikan makanan untuk keenam temannya. Gara-gara itu, Ihsan sampai membatalkan puasanya. Jadilah kami makan di Marugame Udon (yang harga satu porsinya lebih dari selembar uang berwarna biru) dan berjalan-jalan (baca: windows shopping) di sekitaran mall tersebut.

Bukan itu yang ingin aku ceritakan, sejujurnya. Berjalan bersama kawan Insan Cendekia, memang berbeda.

Sesaat setelah sampai di The Lodge Maribaya, kami baru menyadari bahwa tempat wisata belum dibuka. Bahkan tempat pembelian tiket pun masih tutup. Akhirnya, kami duduk di sebuah tempat makan, sambil menunggu.

“Yang belum makan silakan makan dulu, yang belum sholat dhuha silakan sholat dulu,” ujar Afif.

Saat jalan-jalan pun, teman-temanku masih memikirkan amalan sunnah. Sholat dhuha yang selalu dilaksanakan sebelum berangkat sekolah, seakan tidak mau ditinggalkan. Pun halnya dengan sholat wajib. Saat hendak turun dari angkot, melihat kami satu rombongan, sang supir menawarkan untuk mengantar kami ke tempat wisata lainnya. Namun karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.30, maka kami memutuskan untuk menolaknya.

“Cari masjid dulu, ya,” kata Ihsan dan Afif. Kami mengiyakan.

Alhamdulillaah, baru berjalan sedikit, kami menemukan sebuah gang yang mengarah kepada suatu masjid. “Itu masjid!” pekikku kegirangan. Jadilah kami melaksanakan sholat dzuhur – sekaligus istirahat di masjid tersebut.

Tidak ingin ketinggalan waktu sholat ya, batinku.

Setelah makan udon hinga kenyang dan berjalan-jalan (walau tak beli apa-apa), tak terasa waktu maghrib hampir menghampiri. Kami memutuskan untuk berjalan menuju mushola yang terletak di lantai tiga, sembari menunggu waktu maghrib tiba.

Adzan berkumandang di dalam mushola. Sesaat setelah itu, sholat maghrib berjamaah langsung didirikan. Aku bersyukur, berkesempatan melaksanakan sholat berjamaah di sebuah mall, terlebih ketika sang imam membaca beberapa ayat dari awal surah Al-Kahfi. Ah iya, benar. Hari ini malam Jumat, sunnah membaca surah Al-Kahfi.

Bahkan sebelum pulang, Afif menyeletuk, “Pas udah nyampe kos dan asrama masing-masing, jangan lupa Al-Kahfi ya.”

Inilah yang kurindukan menjadi siswa Insan Cendekia. Tak pernah abstain dalam mengingatkan akan kebaikan, bahkan bersama-sama melakukannya. Tentu saja aku bersyukur saat ini aku berada di Rumah Sahabat Muda naungan Masjid Salman, sehingga saling mengingatkan akan kebaikan pun tidak hilang. Namun tetaplah, tiga tahun di Insan Cendekia (walau tidak pernah dididik ala pesantren), membuat kami banyak belajar, hingga agama sekalipun.

Selama di perjalanan, celotehan cerita tidak berhenti dari mulut kami. Kami bernostalgia atas apa yang pernah kami lakukan semasa di madrasah. Bahasa lain dari pengakuan dosa, hehe. Aku bercerita bahwa aku pernah membawa laptop saat kelas 10 dan mengunci kamar selagi aku dan teman sekamarku memainkannya. Belum lagi cerita ngumpet dari divisi kedisiplinan OSIS bila waktu sholat telah tiba, hingga kasus yang membuat dua orang dari kami terpaksa dikeluarkan dan lima lainnya harus libur lebih panjang (alias diskors).

Mira dan Ihsan, yang semasa kelas 11 menjadi MPS (pengawas) divisi kedisiplinan, membisu mendengar penuturan dari kami. Mungkin lebih tepatnya mereka kagt. Sebagai anak dengan catatan pelanggaran paling sedikit, tentulah hal itu menjadi sesuatu yang dapat membuat mereka geleng-geleng kepala.

“Ternyata dulu kalian sebandel ini, ya,” kekeh Mira.

“Itu mah biasa aja. Selama yang dilanggar bukan peraturan agama, sans aja lah,” kata Afif.

“Ah, aku nyesel deh kurang brandal waktu di IC dulu,” celetukku.

Kami semua tertawa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Jumat pagi, tepat sehari sebelum UTS 2 Kimia, aku dan teman-teman Rusa Muda mendapat kabar tidak menyenangkan. Aku sedang merebahkan diri di kasur ketika tiba-tiba aku berteriak, “Innalillaahi!”

Ponsel milik salah seorang dari kami hilang, sepertinya diambil orang. Yayas namanya. Gadis asal Sukabumi yang berada di fakultas Kebumian kehilangan HPnya tak lama setelah subuh, di Masjid Salman ITB. Kronologinya, ia sedang mengaji kemudian tertidur di lantai kayu Salman. Saat bangun, ia sudah tidak mendapati ponsel miliknya di tas. Yayas memang tidak pulang ke asrama. Semalam, ia dan teman-teman sekolahnya belajar bersama di Eduplex, sebuah kafe sekaligus tempat belajar tidak jauh dari ITB.

Ya Allah, kenapa Yayas lagi? batinku. Sebelumnya, ia pernah kehilangan sepeda di asrama kami. Padahal, sepeda tersebut baru dua hari ia beli bersama orang tuanya. Tak hanya itu, sepasang sepatu pun raib di depan asrama kami. Entah maling yang terlalu canggih atau bagaimana, halaman depan asrama kami sepertinya sedikit tidak aman. Karena aku dan Teduh, teman asramaku juga, menjadi korban kehilangan sepatu pertama kali, tepat sehari setelah aku menginjakkan kaki di asrama berbentuk rumah yang berada di daerah Sadang Serang ini.

Yayas memberi tahu kami lewat akun Line milik Citra yang kebetulan sedang berada di Salman, sekitar pukul delapan pagi. Kami memberi saran kepada Yayas untuk mencoba bertanya kepada ibu-ibu yang biasa berjaga dan merapikan barisan di Salman, siapa tahu HPnya diambil dan diamankan di ruangan security. Namun sayangnya, hasilnya nihil.

Sekitar jam sembilan, Yayas kembali ke asrama. Ia menelepon ibunya menggunakan HP Teduh dan aku mendengarnya menangis. Siapa yang tidak menangis bila bercerita kepada orang tua bahwa ia kehilangan ponsel? Yayas kami yang sangat ceria (dan sangat micin, terlihat tidak berdaya saat menangis.

Pada saat yang sama, Nahdia, Zura, dan Teduh mengunjungi kamarku dan Resha. Kami berlima mendiskusikan sesuatu. Satu kesepakatan muncul. Ayo kita belikan HP baru buat Yayas! Kami berencana patungan agar tidak memberatkan. Tidak hanya dari Rusa 3, kami juga meminta bantuan dari para rusa jantan, Rusa 1 dan Rusa 2.

Aku menghubungi Ivan, meminta bantuannya dan para rusa ikhwan untuk membantu rencana kami. Ia merespon, dan juga memberi pertimbangan. Dan tepat setelah dzuhur, Ivan memberi tahuku bahwa pasukan Rusa 1 telah berhasil mengumpulkan uang sebesar 350.000 rupiah. Wow. Cepat sekali. Memang sih, jumlah anggota Rusa 1 cuma enam orang ditambah satu kakak fasil yang membuat proses pengumpulan uang menjadi lebih cepat.

Nahdia dan Resha menghubungi rusa akhwat yang sedang tidak ada di rumah, agar mereka tidak lupa. Ada satu alasan mengapa kami bergerak cepat untuk membelikan HP untuk Yayas. Selain betapa pentingnya sebuah ponsel (apalagi untuk menghubungi orang tua), kami juga takut keduluan Yayas. Hehe. Takut Yayas keburu beli HP.

Malamnya, hampir semua uang dari rusa akhwat telah terkumpul. Bahkan kakak fasil kami, Teh Vani, ikut menyumbang untuk kelancaran rencana kami. Tinggal tunggur Rusa 2, batinku. Aku berniat untuk menghubungi Ivan kembali, menanyakan progres pengumpulan dana di Rusa 2. Belum sempat aku naik ke kamarku yang berada di lantai dua, terdengar suara ketukan pintu.

“Assalamu’alaikum!” teriak suara di luar. Sepertinya bukan satu orang.

“Yayas, dipanggil Alam!” seru salah seorang dari Kami. Alam merupakan teman kami dari Rusa 2 dan juga teman SMA Yayas, Insan Cendekia Al-Kautsar.

Awalnya, aku tidak berpikiran apa-apa, sampai setelah Alam dan Alaex (ternyata yang berkunjung dua orang) pulang, Yayas berteriak, “Alhamdulillaah ya Allah!”

Sontak, aku yang sedang berada di kamar Salma dan Dedek langsung menuju ruang tengah. “Ada apa?”

“Rusa 2 baik banget... Ngasih aku uang, 620.000... Padahal aku nggak minta, padahal aku juga udah nolak,” ujar Yayas. Ekspresi terharunya tidak dapat disembunyikan.

WAIT. WHAT?

Niat kami kan memberi kejutan buat Yayas, kok Rusa 2 malah ngasih langsung ke orangnya, sih?!

Aku kaget setengah mati. Aku langsung menaiki tangga, menuju kamarku, dan saat itu juga langsung menelepon Ivan. Aku nyerocos cukup panjang, meluapkan kekesalanku terhadap Rusa 2 padanya. Ternyata ada sedikit miskomunikasi. Bukan hanya aku yang kaget. Kawan-kawanku yang lain pun juga bingung. Gabungan uang Rusa 1 dan Rusa 3 belum cukup untuk membeli ponsel Lenovo A6010, HP Yayas sebelumnya. “Emang ya, Rusa 2, dasar micin!” gerutu Nahdia.

Aku, Nahdia, dan Teh Vani memutar otak supaya kami bisa mengambil uang Rusa 2 dari tangan Yayas. Akhirnya kami menyuruh Citra, teman sekamar Yayas, untuk memperhatikan dimana Yayas menyimpan sebuah amplop putih bertuliskan “Yayas” dengan tipografi (pasti Furqon yang menulis) pada malam harinya. Sehingga esok pagi, sebelum berangkat kuliah, aku bisa mengambilnya. Terdengar kriminal memang. Tapi mau bagaimana lagi. Toh uangnya pun akan kembali ke dia, walau dalam wujud berbeda.

Yayas, Yayas. Entah kamu yang tidak aware dengan barangmu sendiri atau bagaimana, kamu malah menaruh amplop berisi uangmu di atas kasur. Bukan di lemari, atau di selipan buku. Haduh. Dan untungnya, kamu berangkat lebih pagi dari aku, jadilah aku dengan mudah mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam dompetku, beserta uang gabungan Rusa 1 dan Rusa 3.

Qadarullah lagi, aku satu gedung ujian dengan Yayas, di Oktagon. Aku berjumpa dengan Yayas sehabis ujian, dan tiba-tiba Yayas membahas HPnya.

“Pengen ke BEC (Bandung Electronic Center) deh, pengen beli HP,” katanya.

EH?! “Kapan Yas?” tanyaku.

“Rabu kali ya, sekarang aku mau hidup tanpa HP dulu. Biar kayak zaman asrama dulu, jadi anak pesantren gitu,” ujarnya. Dasar Yayas. Untungnya ia sudah kembali ceria dan mereceh seperti biasa.

Aku tidak langsung pergi membeli HP. Usai ujian kimia yang bikin penat, sebuah es krim gratis akan menjadi penawar yang tepat. Aku bertemu Ulya, dan berjalan bersama menuju Aula Timur ITB, mengunjungi pameran karya dari jurusan Kewirausahaan (SBM) sambil menikmati es krim Aice gratis. Biasa lah. Mahasiswa. Carinya yang gratis. Hehe.

Barulah setelah dzuhur, aku pergi ke BEC bersama Dedek, si bocah FSRD yang kebetulan ingin mereparasi kameranya. Hampir setiap toko yang aku dan Dedek lewati menawarkan ponsel-ponsel terbaru mereka, seakan mereka menodong kami.

Aku berhenti di suatu toko. “Mbak, ada Lenovo gak?” tanyaku. Mbak-mbak penjaga toko menyodorkan semacam katalog HP beserta harganya. “Kalau Lenovo A6010 ada gak, Mbak?” tanyaku lagi.

Sayang seribu sayang, HP tipe tersebut sudah tidak diproduksi lagi. Yang terbaru bertipa A6600. Aku sempat bingung. Resha, teman kamarku semalam berkata bahwa Yayas inginn HP yang sama dengan sebelumnya. Setelah aku melihat bentuk fisik Lenovo A6600, aku yakin. HP ini mirip sekali dengan punya Yayas. Bentuk kotaknya, posisi kamera belakang, hingga tombol home dan ­back-nya. Okelah, aku fix membeli HP yang ini.

Alhamdulillah, uang yang terkumpul lebih dari cukup. Akhirnya, selain membeli HP, aku juga membeli kartu perdana, kuota, dan temper glass untuk Yayas. Rincian harganya pun aku paparkan kepada teman-teman Rusa akhwat, juga kepada Ivan.

Beli HP, sudah. Sekarang saatnya memikirkan bagaimana kami memberikan HPnya ke Yayas. Teh Vani mengusulkan sebuah aksi dramatis yang membuat Yayas panik. Secara, uang 620.000 yang baru semalam dikasih telah raib dari kamar Yayas.

Akhirnya, pada malam itu, setelah Yayas kembali ke rumah (aku mewanti-wanti supaya ia tidak pulang malam, karena tidak akan bisa dihubungi, apalagi pesan ojek online), kami mulai melancarkan aksi. Sayangnya, ia asyik mengobrol di ruang tengah bersama Ulya dan Arum. Padahal, kamar Yayas berada di lantai atas. Setelah berapa lama pun Yayas belum kembali ke kamar. Akhirnya, Arum si anak sastra mulai berakting meminjam uang ke Yayas, untuk membeli susu kotak yang besar dan kopi. Ia memang tidak bohong. Uang yang ia pegang habis untuk membeli tiket pulang ke Trenggalek.

Akhirnya Yayas naik ke kamarnya. Setelah dipancing-pancing, ia mulai mencari amplop putih miliknya di penjuru kasurnya. Dalam lemari, bawah bantal, hingga di tumpukan baju ia mencari. Namun hasilnya nihil. Sebenarnya, alasan kami membuat drama seperti itu adalah untuk menyadarkan Yayas supaya ia tidak ceroboh lagi, dan harus lebih hati-hati.

Yayas mulai panik. Arum menambah kepanikan Yayas dengan bercerita bahwa ia mendapati asrama yang tidak dikunci saat ia pulang dari kampus. Hanya dislot saja. Cerita Arum tidak hanya membuat Yayas panik, tetapi kami juga. Arum yang pertama kali datang ke asrama, sedangkan kami pergi ke kampus pada pagi hari. Orang yang terakhir keluar asrama adalah Dedek, namun tidak mungkin Dedek lupa mengunci pintu, karena ia orang yang sangat apik.

Kami jadi berpikiran ke mana-mana. Untungnya, aku bertanya pada Dedek dan menanyakan perihal pintu tersebut. Dedek bilang, ia memang tidak mengunci pintu saat pergi ke ITB, dan hanya menyelot pintu dari jendela yang tidak dikunci pula. Satu masalah terpecahkan, walau tetap saja itu tidak aman.

Dan pada saat itulah kami siap memberikan kejutan untuk Yayas. Satu hal lagi yang membuatku bingung. Masak kami nyanyi happy birthday to you ke Yayas? Ulang tahun dia sudah lama terlewat. Akhirnya, Teh Neli, kakak fasil kami juga, memberi ide.

Aku berjalan ke kamar Yayas yang penuh oleh anak-anak Rusa 3 sambil membawa sebuah kotak kado.

“Alhamdulillaah wa syukurillaah, bersyukur padamu ya Allah. Kau jadikan kami saudara, indah dalam kebersamaan kebersamaan.”

Kami menyanyikan lagu tersebut untuk Yayas. Saat aku menyanyikannya, aku sedikit merinding. Ah, memang persaudaraan itu indah. Sebuah hal yang patut untuk disyukuri. Karena sebuah ukhuwah pula kami dapat membuat seseorang tersenyum kembali.

Yayas speechless. Kami memeluknya erat.

“Foto dulu dong, pake HP baru!” seru salah seorang dari kami.

Yayas mengoperasikan HPnya, dan karena OS Android terbaru, ia sedikit tidak mengerti dengan tampilannya. “Duh, mana ya tombol kameranya. Ya ampun, aku udik banget deh. Udah kayak gak megang HP bertahun-tahun,” celetuknya. Kami tertawa. Padahal cuma 41 jam dia tidak mempunyai HP, rasanya sudah kayak berabad-abad saja.

Aku meminta maaf pada Yayas karena dengan sengaja mengambil amplop berisi uang 620.000 tersebut dari atas kasurnya. “Lagian, kamu tuh kalau naruh barang yang bener, lah! Itu duit Yas, jangan ditaruh di atas kasur!” omelku. Yayas hanya cengengesan.

Akhirnya, kami menceritakan dari awal sampai akhir bagaimana Lenovo A6600 bisa berada di tangan Yayas. Termasuk miskomunikasi Rusa 2 yang memberikan uangnya langsung pada Yayas.

“Emang ya! Rusa 2 tuh ketularan Erdo semua! Micin memang micin!” komentar Yayas.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Belum lama ini, FTMD mengukuhkan dirinya sebagai juara TPB Cup 2017 cabang futsal putra, setelah menggilas FTSL dengan skor 10-2. Dahsyat memang. Sementara itu, FTSL tidak perlu lama berkecil hati karena pada cabang futsal putri FTSL lah ratunya, mengalahkan SBM dengan skor-yang-aku-tidak-tahu.
 
SAPPK apa kabar? Alhamdulillah, tim futsal putra SAPPK (untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir) melangkah maju ke babak perempat final. Sedangkan tim futsal putri hanya bertahan hingga fase grup, walaupun menang sekali melawan tim futsal putri FTMD.

Supporteran pun terpaksa terhenti setelah SAPPK dikalahkan 6-3 oleh FTI. Tak apa, mencapai babak perempat final saja sudah membuat aku–bahkan para kating– bangga. Walau tidak ada lagi nyanyian “Bangga bisa mengawalmu, hey, pahlawan,” lagu itu akan selalu terkenang, dan tak jarang aku mendendangkannya ketika berjalan sendiri.

Bicara tentang supporteran, aku jadi ingat masa-masa Cordoba, Anabaena, dan Asparagus. Turnamen olahraga tiga angkatan Insan Cendekia setiap akhir semester satu tersebut selalu memberikan kesan tersendiri. Tidak hanya soal jalannya pertandingan, namun juga setiap dukungan yang diberikan.

Yel-yel penyemangat hingga air mineral utuk para pemain selalu hadir dalam setiap pertandingan. Tidak hanya di IC, di ITB pun demikian. Bahkan air mineral juga disediakan untuk suporter yang kehabisan suara saat berteriak mendukung tim kesayangan.

Lantas, apa bedanya supporteran Axiora (ICS 20) dan Bima Sanggara (SAPPK 2017)?

Pertandingan pertama SAPPK, futsal putra melawan FMIPA, berlangsung pukul 21.40 malam. Ya, jam sepuluh kurang dua puluh menit. Tentu saja aku tidak datang. Jikapun datang, pastilah aku pulang melewati jam malam asrama, pukul 10 malam. Tidak ada lagi ceramah Pak Huda ataupun Pak Yoga yang mengingatkan ketika pertandingan masih berlangsung dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Satu hal yang membuat banyak dari anak laki-laki terlambat sholat Maghrib di Masjid Ulil Albab tercinta.

Sepanjang pertandingan, bermacam yel-yel dinyanyikan tanpa henti. Walau hujan deras, ku kan bersikeras. Panas matahari ku tidak peduli. Satu hal yang berbeda, dari yang pernah kualami dulu, di Insan Cendekia.

Dua kali 30 menit pertandingan sepakbola, diawali dengan doa, dan diakhiri pula dengan syukur pada Yang Maha Kuasa. Yel-yel ditujukan ketika para pemain turun semangatnya, atau bila pertandingan berjalan datar-datar saja. Selebihnya, aku fokus dengan pertandingan (walau terkadang fokusku hanya kepada segelintir orang, heheh).

Aku ingat, pada pertandingan final basket putri antara Axiora vs Discaria (ICS 21), tidak ada yel-yel yang terdengar. Yang terjadi adalah sebuah buku kecil berisi Al-Ma’tsurat yang dibaca bergantian oleh para suporter Axiora, khususnya yang perempuan. Karena kami percaya, kekuatan doa mengalahkan segalanya. Aku, yang termasuk dalam tim basket Axiora, merasa ikhtiar kami sudah lebih dari cukup. Hampir setiap hari aku dan tim putri Hustle Ants (nama tim basket Axiora) berlatih dibawah arahan coach Fathoni Nur Alami yang merupakan teman seangkatanku. Sampai gosong mukaku dibuatnya. Namun tetap saja, pertandingan melawan Discaria tidak akan menjadi pertandingan yang mudah. Skill individu pemain basket Discaria bisa dibilang di atas kemampuan kami. Maklum, kami berlatih intensif baru selama satu semester.

Jadilah sebelum pertandingan, para pemain berkumpul terlebih dahulu dan bersama membaca Al-Ma’tsurat sambil melakukan pemanasan. Nuni, sebagai kapten tim basket putri, sampai berujar kepada teman-temanku, “Jangan sampe putus doanya, ya. Siapa tahu doa kalian terkabul, biar kita bisa menang lawan Discaria.”

Pertandingan empat kali 10 menit berlangsung sangat sengit, dan hasilnya? 4-0 yang membuat Axiora menjadi juara basket putri Asparagus 2016. Dan pasa saat itu aku percaya, kekuatan doa memang tiada duanya.


Dan itulah yang membuatku sedikit greget dengan supporteran di ITB. Mendukung fakultas kebanggaan tidak bisa hanya dari seberapa ramai yel-yel yang diteriakkan, namun juga dari berbagai doa yang dipanjatkan. Bukan tidak suka, hanya saja seperti ada yang kurang. Bahkan kata salah satu teman fakultasku, “Jangan nyanyi-nanyi mulu, hati kering, coy!”

Satu lagi yang berbeda. Karena pertandingan TPB Cup dilangsungkan malam hari, ada satu hal yang tidak bisa kulakukan, yang seharusnya menjadi kerjaan seorang Nadhira. Mendokumentasi pertandingan. Perangkat kameraku belum memadai untuk memotret dari kegelapan. Ditambah supporteran yang mengharuskanku diam di bangku penonton, membuatku enggan untuk foto-foto. Bisa datang saja sudah alhamdulillaah. Padahal, itulah caraku menikmati pergulatan dalam sebuah lapangan. Seni pertandingan adalah ketika kau dapat menangkap ekspresi lelahnya para pemain, semangat berapi-api para penonton, juga pandangan fokus sang pengadil laga. Biasanya, aku meminjam lensa 18-200 mm milik Irma untuk membidik wajah sepanjang peluit akhir belum dibunyikan. Dan kebahagiaan tersendiri adalah ketika berhasil mendapat gambar si doi. Hehehe.

Apapun yang telah terjadi sepanjang TPB Cup 2017 cabang futsal, semoga ke depannya SAPPK berhasil menembus babak-babak selanjutnya. Tak sabar rasanya ingin bermain dalam tim basket putri Bima Sanggara, dan berjuang bersama membuat SAPPK bangga. Sampai bertemu di TPB Cup semester depan!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sabtu, 14 Oktober 2017

Sekumpulan bocah SD duduk melingkar di hadapanku, bersiap mendengarkan cerita–atau apapun–yang akan keluar dari mulutku. Aku tidak bercerita banyak seperti minggu sebelumnya, hanya menjelskan sedikit tentang kisah salah satu nabi dan dilanjutkan dengan mengaji.

Untuk beberapa kali, kuhabiskan malam mingguku di Masjid Al-Iman, mengajar mengaji dan bermain bersama anak-anak yang haus akan ilmu. Masjid Al-Iman terletak di dekat Rusa 1, sekitar 250 m dari rumahku, Rusa 3.

Anak-anak dari TK-SD yang berjumlah hampir 20 orang bergantian menyetorkan Iqro’nya di depanku. Ada yang Iqro’ 1, Iqro’ 2, bahkan Alquran. Tenang saja, aku tidak sendiri. Aku dibantu Mimi, Nahdia, dan Avila untuk menghadapi anak-anak yang terkadang tidak mau diam. Dan tentu saja dibantu juga oleh pengelola inti TPA Al-Iman, anggota Rusa 1, Ivan dan kawan-kawan. Hari ini yang terlihat mengajar adalah Ivan, Sajid, dan Fikri.

Aku mendengarkan bacaan Desinta, Veni, dan satu lagi aku lupa namanya. Mereka masih kelas 1 dan 2, dan masih Iqro’ 1 dan 2. Aku membenarkan bacaan mereka yang salah, walau aku sendiri masih belajar tahsin lagi. Setelah selesai, aku mengobrol dan cerita sedikit ke mereka, sebelum kubiarkan mereka bermain dengan yang lain.

Aku menengok Ivan yang duduk di dekat mimbar masjid. Ia dikelilingi oleh tiga anak, dua diantaranya sudah SMP, dan satu lagi masih kecil. Aku mendengar Ivan mengajarkan titik tiga pada awal surah Al-Baqarah dan mengajarkan mad-mad lainnya. Kemudian aku teringat. Minggu sebelumnya, ia mengajarkan langgam kepada salah satu anak kelas 5 SD, Kisa.

Tiiit, tiiit, tiiit. Suara penanda datangnya waktu isya telah berbunyi. Kegiatan belajar dan mengajar dihentikan sementara. Fikri maju ke dekat mimbar, memegang mikrofon, dan melantunkan adzan isya dengan merdunya. Oh ya. Bagi yang belum tahu, Fikri ini qari’nya Rusa Muda Angkatan 2 lho, hehe.

Orang-orang mulai berdatangan. Terutama bapak-bapak, juga anak Rusa 1 lain yang tidak kebagian jadwal mengajar hari itu. Ada Rifqi, Iqbal, dan Bagus. Satu pertanyaan muncul dalam benakku. Siapa yang bakal jadi imam, ya?

Iqomah dikumandangkan, dan seorang Abdullah Ivan Farrahan maju ke arah tempat imam sholat. “Sawwuu shufuufakum. Rapat dan luruskan shaf kalian, karena rapinya barisan merupakan bagian dari kesempurnaan sholat,” katanya.

“Allaahu akbar.”

Ivan mengimami sholat Isya kali ini. Dan aku ingat, malam minggu lalu ia juga jadi imam sholat Isya. Aku kembali mendengar ia membacakan surah Al-Fatihah dan beberapa surah dalam Alquran.

Dalam sujudku, aku merindu. Rindu suara imam-imam Insan Cendekia yang sering kutunggu. Ada yang selalu baja surah juz 28, Al-Kahfi halaman terakhir, hingga ahlinya surah Al-Waqi’ah. Haris, Zhofir, Mafaz, Ridho, Iva, Ziyad, Yusqi, Jiul, dan Fitra, para imam Axiora yang selalu menemani sekali semingu. Juga imam-imam lain yang bermunculan saat masa Ujian Nasional dahulu. Para imam yang bersuara merdu, yang membuat sholat insyaallah khusyuk.

Setelah salam, aku sedikit merenung. Setiap hari aku sholat di Salman, dan tentu saja diimami oleh para imam Salman anak kuliahan. Suaranya pun tak kalah menyejukkan. Namun tetap saja, rasanya berbeda. Tiga tahun mendengar suara yang sama, yang selalu mengisi hari-hari di Insan Cendekia.

Aku ingat. Aku sampai hafal jadwal imam teman-temanku. Tidak penting sih memang, namun terkadang menjadi penyemangat sendiri datang ke masjid (astaghfirullah, hehehe). Sampai hafal mana yang kilat, mana yang bikin mata berat.

Oh ya. Sudah hampir berapa bulan aku dan kau terpisah? Ah, lima bulan ya. Berarti sudah lima bulan aku tak mendengar suaramu menjadi imam. Apalagi saat melantunkan ayat suci Alquran. Duh, aku rindu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Genangan air membasahkan ujung gamisku
Hari sudah gelap, dan aku masih berjalan menuju rumah
Gara-gara sang angkutan biru kehidupan tak ada,
Yang katanya lagi berdemo dengan angkutan sebelah

“Nadhira mau jus?” tanyanya
Aku hanya berkata tidak,
kecuali jika kau mau membelikan untukku

“Nadhira mau jus apa?” tanyanya lagi
Eh seriusan?

Jadilah aku pulang
Dengan nasi ayam yang sudah setengahnya kuhabiskan
Juga jus jeruk yang kutenteng sampai rumah

***

Kenapa setiap kali SAPPK olahraga
Cuaca tidak pernah mendung?
Kesal, sih, terkadang
Melihat fakultas di hari lain tidak jadi kelas olahraga

Waktu menunjukkan pukul 13.30
Aku harus berangkat untuk kelas olahraga
Berjalanlah aku bersama teman-temanku
Dari fakultas yang berbeda denganku

Tes tes
“Yes, hujan! Gak jadi olahraga!” teriakku gembira
Seseorang di depan menoleh ke belakang
Aku berlari mendahuluinya
“Apaan sih, Dhir,” katanya

Bukan apa-apa kok
Aku senang saja, ingin berlari rasanya

Eh, tunggu
“Pinjam payung, dong,” pintaku
Aku tahu kelasmu dekat, dan ada jalan teduh di sana
Seseorang di sampingmu berkata tidak boleh, sambil bercanda
Namun kau tetap memberikan benda itu padaku

Maka aku, berjalan sendirian
Menuju lapangan olahraga
Dengan payung hijau yang melindungi kepalaku


Hanya sebuah curhatan penuh ketidakjelasan
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Dimana kau akan menemukan betapa ramainya koridor dan lapangan rumputnya.

Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Tak hanya anak kuliahan, banyak pula siswa berseragam putih abu-abu di dalamnya.

Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Berjejer papan tulis putih dimana-mana.

Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Lingkaran-lingkaran suatu perkumpulan terlihat di sana-sini.

Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Tak hanya perkumpulan untuk belajar, banyak juga yang berkumpul untuk mengaji.

Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Barangkali kau akan melihatku, tengah tersenyum menatapmu sambil berkata, “Hai.”

***

Aku melihat dua teman Rusaku, Nadif dan Kia, sedang berbincang di lapangan rumput, beralaskan karpet dan bermodalkan papan tulis. Aku menghampiri mereka.

“KLC ya?” tanyaku. Mereka mengangguk.

KLC, atau Karisma Leraning Center, merupakan suatu wadah bagi mahasiswa ITB untuk menyalurkan ilmunya kepada adik-adik SMP dan SMA. Mereka mengajar beberapa pelajaran dan membantu dalam mengerjakan PR milik sang adik. Semacam bimbel gitu.

Banyak dari temanku, khususnya anak Rusa yang menjadi pengajar di Karisma. Sebut saja Nadif, Kia, Zhafran, dan Zuffy. Sedangkan teman-teman Axiora ITB-ku lebih banyak yang memilih mengajar di badan semi-organisasi di bawah ITB, Skhole.

Kembali ke Karisma. Satu hal yang aku salut dari sistem pengajaran di Karisma adalah setiap sebelum kegiatan belajar-mengajar, ada satu ritual yang tidak boleh terlupakan. Yaitu tilawah. Yap, selain dengan doa, kegiatan bimbel Karisma juga dibuka dengan tilawah bersama. Para pengajar dan siswa yang diajar bergantian melantunkan ayat suci Alquran, sebagai keberkahan sebelum memulai suatu kegiatan.

Selain Karisma, satu hal lain yang ramai terlihat saat sore hari di Salman adalah halaqah. Bisa halaqah Alquran, atau halaqah mentoring biasa. Pernah kulihat beberapa siswa SMA duduk melingkar membaca Alquran dan mendengarkan materi dari seorang murabbiah yang notabene seorang mahasiswa. Pernah juga aku melihat beberapa anak SMA sedang menyetorkan hafalan kepada seseorang. Tentunya, yang aku lihat tidak hanya siswa SMA. Mahasiswa yang berkumpul dalam majelis ilmu dan Alquran pun lebih banyak lagi.

Aku merasa, visi Masjid Salman untuk membangun peradaban dimulai dari hal kecil ini. Masjid Salman tidak hanya menjadi tempat sholat biasa, namun juga menjadi pusat segala aktivitas. Belajar, kajian, halaqah, bahkan sampai pembinaan anak-anak pun dilakukan di Salman.

***

Berjalanlah di sekitar Masjid Salman ITB saat sore hari. Kau akan melihat, masa depan cerah Islam, Indonesia, dan dunia berawal dari sini.

Aamiin.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Selasa, 26 September 2017

Usai subuh, aku berjalan menuju Masjid Al-Muhajirin yang terletak tidak jauh dari rumah (asrama Rusa Muda, red). Hanya sekitar 30 meter dari gerbang depan. Setiap selasa, terdapat agenda rutin pembinaan fiqih dari Masjid Salman ITB yang bertempat di masjid bernuansa biru tersebut. Tepatnya berada di lantai dua, bersama rusa-rusa lainnya.

Naik ke lantai dua, aku melihat teman-temanku sedang menggelar karpet untuk duduk. Batang hidung anak lelaki belum terlihat. Rusa satu mungkin baru selesai sholat di Masjid Al-Iman, sedangkan Rusa dua sepertinya baru kembali dari Masjid Manunggal.

Waktu menunjukkan pukul 04.55. Baru Nadif dan Furqon yang datang. Aku tidak membawa HP, apalagi buku pelajaran. Sembari menunggu, kubuka Alquranku, membuka surah Al Baqarah juz 3 dan mulai membacanya. Teduh, salah satu temanku–yang merupakan kakak kelas adikku di MAN 2 Serang–terlihat mengantuk dan menidurkan kepalanya pada pahaku. Hampir semua temanku melakukan hal yang sama. Mereka membuka Alquran dan mulai melantunkan ayat-ayat suciNya.

Aku terhanyut dalam bacaanku. Lama sekali rasanya tidak mengaji sebanyak ini dalam sekali duduk. Aku tidak tahu suaraku terlalu keras atau tidak (karena semakin banyak anak laki-laki yang datang), dan aku tidak memedulikan itu. Ketika aku mengaji, aku merasa tidak bisa berhenti. Seolah Alquran memuntahkan kerinduannya terhadap bacaanku yang membuatku tidak ingin mengakhiri membacanya. Seakan Alquran meluapkan kekesalannya kepadaku yang belum bisa mengaji sebanyak yang biasa kulakukan di Masjid Ulil Albab dulu.

“Nad,” Teduh terbangun, aku menatapnya. “Aku gak pernah lho ngaji sebanyak dan selama kamu,” ungkapnya.

Aku tersenyum. Namun dalam hati, aku merasa teriris. Dahulu, hampir setiap habis sholat lima waktu aku membuka Alquranku, duduk di pojokan dan bermesraan dengannya. Sekarang, aku baru bisa melantunkannya sebelum subuh, sebelum dan sesudah dzhuhur, dan setelah asar. Setelah maghrib mungkin bisa dihitung jari, entah karena aku dalam perjalanan pulang dari kampus atau makan malam bersama di rumah. Setelah isya apalagi. Aku sudah sibuk dengan aktivitas lain.

Aku masih terus mengaji hingga pukul 05.25, tepat saat Pak Yayat, pemateri fiqih tiba dan memulai kajian mengenai dasar-dasar ilmu fiqih dan sumber hukumnya.

***

Masih di hari yang sama, saat pelajaran fisika, 10 menit sebelum kelas berakhir. Tepatnya pukul 10.30. Aku sedang mendengarkan Bu Neni menerangkan materi tentang usaha dan energi, ketika tiba-tiba teman sampingku, Hanafi, memanggilku.

“Nadhira,” panggilnya. Aku menoleh.

“Iya, apa?” tanyaku.

“Habis ini mau kemana? Ke Salman?” Hanafi balik bertanya.

“Iya,” jawabku.

“Nanti bareng ya ke Salmannya,” pinta Hanafi.

“Okeee!” aku mengiyakan.

“Ih, tahu gak sih, Nad, kemarin aku seneng banget lho, sempat sholat dhuha. Udah lama banget gak sholat dhuha... Biasanya pas libur doang,” tiba-tiba Hanafi bercerita dengan muka sumringah.

“Ayo, hari ini harus sholat dhuha juga!” seruku.

Kemudian aku berpikir. Selama kuliah ini, alhamdulillah aku dapat melaksanakan sholat dhuha. Senin-Selasa-Rabu aku keluar kelas pukul 11 kurang. Biasanya, aku dan beberapa temanku langsung bergegas menuju Masjid Salman untuk melaksanakan sholat dhuha sekaligus menunggu adzan dzhuhur berkumandang.

Memang sih, aku seringnya sholat dhuha 25-30 menit sebelum dzhuhur. Berbeda dengan semasa di IC dahulu, aku selalu sholat dhuha sebelum masuk sekolah. Karena aku masuk kuliah jam 7 dan perjalanan rumah-kampus cukup jauh (belum ditambah macet), maka aku tidak bisa menyempatkan diri untuk sholat dhuha sebelum berangkat. Khusus hari Kamis, aku masuk pukul 07.30, yang memungkinkanku untuk melaksanakan sholat dhuha di rumah. Sedangkan hari Jumat, jika aku sedang jadwal praktikum, aku bisa melaksanakannya setelah praktikum selesai, sekitar pukul 10an. Jika tidak praktikum, tentu saja libur dan aku bisa melakukannya di rumah.

Seketika aku teringat. Bila ada suatu hadis yang berkata bahwa sholat dhuha dapat membukakan pintu rezeki, bagiku, bisa melaksanakan sholat dhuha saja sudah menjadi rezeki tersendiri.

Kelas fisika sudah selesai. Aku mengambil tas dan botol minumku (yang selalu kubawa tiap hari, hehe), keluar kelas, turun tangga dari Gedung Kuliah Umum (GKU) Barat yang bikin pusing, dan berjalan beriringan menuju Salman, bersama teman-teman seperjuangan pencuri waktu sholat dhuha, yaitu Titi, Shifa, Fira, Hanafi, Irsyad, Firqi, dan Syafrul.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Rabu, 6 September 2017

Gawang sepakbola menjadi tempat bersandarku sore itu. Pukul 15.00, cuaca di Sarana Olahraga (Saraga) ITB cukup mendung. Pelajaran olahragaku sudah selesai. Sedangkan anak laki-laki kelasku masih diam di lapangan hendak bermain sepakbola.

“Hei, kenapa belum mulai main bola?! Kalau gak mulai sekarang, lari empat putaran lagi!” suara dosen pengganti Pak Doddy menggelegar kencang.

“Adzan, Pak,” ujar salah seorang dari anak laki-laki. Aku tertegun. Padahal, suara adzan tidak begitu terdengar dari lapangan Saraga. Aku juga tidak ingat siapa yang mengucapkannya. Yang jelas, setelah itu, bapak dosen pengganti berkata, “Oh iya, maaf.”

Pukul 15.30, permainan sepakbola berhenti. Aku juga masih nongkrong di bawah gawang (yang tidak dipakai tentunya), sambil mendinginkan badan yang penuh keringat akibat tes kebugaran fisik, sekaligus menunggu Guntur sang ketua kelas membagikan kartu latihan mandiri olahraga yang telah dikumpulkan.

“Jangan lupa, jam setengah lima nanti ada kumpul angkatan di Lapcin (Lapangan Cinta-red) ya,” pesan Guntur.

Aku bertanya kepada beberapa temanku. “Eh, gimana nih, badanku masih basah, sholat asarnya gimana?”

“Pakai baju yang tadi aja, aku sih ada,” usul salah satu temanku, Irsyad. Aku mengangguk. “Yuk, ke Salman. Udah jam setengah empat lebih,” lanjutnya.

Akhirnya, aku dan beberapa temanku berjalan dari Saraga ke ITB kemudian melanjutkan ke Salman. Di gerombolanku ada Imel, temanku yang non muslim. “Mel, mau nunggu dimana?” tanyaku.

“Aku duduk di sini aja ya,” jawab Imel. Ia duduk di bangku dekat tempat wudhu akhwat.

Sebagai pasukan pengambil air minum di Salman, aku tawarkan sesuatu kepada Imel. “Mel, sekalian tuh ambil minum, gratis hehe,” kataku sambil tertawa. Imel membalas dengan tawa juga.

Setengah lima lebih kami sampai di Lapcin dan forum angkatan baru saja mulai. Hingga maghrib hampir tiba, forum pun berakhir. Suara adzan Salman terdengar dari tempatku berada. Aku menghampiri temanku. “Syad, Salman, kan?” tanyaku. Irsyad mengangguk.

“Yuk, biar dapat jama’ah,” katanya.

Pulang dari Salman menuju rumah, qadarullah aku seangkot dengan Irsyad, yang ternyata ngekos di daerah yang tak jauh denganku, Tubagus Ismail. Di tengah perjalanan, aku bertanya. “Syad, yang tadi itu qunut nazilah bukan?”

“Iya,” jawabnya.

“Kalau qunut nazilah itu bebas ya bacaannya?” tanyaku lagi.

“Bebas sih, tapi biasanya doa buat bencana,” jelasnya. “Tadi aja disebutin sama imam negara Palestina, Mesir, Libya, Myanmar, kan?”

Aku mengangguk. Sedetik kemudian, aku bersyukur menemukan teman sepertinya, juga beberapa lagi yang belum kusebut namanya.

***

Kamis, 7 September 2017

“Jangan lupa ya, hari ini ada orasi calon ketua angkatan di Amphiteater GKU Barat jam 15.15!” seseorang di kelasku mengingatkan, tepat setelah mata kuliah kimia berakhir. Kulirik jam tanganku. Jam tiga kurang lima menit. Kulirik lagi penunjuk waktu sholat di jamku. 15.05. Yah, bentar lagi ashar, batinku.

Aku melangkahkan kaki keluar gedung kuliah bersama Titi, temanku yang satu SMP dengan Ale dulu. Kami berjalan perlahan, menunggu teman-temanku yang lain bermunculan. Aku berjalan serombongan, sampai tiba di gedung Labtek V. Arah Amphiteater GKU Barat belok kanan dari tempatku berdiri. Aku dan Titi berhenti sejenak.

“Mau sholat dimana?” tanyaku.

“Salman aja, yuk,” jawab Irsyad.

Temanku yang lain berkata. “Di labtek V ada mushola kok. Biar acaranya cepet mulai juga.”

“Nggak, ah. Di Salman aja. Lebih enak di Salman sholatnya, lebih khusyuk,” lagi-lagi Irsyad yang berbicara.

Akhirnya beberapa dari kami berpisah. Empat temanku Imel, Sonita, Inggrid, dan Jontor (nama aslinya Joseph Pintor) yang memang non muslim berbelok ke kanan, juga Firqi yang menjadi panitia pemilihan ketua angkatan SAPPK 2017. Mau tak mau, ia memang harus sudah berada di lokasi sebelum teman-teman yang lain bermunculan. Jadilah aku, Titi, Irsyad, Hanafi, Hafidz (yang kebetulan ketemu di jalan, maklum tidak sekelas), Zufar, Syafrul, Yoda, dan Juangga berjalan menuju masjid seberang kampus ITB tersebut.

“Lebih baik telat datang orasi, daripada telat sholat,” ujar salah satu dari kami. Dan kami menjawabnya, “Masyaallah!”

Orasi calon ketua angkatan pun berlangsung (lagi-lagi) hingga beberapa menit sebelum maghrib. Ketiga calon–Haikal, Mayong, dan Guntur telah memaparkan visi dan misi mereka bila terpilih menjadi ketua angkatan SAPPK 2017.

Aku dan Titi berjalan menuju Salman kembali. Ditemani Sonita, Inggrid, Bella, Hanafi, Yoda, Yoga, Juangga, dan Andre. “Lah, si Irsyad sama Firqi kemana?” tanya Hanafi.

“Duluan kayaknya,” jawabku. “Hafidz mana?” kali ini aku yang bertanya.

“Dia kabur duluan tau, sama Tamam,” jawab Hanafi. Oh iya. Hanafi merupakan teman satu daerah dengan Tamam, dari Bojonegoro. Aku lupa mereka satu SMP atau bukan.

Di tengah perjalanan menuju Salman, Sonita berkata, “Eh, laper tau. Makan, yuk!” ajaknya.

“Iya nih, laper.”

“Mau makan, gak?” Sonita menyenggol bahuku.

“Buka puasa dulu,” jawabku.

“Bentar lagi, kan?” ucap Inggrid sambil melirik jam tangannya. Aku mengangguk.

Beberapa langkah sebelum keluar gerbang ITB, adzan maghrib berkumandang. Untungnya aku membawa minum. Biasa lah, mengisi di Salman. Jadi aku sempat berbuka dengan beberapa teguk air.

Di gerbang samping Masjid Salman, Sonita berhenti. “Duh, gua beneran laper, dah,” katanya.

“Ya sudah, makan aja sana,” ucapku.

“Ya udah, makan yuk!” celetuk Yoga.

“Lah bukannya lo harus sholat dulu?” tanya Inggrid pada Yoga. Aku terkikik. “Sholat dulu Mas-Mas yang muslim,” candaku. Lantas aku tersenyum. Dalam hati, entah mengapa aku bersyukur. Aku berterima kasih padaMu ya Allah telah membantu mengingatkan temanku untuk memenuhi panggilan adzan-Mu, bahkan lewat seorang non muslim sekalipun.

Aku dan Titi berjalan di selasar masjid, tanpa sengaja bertemu Irsyad yang baru saja keluar dari kantin Salman, memegang botol air mineral.

“Udah buka puasa?” tanyanya.

“Udah, kok,” jawabku. Sesaat kemudian, aku berpikir. Lah darimana dia tau aku puasa? Ah sudahlah.

Kemudian aku dan Titi melaksanakan sholat maghrib, dan dilanjutkan makan pecel lele bersama Sonita, Yoga, Kevin, dan Andre.

***

Mengapa aku menceritakan ini?

Dalam dua hari terakhir, aku mendapatkan banyak pelajaran. Aku bersyukur mempunyai teman dekat yang sepulang kuliah / sehabis kelas mengajakku ke Salman dan selalu berusaha melaksanakan sholat di awal waktu. Memang kebanyakan dari mereka merupakan laki-laki, karena tiga dari empat teman perempuan terdekatku di kelas merupakan non muslim.

Yang muslimah dan rajin ke Salman tentu saja ada, namun biasanya mereka pergi duluan, hingga aku tidak lagi melihat batang hidungnya. Teman-teman dekatku, para akhwat penghuni Masjid Salman rata-rata tidak sekelas, sehingga sulit untuk ke Salman bersma.

Satu hal lagi. Teguran dan kasih sayang Allah itu berbagai macam bentuknya. Bahkan seorang non muslim sekalipun dapat menjadi jalan dari Allah agar kita tidak melalaikan kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Smoga Allah merahmati kalian. Aamiin.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Nadhira KA, 21. An architecture student who loves photography and proudly be as a Gooner.

Follow Us

  • twitter
  • instagram
  • behance

Categories

  • Nadhira dan Cinta Pertama
  • karena kita; Axiora
  • kehidupan ITB
  • kepingan kenangan

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  November 2023 (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
  • ►  2019 (5)
    • ►  June 2019 (4)
    • ►  May 2019 (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
  • ▼  2017 (45)
    • ▼  December 2017 (3)
      • Sebagian dari Iman
      • Jalan Bareng Himpunan (?)
      • Buah Sebuah Ukhuwah
    • ►  November 2017 (1)
      • Tentang Supporteran
    • ►  October 2017 (2)
      • Malam Minggu Merindu
      • Kenangan dalam Genangan
    • ►  September 2017 (3)
      • Salman Sore Hari
      • Rezeki Pagi
      • Sepulang Kuliah
    • ►  August 2017 (1)
    • ►  July 2017 (15)
    • ►  June 2017 (5)
    • ►  May 2017 (14)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  September 2016 (3)
    • ►  August 2016 (3)
    • ►  July 2016 (6)
    • ►  June 2016 (6)
    • ►  May 2016 (4)
    • ►  April 2016 (7)
    • ►  March 2016 (2)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (46)
    • ►  December 2015 (8)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  September 2015 (4)
    • ►  August 2015 (6)
    • ►  July 2015 (3)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (1)
    • ►  April 2015 (3)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (8)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (24)
    • ►  December 2014 (7)
    • ►  November 2014 (4)
    • ►  October 2014 (12)
    • ►  September 2014 (1)

Facebook

ThemeXpose