Jalan Bareng Himpunan (?)
Liburan sudah di ujung
mata. Kalau bukan karena LMD (Latihan Mujahid Dakwah, Salman), aku ingin
cepat-cepat pulang. Kangen masakan Bunda, kangen main-main sama Najla, dan
kangen tethering sepuasnya (astaghfirullah).
Jadilah hari Kamis, 14
Desember kemarin, aku dan teman-teman sepermadrasahku melakukan rihlah
melepas penatnya ujian ke suatu tempat di Lembang, The Lodge Maribaya. Memang
tidak semuanya, karena beberapa masih ujian dan yang lainnya ada yang sudah
pulang. Hanya aku, Alya, Mira, Almyra, Tita, Ihsan, dan Afif.
Kami memandangi hijaunya
dataran Maribaya dan menaiki wahananya hingga menjelang siang. Kami kembali
menuju kota menggunakan angkot (karena tidak menemukan transportasi online).
Di tempat pemberhentian angkot, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
menuju Trans Studio Mall untuk makan. Kalau bukan karena ditraktir, mana
mungkin aku akan mengiyakan. TSM mahal, bro. Hehe.
Kebetulan sekali, 14
Desember merupakan hari lahir salah satu dari kami, yaitu Mira. Teman sekamarku
semasa kelas 11 ini ingin membelikan makanan untuk keenam temannya. Gara-gara
itu, Ihsan sampai membatalkan puasanya. Jadilah kami makan di Marugame Udon
(yang harga satu porsinya lebih dari selembar uang berwarna biru) dan
berjalan-jalan (baca: windows shopping) di sekitaran mall tersebut.
Bukan itu yang ingin aku
ceritakan, sejujurnya. Berjalan bersama kawan Insan Cendekia, memang berbeda.
Sesaat setelah sampai di
The Lodge Maribaya, kami baru menyadari bahwa tempat wisata belum dibuka. Bahkan
tempat pembelian tiket pun masih tutup. Akhirnya, kami duduk di sebuah tempat
makan, sambil menunggu.
“Yang belum makan silakan
makan dulu, yang belum sholat dhuha silakan sholat dulu,” ujar Afif.
Saat jalan-jalan pun,
teman-temanku masih memikirkan amalan sunnah. Sholat dhuha yang selalu dilaksanakan
sebelum berangkat sekolah, seakan tidak mau ditinggalkan. Pun halnya dengan
sholat wajib. Saat hendak turun dari angkot, melihat kami satu rombongan, sang
supir menawarkan untuk mengantar kami ke tempat wisata lainnya. Namun karena
waktu sudah menunjukkan pukul 12.30, maka kami memutuskan untuk menolaknya.
“Cari masjid dulu, ya,”
kata Ihsan dan Afif. Kami mengiyakan.
Alhamdulillaah, baru berjalan sedikit, kami menemukan
sebuah gang yang mengarah kepada suatu masjid. “Itu masjid!” pekikku kegirangan.
Jadilah kami melaksanakan sholat dzuhur – sekaligus istirahat di masjid
tersebut.
Tidak ingin ketinggalan
waktu sholat ya, batinku.
Setelah makan udon hinga
kenyang dan berjalan-jalan (walau tak beli apa-apa), tak terasa waktu maghrib
hampir menghampiri. Kami memutuskan untuk berjalan menuju mushola yang terletak
di lantai tiga, sembari menunggu waktu maghrib tiba.
Adzan berkumandang di dalam
mushola. Sesaat setelah itu, sholat maghrib berjamaah langsung didirikan. Aku
bersyukur, berkesempatan melaksanakan sholat berjamaah di sebuah mall, terlebih
ketika sang imam membaca beberapa ayat dari awal surah Al-Kahfi. Ah iya,
benar. Hari ini malam Jumat, sunnah membaca surah Al-Kahfi.
Bahkan sebelum pulang, Afif
menyeletuk, “Pas udah nyampe kos dan asrama masing-masing, jangan
lupa Al-Kahfi ya.”
Inilah yang kurindukan menjadi
siswa Insan Cendekia. Tak pernah abstain dalam mengingatkan akan kebaikan, bahkan
bersama-sama melakukannya. Tentu saja aku bersyukur saat ini aku berada di
Rumah Sahabat Muda naungan Masjid Salman, sehingga saling mengingatkan akan
kebaikan pun tidak hilang. Namun tetaplah, tiga tahun di Insan Cendekia (walau
tidak pernah dididik ala pesantren), membuat kami banyak belajar, hingga agama
sekalipun.
Selama di perjalanan,
celotehan cerita tidak berhenti dari mulut kami. Kami bernostalgia atas apa
yang pernah kami lakukan semasa di madrasah. Bahasa lain dari pengakuan dosa, hehe.
Aku bercerita bahwa aku pernah membawa laptop saat kelas 10 dan mengunci
kamar selagi aku dan teman sekamarku memainkannya. Belum lagi cerita ngumpet
dari divisi kedisiplinan OSIS bila waktu sholat telah tiba, hingga kasus yang
membuat dua orang dari kami terpaksa dikeluarkan dan lima lainnya harus libur
lebih panjang (alias diskors).
Mira dan Ihsan, yang semasa
kelas 11 menjadi MPS (pengawas) divisi kedisiplinan, membisu mendengar
penuturan dari kami. Mungkin lebih tepatnya mereka kagt. Sebagai anak dengan
catatan pelanggaran paling sedikit, tentulah hal itu menjadi sesuatu yang dapat
membuat mereka geleng-geleng kepala.
“Ternyata dulu kalian sebandel
ini, ya,” kekeh Mira.
“Itu mah biasa aja. Selama
yang dilanggar bukan peraturan agama, sans aja lah,” kata Afif.
“Ah, aku nyesel
deh kurang brandal waktu di IC dulu,” celetukku.
Kami semua tertawa.
0 comments