­

Buah Sebuah Ukhuwah

by - December 11, 2017


Jumat pagi, tepat sehari sebelum UTS 2 Kimia, aku dan teman-teman Rusa Muda mendapat kabar tidak menyenangkan. Aku sedang merebahkan diri di kasur ketika tiba-tiba aku berteriak, “Innalillaahi!

Ponsel milik salah seorang dari kami hilang, sepertinya diambil orang. Yayas namanya. Gadis asal Sukabumi yang berada di fakultas Kebumian kehilangan HPnya tak lama setelah subuh, di Masjid Salman ITB. Kronologinya, ia sedang mengaji kemudian tertidur di lantai kayu Salman. Saat bangun, ia sudah tidak mendapati ponsel miliknya di tas. Yayas memang tidak pulang ke asrama. Semalam, ia dan teman-teman sekolahnya belajar bersama di Eduplex, sebuah kafe sekaligus tempat belajar tidak jauh dari ITB.

Ya Allah, kenapa Yayas lagi? batinku. Sebelumnya, ia pernah kehilangan sepeda di asrama kami. Padahal, sepeda tersebut baru dua hari ia beli bersama orang tuanya. Tak hanya itu, sepasang sepatu pun raib di depan asrama kami. Entah maling yang terlalu canggih atau bagaimana, halaman depan asrama kami sepertinya sedikit tidak aman. Karena aku dan Teduh, teman asramaku juga, menjadi korban kehilangan sepatu pertama kali, tepat sehari setelah aku menginjakkan kaki di asrama berbentuk rumah yang berada di daerah Sadang Serang ini.

Yayas memberi tahu kami lewat akun Line milik Citra yang kebetulan sedang berada di Salman, sekitar pukul delapan pagi. Kami memberi saran kepada Yayas untuk mencoba bertanya kepada ibu-ibu yang biasa berjaga dan merapikan barisan di Salman, siapa tahu HPnya diambil dan diamankan di ruangan security. Namun sayangnya, hasilnya nihil.

Sekitar jam sembilan, Yayas kembali ke asrama. Ia menelepon ibunya menggunakan HP Teduh dan aku mendengarnya menangis. Siapa yang tidak menangis bila bercerita kepada orang tua bahwa ia kehilangan ponsel? Yayas kami yang sangat ceria (dan sangat micin, terlihat tidak berdaya saat menangis.

Pada saat yang sama, Nahdia, Zura, dan Teduh mengunjungi kamarku dan Resha. Kami berlima mendiskusikan sesuatu. Satu kesepakatan muncul. Ayo kita belikan HP baru buat Yayas! Kami berencana patungan agar tidak memberatkan. Tidak hanya dari Rusa 3, kami juga meminta bantuan dari para rusa jantan, Rusa 1 dan Rusa 2.

Aku menghubungi Ivan, meminta bantuannya dan para rusa ikhwan untuk membantu rencana kami. Ia merespon, dan juga memberi pertimbangan. Dan tepat setelah dzuhur, Ivan memberi tahuku bahwa pasukan Rusa 1 telah berhasil mengumpulkan uang sebesar 350.000 rupiah. Wow. Cepat sekali. Memang sih, jumlah anggota Rusa 1 cuma enam orang ditambah satu kakak fasil yang membuat proses pengumpulan uang menjadi lebih cepat.

Nahdia dan Resha menghubungi rusa akhwat yang sedang tidak ada di rumah, agar mereka tidak lupa. Ada satu alasan mengapa kami bergerak cepat untuk membelikan HP untuk Yayas. Selain betapa pentingnya sebuah ponsel (apalagi untuk menghubungi orang tua), kami juga takut keduluan Yayas. Hehe. Takut Yayas keburu beli HP.

Malamnya, hampir semua uang dari rusa akhwat telah terkumpul. Bahkan kakak fasil kami, Teh Vani, ikut menyumbang untuk kelancaran rencana kami. Tinggal tunggur Rusa 2, batinku. Aku berniat untuk menghubungi Ivan kembali, menanyakan progres pengumpulan dana di Rusa 2. Belum sempat aku naik ke kamarku yang berada di lantai dua, terdengar suara ketukan pintu.

“Assalamu’alaikum!” teriak suara di luar. Sepertinya bukan satu orang.

“Yayas, dipanggil Alam!” seru salah seorang dari Kami. Alam merupakan teman kami dari Rusa 2 dan juga teman SMA Yayas, Insan Cendekia Al-Kautsar.

Awalnya, aku tidak berpikiran apa-apa, sampai setelah Alam dan Alaex (ternyata yang berkunjung dua orang) pulang, Yayas berteriak, “Alhamdulillaah ya Allah!”

Sontak, aku yang sedang berada di kamar Salma dan Dedek langsung menuju ruang tengah. “Ada apa?”

“Rusa 2 baik banget... Ngasih aku uang, 620.000... Padahal aku nggak minta, padahal aku juga udah nolak,” ujar Yayas. Ekspresi terharunya tidak dapat disembunyikan.

WAIT. WHAT?

Niat kami kan memberi kejutan buat Yayas, kok Rusa 2 malah ngasih langsung ke orangnya, sih?!

Aku kaget setengah mati. Aku langsung menaiki tangga, menuju kamarku, dan saat itu juga langsung menelepon Ivan. Aku nyerocos cukup panjang, meluapkan kekesalanku terhadap Rusa 2 padanya. Ternyata ada sedikit miskomunikasi. Bukan hanya aku yang kaget. Kawan-kawanku yang lain pun juga bingung. Gabungan uang Rusa 1 dan Rusa 3 belum cukup untuk membeli ponsel Lenovo A6010, HP Yayas sebelumnya. “Emang ya, Rusa 2, dasar micin!” gerutu Nahdia.

Aku, Nahdia, dan Teh Vani memutar otak supaya kami bisa mengambil uang Rusa 2 dari tangan Yayas. Akhirnya kami menyuruh Citra, teman sekamar Yayas, untuk memperhatikan dimana Yayas menyimpan sebuah amplop putih bertuliskan “Yayas” dengan tipografi (pasti Furqon yang menulis) pada malam harinya. Sehingga esok pagi, sebelum berangkat kuliah, aku bisa mengambilnya. Terdengar kriminal memang. Tapi mau bagaimana lagi. Toh uangnya pun akan kembali ke dia, walau dalam wujud berbeda.

Yayas, Yayas. Entah kamu yang tidak aware dengan barangmu sendiri atau bagaimana, kamu malah menaruh amplop berisi uangmu di atas kasur. Bukan di lemari, atau di selipan buku. Haduh. Dan untungnya, kamu berangkat lebih pagi dari aku, jadilah aku dengan mudah mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam dompetku, beserta uang gabungan Rusa 1 dan Rusa 3.

Qadarullah lagi, aku satu gedung ujian dengan Yayas, di Oktagon. Aku berjumpa dengan Yayas sehabis ujian, dan tiba-tiba Yayas membahas HPnya.

“Pengen ke BEC (Bandung Electronic Center) deh, pengen beli HP,” katanya.

EH?! “Kapan Yas?” tanyaku.

“Rabu kali ya, sekarang aku mau hidup tanpa HP dulu. Biar kayak zaman asrama dulu, jadi anak pesantren gitu,” ujarnya. Dasar Yayas. Untungnya ia sudah kembali ceria dan mereceh seperti biasa.

Aku tidak langsung pergi membeli HP. Usai ujian kimia yang bikin penat, sebuah es krim gratis akan menjadi penawar yang tepat. Aku bertemu Ulya, dan berjalan bersama menuju Aula Timur ITB, mengunjungi pameran karya dari jurusan Kewirausahaan (SBM) sambil menikmati es krim Aice gratis. Biasa lah. Mahasiswa. Carinya yang gratis. Hehe.

Barulah setelah dzuhur, aku pergi ke BEC bersama Dedek, si bocah FSRD yang kebetulan ingin mereparasi kameranya. Hampir setiap toko yang aku dan Dedek lewati menawarkan ponsel-ponsel terbaru mereka, seakan mereka menodong kami.

Aku berhenti di suatu toko. “Mbak, ada Lenovo gak?” tanyaku. Mbak-mbak penjaga toko menyodorkan semacam katalog HP beserta harganya. “Kalau Lenovo A6010 ada gak, Mbak?” tanyaku lagi.

Sayang seribu sayang, HP tipe tersebut sudah tidak diproduksi lagi. Yang terbaru bertipa A6600. Aku sempat bingung. Resha, teman kamarku semalam berkata bahwa Yayas inginn HP yang sama dengan sebelumnya. Setelah aku melihat bentuk fisik Lenovo A6600, aku yakin. HP ini mirip sekali dengan punya Yayas. Bentuk kotaknya, posisi kamera belakang, hingga tombol home dan ­back-nya. Okelah, aku fix membeli HP yang ini.

Alhamdulillah, uang yang terkumpul lebih dari cukup. Akhirnya, selain membeli HP, aku juga membeli kartu perdana, kuota, dan temper glass untuk Yayas. Rincian harganya pun aku paparkan kepada teman-teman Rusa akhwat, juga kepada Ivan.

Beli HP, sudah. Sekarang saatnya memikirkan bagaimana kami memberikan HPnya ke Yayas. Teh Vani mengusulkan sebuah aksi dramatis yang membuat Yayas panik. Secara, uang 620.000 yang baru semalam dikasih telah raib dari kamar Yayas.

Akhirnya, pada malam itu, setelah Yayas kembali ke rumah (aku mewanti-wanti supaya ia tidak pulang malam, karena tidak akan bisa dihubungi, apalagi pesan ojek online), kami mulai melancarkan aksi. Sayangnya, ia asyik mengobrol di ruang tengah bersama Ulya dan Arum. Padahal, kamar Yayas berada di lantai atas. Setelah berapa lama pun Yayas belum kembali ke kamar. Akhirnya, Arum si anak sastra mulai berakting meminjam uang ke Yayas, untuk membeli susu kotak yang besar dan kopi. Ia memang tidak bohong. Uang yang ia pegang habis untuk membeli tiket pulang ke Trenggalek.

Akhirnya Yayas naik ke kamarnya. Setelah dipancing-pancing, ia mulai mencari amplop putih miliknya di penjuru kasurnya. Dalam lemari, bawah bantal, hingga di tumpukan baju ia mencari. Namun hasilnya nihil. Sebenarnya, alasan kami membuat drama seperti itu adalah untuk menyadarkan Yayas supaya ia tidak ceroboh lagi, dan harus lebih hati-hati.

Yayas mulai panik. Arum menambah kepanikan Yayas dengan bercerita bahwa ia mendapati asrama yang tidak dikunci saat ia pulang dari kampus. Hanya dislot saja. Cerita Arum tidak hanya membuat Yayas panik, tetapi kami juga. Arum yang pertama kali datang ke asrama, sedangkan kami pergi ke kampus pada pagi hari. Orang yang terakhir keluar asrama adalah Dedek, namun tidak mungkin Dedek lupa mengunci pintu, karena ia orang yang sangat apik.

Kami jadi berpikiran ke mana-mana. Untungnya, aku bertanya pada Dedek dan menanyakan perihal pintu tersebut. Dedek bilang, ia memang tidak mengunci pintu saat pergi ke ITB, dan hanya menyelot pintu dari jendela yang tidak dikunci pula. Satu masalah terpecahkan, walau tetap saja itu tidak aman.

Dan pada saat itulah kami siap memberikan kejutan untuk Yayas. Satu hal lagi yang membuatku bingung. Masak kami nyanyi happy birthday to you ke Yayas? Ulang tahun dia sudah lama terlewat. Akhirnya, Teh Neli, kakak fasil kami juga, memberi ide.

Aku berjalan ke kamar Yayas yang penuh oleh anak-anak Rusa 3 sambil membawa sebuah kotak kado.

“Alhamdulillaah wa syukurillaah, bersyukur padamu ya Allah. Kau jadikan kami saudara, indah dalam kebersamaan kebersamaan.”

Kami menyanyikan lagu tersebut untuk Yayas. Saat aku menyanyikannya, aku sedikit merinding. Ah, memang persaudaraan itu indah. Sebuah hal yang patut untuk disyukuri. Karena sebuah ukhuwah pula kami dapat membuat seseorang tersenyum kembali.

Yayas speechless. Kami memeluknya erat.

“Foto dulu dong, pake HP baru!” seru salah seorang dari kami.

Yayas mengoperasikan HPnya, dan karena OS Android terbaru, ia sedikit tidak mengerti dengan tampilannya. “Duh, mana ya tombol kameranya. Ya ampun, aku udik banget deh. Udah kayak gak megang HP bertahun-tahun,” celetuknya. Kami tertawa. Padahal cuma 41 jam dia tidak mempunyai HP, rasanya sudah kayak berabad-abad saja.

Aku meminta maaf pada Yayas karena dengan sengaja mengambil amplop berisi uang 620.000 tersebut dari atas kasurnya. “Lagian, kamu tuh kalau naruh barang yang bener, lah! Itu duit Yas, jangan ditaruh di atas kasur!” omelku. Yayas hanya cengengesan.

Akhirnya, kami menceritakan dari awal sampai akhir bagaimana Lenovo A6600 bisa berada di tangan Yayas. Termasuk miskomunikasi Rusa 2 yang memberikan uangnya langsung pada Yayas.

“Emang ya! Rusa 2 tuh ketularan Erdo semua! Micin memang micin!” komentar Yayas.

You May Also Like

0 comments