Buah Sebuah Ukhuwah
Jumat pagi, tepat sehari sebelum UTS 2 Kimia, aku dan teman-teman Rusa Muda mendapat kabar tidak menyenangkan. Aku sedang merebahkan diri di kasur ketika tiba-tiba aku berteriak, “Innalillaahi!”
Ponsel milik salah seorang dari kami hilang, sepertinya diambil orang. Yayas namanya. Gadis asal Sukabumi yang berada di fakultas Kebumian kehilangan HPnya tak lama setelah subuh, di Masjid Salman ITB. Kronologinya, ia sedang mengaji kemudian tertidur di lantai kayu Salman. Saat bangun, ia sudah tidak mendapati ponsel miliknya di tas. Yayas memang tidak pulang ke asrama. Semalam, ia dan teman-teman sekolahnya belajar bersama di Eduplex, sebuah kafe sekaligus tempat belajar tidak jauh dari ITB.
Ya
Allah, kenapa Yayas lagi? batinku. Sebelumnya, ia pernah kehilangan sepeda di asrama kami. Padahal,
sepeda tersebut baru dua hari ia beli bersama orang tuanya. Tak hanya itu,
sepasang sepatu pun raib di depan asrama kami. Entah maling yang terlalu
canggih atau bagaimana, halaman depan asrama kami sepertinya sedikit tidak
aman. Karena aku dan Teduh, teman asramaku juga, menjadi korban kehilangan
sepatu pertama kali, tepat sehari setelah aku menginjakkan kaki di asrama
berbentuk rumah yang berada di daerah Sadang Serang ini.
Yayas
memberi tahu kami lewat akun Line milik Citra yang kebetulan sedang berada di
Salman, sekitar pukul delapan pagi. Kami memberi
saran kepada Yayas untuk mencoba
bertanya kepada ibu-ibu yang biasa berjaga dan merapikan barisan di Salman,
siapa tahu HPnya diambil dan diamankan di ruangan security. Namun
sayangnya, hasilnya nihil.
Sekitar
jam sembilan, Yayas kembali ke asrama. Ia menelepon ibunya menggunakan HP Teduh
dan aku mendengarnya menangis. Siapa yang tidak menangis bila bercerita kepada
orang tua bahwa ia kehilangan ponsel? Yayas kami yang sangat ceria (dan sangat micin,
terlihat tidak berdaya saat menangis.
Pada saat
yang sama, Nahdia, Zura, dan Teduh mengunjungi kamarku dan Resha. Kami berlima
mendiskusikan sesuatu. Satu kesepakatan muncul. Ayo kita belikan HP baru buat
Yayas! Kami berencana patungan agar tidak memberatkan. Tidak hanya dari Rusa 3, kami juga meminta
bantuan dari para rusa jantan, Rusa 1 dan Rusa 2.
Aku
menghubungi Ivan, meminta bantuannya dan para rusa ikhwan untuk membantu
rencana kami. Ia merespon, dan juga memberi pertimbangan. Dan tepat setelah dzuhur,
Ivan memberi tahuku bahwa pasukan Rusa 1 telah berhasil mengumpulkan uang
sebesar 350.000 rupiah. Wow. Cepat sekali. Memang sih, jumlah
anggota Rusa 1 cuma enam orang ditambah satu kakak fasil yang membuat proses pengumpulan
uang menjadi lebih cepat.
Nahdia dan Resha menghubungi rusa akhwat yang
sedang tidak ada di rumah, agar mereka tidak lupa. Ada satu alasan mengapa kami
bergerak cepat untuk membelikan HP untuk Yayas. Selain betapa pentingnya sebuah
ponsel (apalagi untuk menghubungi orang tua), kami juga takut keduluan Yayas.
Hehe. Takut Yayas keburu beli HP.
Malamnya,
hampir semua uang dari rusa akhwat telah terkumpul. Bahkan kakak fasil kami,
Teh Vani, ikut menyumbang untuk kelancaran rencana kami. Tinggal tunggur Rusa
2, batinku. Aku berniat untuk menghubungi Ivan kembali, menanyakan progres
pengumpulan dana di Rusa 2. Belum sempat aku naik ke kamarku yang berada di
lantai dua, terdengar suara ketukan pintu.
“Assalamu’alaikum!”
teriak suara di luar. Sepertinya bukan satu orang.
“Yayas,
dipanggil Alam!” seru salah seorang dari Kami. Alam merupakan teman kami dari
Rusa 2 dan juga teman SMA Yayas, Insan Cendekia Al-Kautsar.
Awalnya,
aku tidak berpikiran apa-apa, sampai setelah Alam dan Alaex (ternyata yang berkunjung
dua orang) pulang, Yayas berteriak, “Alhamdulillaah ya Allah!”
Sontak,
aku yang sedang berada di kamar Salma dan Dedek langsung menuju ruang tengah. “Ada
apa?”
“Rusa 2
baik banget... Ngasih aku uang, 620.000... Padahal aku nggak minta,
padahal aku juga udah nolak,” ujar Yayas. Ekspresi terharunya tidak dapat disembunyikan.
WAIT.
WHAT?
Niat kami
kan memberi kejutan buat Yayas, kok Rusa 2 malah ngasih langsung
ke orangnya, sih?!
Aku kaget
setengah mati. Aku langsung menaiki tangga, menuju kamarku, dan saat itu juga
langsung menelepon Ivan. Aku nyerocos cukup panjang, meluapkan kekesalanku
terhadap Rusa 2 padanya. Ternyata ada sedikit miskomunikasi. Bukan hanya aku
yang kaget. Kawan-kawanku yang lain pun juga bingung. Gabungan uang Rusa 1 dan
Rusa 3 belum cukup untuk membeli ponsel Lenovo A6010, HP Yayas sebelumnya. “Emang
ya, Rusa 2, dasar micin!” gerutu Nahdia.
Aku,
Nahdia, dan Teh Vani memutar otak supaya kami bisa mengambil uang Rusa 2 dari
tangan Yayas. Akhirnya kami menyuruh Citra, teman sekamar Yayas, untuk memperhatikan
dimana Yayas menyimpan sebuah amplop putih bertuliskan “Yayas” dengan tipografi
(pasti Furqon yang menulis) pada malam harinya. Sehingga esok pagi, sebelum
berangkat kuliah, aku bisa mengambilnya. Terdengar kriminal memang. Tapi mau
bagaimana lagi. Toh uangnya pun akan kembali ke dia, walau dalam wujud
berbeda.
Yayas, Yayas.
Entah kamu yang tidak aware dengan barangmu sendiri atau bagaimana, kamu
malah menaruh amplop berisi uangmu di atas kasur. Bukan di lemari, atau
di selipan buku. Haduh. Dan untungnya, kamu berangkat lebih pagi dari
aku, jadilah aku dengan mudah mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam
dompetku, beserta uang gabungan Rusa 1 dan Rusa 3.
Qadarullah
lagi, aku satu gedung
ujian dengan Yayas, di Oktagon. Aku berjumpa dengan Yayas sehabis ujian, dan tiba-tiba
Yayas membahas HPnya.
“Pengen ke
BEC (Bandung Electronic Center) deh, pengen beli HP,” katanya.
EH?! “Kapan Yas?” tanyaku.
“Rabu kali
ya, sekarang aku mau hidup tanpa HP dulu. Biar kayak zaman asrama dulu, jadi anak
pesantren gitu,” ujarnya. Dasar Yayas. Untungnya ia sudah kembali ceria dan
mereceh seperti biasa.
Aku tidak
langsung pergi membeli HP. Usai ujian kimia yang bikin penat, sebuah es krim
gratis akan menjadi penawar yang tepat. Aku bertemu Ulya, dan berjalan bersama
menuju Aula Timur ITB, mengunjungi pameran karya dari jurusan Kewirausahaan
(SBM) sambil menikmati es krim Aice gratis. Biasa lah. Mahasiswa. Carinya yang
gratis. Hehe.
Barulah
setelah dzuhur, aku pergi ke BEC bersama Dedek, si bocah FSRD yang kebetulan
ingin mereparasi kameranya. Hampir setiap toko yang aku dan Dedek lewati
menawarkan ponsel-ponsel terbaru mereka, seakan mereka menodong kami.
Aku
berhenti di suatu toko. “Mbak, ada Lenovo gak?” tanyaku. Mbak-mbak penjaga toko
menyodorkan semacam katalog HP beserta harganya. “Kalau Lenovo A6010 ada gak,
Mbak?” tanyaku lagi.
Sayang
seribu sayang, HP tipe tersebut sudah tidak diproduksi lagi. Yang terbaru
bertipa A6600. Aku sempat bingung. Resha, teman kamarku semalam berkata bahwa
Yayas inginn HP yang sama dengan sebelumnya. Setelah aku melihat bentuk fisik
Lenovo A6600, aku yakin. HP ini mirip sekali dengan punya Yayas. Bentuk kotaknya,
posisi kamera belakang, hingga tombol home dan back-nya. Okelah,
aku fix membeli HP yang ini.
Alhamdulillah, uang yang terkumpul lebih dari cukup.
Akhirnya, selain membeli HP, aku juga membeli kartu perdana, kuota, dan temper
glass untuk Yayas. Rincian harganya pun aku paparkan kepada teman-teman
Rusa akhwat, juga kepada Ivan.
Beli HP,
sudah. Sekarang saatnya memikirkan bagaimana kami memberikan HPnya ke Yayas. Teh
Vani mengusulkan sebuah aksi dramatis yang membuat Yayas panik. Secara, uang 620.000
yang baru semalam dikasih telah raib dari kamar Yayas.
Akhirnya,
pada malam itu, setelah Yayas kembali ke rumah (aku mewanti-wanti supaya ia
tidak pulang malam, karena tidak akan bisa dihubungi, apalagi pesan ojek online),
kami mulai melancarkan aksi. Sayangnya, ia asyik mengobrol di ruang tengah
bersama Ulya dan Arum. Padahal, kamar Yayas berada di lantai atas. Setelah
berapa lama pun Yayas belum kembali ke kamar. Akhirnya, Arum si anak sastra
mulai berakting meminjam uang ke Yayas, untuk membeli susu kotak yang besar dan
kopi. Ia memang tidak bohong. Uang yang ia pegang habis untuk membeli tiket
pulang ke Trenggalek.
Akhirnya
Yayas naik ke kamarnya. Setelah dipancing-pancing, ia mulai mencari amplop
putih miliknya di penjuru kasurnya. Dalam lemari, bawah bantal, hingga di tumpukan
baju ia mencari. Namun hasilnya nihil. Sebenarnya, alasan kami membuat drama
seperti itu adalah untuk menyadarkan Yayas supaya ia tidak ceroboh lagi, dan
harus lebih hati-hati.
Yayas mulai
panik. Arum menambah kepanikan Yayas dengan bercerita bahwa ia mendapati asrama
yang tidak dikunci saat ia pulang dari kampus. Hanya dislot saja. Cerita Arum
tidak hanya membuat Yayas panik, tetapi kami juga. Arum yang pertama kali
datang ke asrama, sedangkan kami pergi ke kampus pada pagi hari. Orang yang
terakhir keluar asrama adalah Dedek, namun tidak mungkin Dedek lupa mengunci
pintu, karena ia orang yang sangat apik.
Kami jadi
berpikiran ke mana-mana. Untungnya, aku bertanya pada Dedek dan menanyakan
perihal pintu tersebut. Dedek bilang, ia memang tidak mengunci pintu saat pergi
ke ITB, dan hanya menyelot pintu dari jendela yang tidak dikunci pula. Satu
masalah terpecahkan, walau tetap saja itu tidak aman.
Dan pada
saat itulah kami siap memberikan kejutan untuk Yayas. Satu hal lagi yang
membuatku bingung. Masak kami nyanyi happy birthday to you ke
Yayas? Ulang tahun dia sudah lama terlewat. Akhirnya, Teh Neli, kakak fasil
kami juga, memberi ide.
Aku
berjalan ke kamar Yayas yang penuh oleh anak-anak Rusa 3 sambil membawa sebuah
kotak kado.
“Alhamdulillaah
wa syukurillaah, bersyukur padamu ya Allah. Kau jadikan kami saudara, indah
dalam kebersamaan kebersamaan.”
Kami
menyanyikan lagu tersebut untuk Yayas. Saat aku menyanyikannya, aku sedikit
merinding. Ah, memang persaudaraan itu indah. Sebuah hal yang patut
untuk disyukuri. Karena sebuah ukhuwah pula kami dapat membuat seseorang
tersenyum kembali.
Yayas speechless.
Kami memeluknya erat.
“Foto dulu
dong, pake HP baru!” seru salah seorang dari kami.
Yayas
mengoperasikan HPnya, dan karena OS Android terbaru, ia sedikit tidak mengerti
dengan tampilannya. “Duh, mana ya tombol kameranya. Ya ampun, aku udik banget
deh. Udah kayak gak megang HP bertahun-tahun,” celetuknya. Kami tertawa.
Padahal cuma 41 jam dia tidak mempunyai HP, rasanya sudah kayak berabad-abad
saja.
Aku
meminta maaf pada Yayas karena dengan sengaja mengambil amplop berisi uang 620.000
tersebut dari atas kasurnya. “Lagian, kamu tuh kalau naruh barang yang
bener, lah! Itu duit Yas, jangan ditaruh di atas kasur!” omelku. Yayas
hanya cengengesan.
Akhirnya,
kami menceritakan dari awal sampai akhir bagaimana Lenovo A6600 bisa berada di
tangan Yayas. Termasuk miskomunikasi Rusa 2 yang memberikan uangnya langsung pada
Yayas.
“Emang ya!
Rusa 2 tuh ketularan Erdo semua! Micin memang micin!” komentar Yayas.
0 comments