Tentang Supporteran
Belum lama ini, FTMD mengukuhkan dirinya sebagai juara TPB Cup 2017 cabang futsal putra, setelah menggilas FTSL dengan skor 10-2. Dahsyat memang. Sementara itu, FTSL tidak perlu lama berkecil hati karena pada cabang futsal putri FTSL lah ratunya, mengalahkan SBM dengan skor-yang-aku-tidak-tahu.
SAPPK apa kabar? Alhamdulillah, tim futsal putra SAPPK (untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir) melangkah maju ke babak perempat final. Sedangkan tim futsal putri hanya bertahan hingga fase grup, walaupun menang sekali melawan tim futsal putri FTMD.
Supporteran pun terpaksa terhenti setelah SAPPK
dikalahkan 6-3 oleh FTI. Tak apa, mencapai babak perempat final saja sudah
membuat aku–bahkan para kating– bangga. Walau tidak ada lagi nyanyian “Bangga
bisa mengawalmu, hey, pahlawan,” lagu itu akan selalu terkenang, dan tak
jarang aku mendendangkannya ketika berjalan sendiri.
Bicara
tentang supporteran, aku jadi ingat masa-masa Cordoba, Anabaena, dan Asparagus.
Turnamen olahraga tiga angkatan Insan Cendekia setiap akhir semester satu tersebut
selalu memberikan kesan tersendiri. Tidak hanya soal jalannya pertandingan,
namun juga setiap dukungan yang diberikan.
Yel-yel
penyemangat hingga air mineral utuk para pemain selalu hadir dalam setiap
pertandingan. Tidak hanya di IC, di ITB pun demikian. Bahkan air mineral juga
disediakan untuk suporter yang kehabisan suara saat berteriak mendukung tim
kesayangan.
Lantas, apa
bedanya supporteran Axiora (ICS 20) dan Bima Sanggara (SAPPK 2017)?
Pertandingan
pertama SAPPK, futsal putra melawan FMIPA, berlangsung pukul 21.40 malam. Ya,
jam sepuluh kurang dua puluh menit. Tentu saja aku tidak datang. Jikapun
datang, pastilah aku pulang melewati jam malam asrama, pukul 10 malam. Tidak
ada lagi ceramah Pak Huda ataupun Pak Yoga yang mengingatkan ketika pertandingan
masih berlangsung dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Satu
hal yang membuat banyak dari anak laki-laki terlambat sholat Maghrib di Masjid
Ulil Albab tercinta.
Sepanjang
pertandingan, bermacam yel-yel dinyanyikan tanpa henti. Walau hujan deras,
ku kan bersikeras. Panas matahari ku tidak peduli. Satu hal yang berbeda,
dari yang pernah kualami dulu, di Insan Cendekia.
Dua kali 30
menit pertandingan sepakbola, diawali dengan doa, dan diakhiri pula dengan syukur
pada Yang Maha Kuasa. Yel-yel ditujukan ketika para pemain turun semangatnya,
atau bila pertandingan berjalan datar-datar saja. Selebihnya, aku fokus dengan
pertandingan (walau terkadang fokusku hanya kepada segelintir orang, heheh).
Aku ingat,
pada pertandingan final basket putri antara Axiora vs Discaria (ICS 21), tidak
ada yel-yel yang terdengar. Yang terjadi adalah sebuah buku kecil berisi Al-Ma’tsurat
yang dibaca bergantian oleh para suporter Axiora, khususnya yang perempuan. Karena
kami percaya, kekuatan doa mengalahkan segalanya. Aku, yang termasuk dalam tim
basket Axiora, merasa ikhtiar kami sudah lebih dari cukup. Hampir setiap
hari aku dan tim putri Hustle Ants (nama tim basket Axiora) berlatih dibawah
arahan coach Fathoni Nur Alami yang merupakan teman seangkatanku. Sampai
gosong mukaku dibuatnya. Namun tetap saja, pertandingan melawan Discaria tidak
akan menjadi pertandingan yang mudah. Skill individu pemain basket Discaria
bisa dibilang di atas kemampuan kami. Maklum, kami berlatih intensif baru selama
satu semester.
Jadilah
sebelum pertandingan, para pemain berkumpul terlebih dahulu dan bersama membaca
Al-Ma’tsurat sambil melakukan pemanasan. Nuni, sebagai kapten tim basket putri,
sampai berujar kepada teman-temanku, “Jangan sampe putus doanya, ya. Siapa tahu
doa kalian terkabul, biar kita bisa menang lawan Discaria.”
Pertandingan
empat kali 10 menit berlangsung sangat sengit, dan hasilnya? 4-0 yang membuat Axiora
menjadi juara basket putri Asparagus 2016. Dan pasa saat itu aku percaya, kekuatan
doa memang tiada duanya.
Dan itulah yang membuatku sedikit greget dengan supporteran di ITB. Mendukung fakultas kebanggaan tidak bisa hanya dari seberapa ramai yel-yel yang diteriakkan, namun juga dari berbagai doa yang dipanjatkan. Bukan tidak suka, hanya saja seperti ada yang kurang. Bahkan kata salah satu teman fakultasku, “Jangan nyanyi-nanyi mulu, hati kering, coy!”
Satu lagi yang berbeda. Karena pertandingan TPB Cup dilangsungkan malam hari, ada satu hal yang tidak bisa kulakukan, yang seharusnya menjadi kerjaan seorang Nadhira. Mendokumentasi pertandingan. Perangkat kameraku belum memadai untuk memotret dari kegelapan. Ditambah supporteran yang mengharuskanku diam di bangku penonton, membuatku enggan untuk foto-foto. Bisa datang saja sudah alhamdulillaah. Padahal, itulah caraku menikmati pergulatan dalam sebuah lapangan. Seni pertandingan adalah ketika kau dapat menangkap ekspresi lelahnya para pemain, semangat berapi-api para penonton, juga pandangan fokus sang pengadil laga. Biasanya, aku meminjam lensa 18-200 mm milik Irma untuk membidik wajah sepanjang peluit akhir belum dibunyikan. Dan kebahagiaan tersendiri adalah ketika berhasil mendapat gambar si doi. Hehehe.
Apapun
yang telah terjadi sepanjang TPB Cup 2017 cabang futsal, semoga ke depannya
SAPPK berhasil menembus babak-babak selanjutnya. Tak sabar rasanya ingin
bermain dalam tim basket putri Bima Sanggara, dan berjuang bersama membuat SAPPK
bangga. Sampai bertemu di TPB Cup semester depan!
0 comments