­

Rezeki Pagi

by - September 29, 2017

Selasa, 26 September 2017


Usai subuh, aku berjalan menuju Masjid Al-Muhajirin yang terletak tidak jauh dari rumah (asrama Rusa Muda, red). Hanya sekitar 30 meter dari gerbang depan. Setiap selasa, terdapat agenda rutin pembinaan fiqih dari Masjid Salman ITB yang bertempat di masjid bernuansa biru tersebut. Tepatnya berada di lantai dua, bersama rusa-rusa lainnya.

Naik ke lantai dua, aku melihat teman-temanku sedang menggelar karpet untuk duduk. Batang hidung anak lelaki belum terlihat. Rusa satu mungkin baru selesai sholat di Masjid Al-Iman, sedangkan Rusa dua sepertinya baru kembali dari Masjid Manunggal.

Waktu menunjukkan pukul 04.55. Baru Nadif dan Furqon yang datang. Aku tidak membawa HP, apalagi buku pelajaran. Sembari menunggu, kubuka Alquranku, membuka surah Al Baqarah juz 3 dan mulai membacanya. Teduh, salah satu temanku–yang merupakan kakak kelas adikku di MAN 2 Serang–terlihat mengantuk dan menidurkan kepalanya pada pahaku. Hampir semua temanku melakukan hal yang sama. Mereka membuka Alquran dan mulai melantunkan ayat-ayat suciNya.

Aku terhanyut dalam bacaanku. Lama sekali rasanya tidak mengaji sebanyak ini dalam sekali duduk. Aku tidak tahu suaraku terlalu keras atau tidak (karena semakin banyak anak laki-laki yang datang), dan aku tidak memedulikan itu. Ketika aku mengaji, aku merasa tidak bisa berhenti. Seolah Alquran memuntahkan kerinduannya terhadap bacaanku yang membuatku tidak ingin mengakhiri membacanya. Seakan Alquran meluapkan kekesalannya kepadaku yang belum bisa mengaji sebanyak yang biasa kulakukan di Masjid Ulil Albab dulu.

“Nad,” Teduh terbangun, aku menatapnya. “Aku gak pernah lho ngaji sebanyak dan selama kamu,” ungkapnya.

Aku tersenyum. Namun dalam hati, aku merasa teriris. Dahulu, hampir setiap habis sholat lima waktu aku membuka Alquranku, duduk di pojokan dan bermesraan dengannya. Sekarang, aku baru bisa melantunkannya sebelum subuh, sebelum dan sesudah dzhuhur, dan setelah asar. Setelah maghrib mungkin bisa dihitung jari, entah karena aku dalam perjalanan pulang dari kampus atau makan malam bersama di rumah. Setelah isya apalagi. Aku sudah sibuk dengan aktivitas lain.

Aku masih terus mengaji hingga pukul 05.25, tepat saat Pak Yayat, pemateri fiqih tiba dan memulai kajian mengenai dasar-dasar ilmu fiqih dan sumber hukumnya.

***

Masih di hari yang sama, saat pelajaran fisika, 10 menit sebelum kelas berakhir. Tepatnya pukul 10.30. Aku sedang mendengarkan Bu Neni menerangkan materi tentang usaha dan energi, ketika tiba-tiba teman sampingku, Hanafi, memanggilku.

“Nadhira,” panggilnya. Aku menoleh.

“Iya, apa?” tanyaku.

“Habis ini mau kemana? Ke Salman?” Hanafi balik bertanya.

“Iya,” jawabku.

“Nanti bareng ya ke Salmannya,” pinta Hanafi.

“Okeee!” aku mengiyakan.

Ih, tahu gak sih, Nad, kemarin aku seneng banget lho, sempat sholat dhuha. Udah lama banget gak sholat dhuha... Biasanya pas libur doang,” tiba-tiba Hanafi bercerita dengan muka sumringah.

“Ayo, hari ini harus sholat dhuha juga!” seruku.

Kemudian aku berpikir. Selama kuliah ini, alhamdulillah aku dapat melaksanakan sholat dhuha. Senin-Selasa-Rabu aku keluar kelas pukul 11 kurang. Biasanya, aku dan beberapa temanku langsung bergegas menuju Masjid Salman untuk melaksanakan sholat dhuha sekaligus menunggu adzan dzhuhur berkumandang.

Memang sih, aku seringnya sholat dhuha 25-30 menit sebelum dzhuhur. Berbeda dengan semasa di IC dahulu, aku selalu sholat dhuha sebelum masuk sekolah. Karena aku masuk kuliah jam 7 dan perjalanan rumah-kampus cukup jauh (belum ditambah macet), maka aku tidak bisa menyempatkan diri untuk sholat dhuha sebelum berangkat. Khusus hari Kamis, aku masuk pukul 07.30, yang memungkinkanku untuk melaksanakan sholat dhuha di rumah. Sedangkan hari Jumat, jika aku sedang jadwal praktikum, aku bisa melaksanakannya setelah praktikum selesai, sekitar pukul 10an. Jika tidak praktikum, tentu saja libur dan aku bisa melakukannya di rumah.

Seketika aku teringat. Bila ada suatu hadis yang berkata bahwa sholat dhuha dapat membukakan pintu rezeki, bagiku, bisa melaksanakan sholat dhuha saja sudah menjadi rezeki tersendiri.

Kelas fisika sudah selesai. Aku mengambil tas dan botol minumku (yang selalu kubawa tiap hari, hehe), keluar kelas, turun tangga dari Gedung Kuliah Umum (GKU) Barat yang bikin pusing, dan berjalan beriringan menuju Salman, bersama teman-teman seperjuangan pencuri waktu sholat dhuha, yaitu Titi, Shifa, Fira, Hanafi, Irsyad, Firqi, dan Syafrul.

You May Also Like

0 comments