­

Sepulang Kuliah

by - September 07, 2017


Rabu, 6 September 2017


Gawang sepakbola menjadi tempat bersandarku sore itu. Pukul 15.00, cuaca di Sarana Olahraga (Saraga) ITB cukup mendung. Pelajaran olahragaku sudah selesai. Sedangkan anak laki-laki kelasku masih diam di lapangan hendak bermain sepakbola.

“Hei, kenapa belum mulai main bola?! Kalau gak mulai sekarang, lari empat putaran lagi!” suara dosen pengganti Pak Doddy menggelegar kencang.

“Adzan, Pak,” ujar salah seorang dari anak laki-laki. Aku tertegun. Padahal, suara adzan tidak begitu terdengar dari lapangan Saraga. Aku juga tidak ingat siapa yang mengucapkannya. Yang jelas, setelah itu, bapak dosen pengganti berkata, “Oh iya, maaf.”

Pukul 15.30, permainan sepakbola berhenti. Aku juga masih nongkrong di bawah gawang (yang tidak dipakai tentunya), sambil mendinginkan badan yang penuh keringat akibat tes kebugaran fisik, sekaligus menunggu Guntur sang ketua kelas membagikan kartu latihan mandiri olahraga yang telah dikumpulkan.

“Jangan lupa, jam setengah lima nanti ada kumpul angkatan di Lapcin (Lapangan Cinta-red) ya,” pesan Guntur.

Aku bertanya kepada beberapa temanku. “Eh, gimana nih, badanku masih basah, sholat asarnya gimana?”

“Pakai baju yang tadi aja, aku sih ada,” usul salah satu temanku, Irsyad. Aku mengangguk. “Yuk, ke Salman. Udah jam setengah empat lebih,” lanjutnya.

Akhirnya, aku dan beberapa temanku berjalan dari Saraga ke ITB kemudian melanjutkan ke Salman. Di gerombolanku ada Imel, temanku yang non muslim. “Mel, mau nunggu dimana?” tanyaku.

“Aku duduk di sini aja ya,” jawab Imel. Ia duduk di bangku dekat tempat wudhu akhwat.

Sebagai pasukan pengambil air minum di Salman, aku tawarkan sesuatu kepada Imel. “Mel, sekalian tuh ambil minum, gratis hehe,” kataku sambil tertawa. Imel membalas dengan tawa juga.

Setengah lima lebih kami sampai di Lapcin dan forum angkatan baru saja mulai. Hingga maghrib hampir tiba, forum pun berakhir. Suara adzan Salman terdengar dari tempatku berada. Aku menghampiri temanku. “Syad, Salman, kan?” tanyaku. Irsyad mengangguk.

“Yuk, biar dapat jama’ah,” katanya.

Pulang dari Salman menuju rumah, qadarullah aku seangkot dengan Irsyad, yang ternyata ngekos di daerah yang tak jauh denganku, Tubagus Ismail. Di tengah perjalanan, aku bertanya. “Syad, yang tadi itu qunut nazilah bukan?”

“Iya,” jawabnya.

“Kalau qunut nazilah itu bebas ya bacaannya?” tanyaku lagi.

“Bebas sih, tapi biasanya doa buat bencana,” jelasnya. “Tadi aja disebutin sama imam negara Palestina, Mesir, Libya, Myanmar, kan?”

Aku mengangguk. Sedetik kemudian, aku bersyukur menemukan teman sepertinya, juga beberapa lagi yang belum kusebut namanya.

***

Kamis, 7 September 2017

“Jangan lupa ya, hari ini ada orasi calon ketua angkatan di Amphiteater GKU Barat jam 15.15!” seseorang di kelasku mengingatkan, tepat setelah mata kuliah kimia berakhir. Kulirik jam tanganku. Jam tiga kurang lima menit. Kulirik lagi penunjuk waktu sholat di jamku. 15.05. Yah, bentar lagi ashar, batinku.

Aku melangkahkan kaki keluar gedung kuliah bersama Titi, temanku yang satu SMP dengan Ale dulu. Kami berjalan perlahan, menunggu teman-temanku yang lain bermunculan. Aku berjalan serombongan, sampai tiba di gedung Labtek V. Arah Amphiteater GKU Barat belok kanan dari tempatku berdiri. Aku dan Titi berhenti sejenak.

“Mau sholat dimana?” tanyaku.

“Salman aja, yuk,” jawab Irsyad.

Temanku yang lain berkata. “Di labtek V ada mushola kok. Biar acaranya cepet mulai juga.”

Nggak, ah. Di Salman aja. Lebih enak di Salman sholatnya, lebih khusyuk,” lagi-lagi Irsyad yang berbicara.

Akhirnya beberapa dari kami berpisah. Empat temanku Imel, Sonita, Inggrid, dan Jontor (nama aslinya Joseph Pintor) yang memang non muslim berbelok ke kanan, juga Firqi yang menjadi panitia pemilihan ketua angkatan SAPPK 2017. Mau tak mau, ia memang harus sudah berada di lokasi sebelum teman-teman yang lain bermunculan. Jadilah aku, Titi, Irsyad, Hanafi, Hafidz (yang kebetulan ketemu di jalan, maklum tidak sekelas), Zufar, Syafrul, Yoda, dan Juangga berjalan menuju masjid seberang kampus ITB tersebut.

“Lebih baik telat datang orasi, daripada telat sholat,” ujar salah satu dari kami. Dan kami menjawabnya, “Masyaallah!”

Orasi calon ketua angkatan pun berlangsung (lagi-lagi) hingga beberapa menit sebelum maghrib. Ketiga calon–Haikal, Mayong, dan Guntur telah memaparkan visi dan misi mereka bila terpilih menjadi ketua angkatan SAPPK 2017.

Aku dan Titi berjalan menuju Salman kembali. Ditemani Sonita, Inggrid, Bella, Hanafi, Yoda, Yoga, Juangga, dan Andre. “Lah, si Irsyad sama Firqi kemana?” tanya Hanafi.

“Duluan kayaknya,” jawabku. “Hafidz mana?” kali ini aku yang bertanya.

“Dia kabur duluan tau, sama Tamam,” jawab Hanafi. Oh iya. Hanafi merupakan teman satu daerah dengan Tamam, dari Bojonegoro. Aku lupa mereka satu SMP atau bukan.

Di tengah perjalanan menuju Salman, Sonita berkata, “Eh, laper tau. Makan, yuk!” ajaknya.

“Iya nih, laper.”

“Mau makan, gak?” Sonita menyenggol bahuku.

“Buka puasa dulu,” jawabku.

“Bentar lagi, kan?” ucap Inggrid sambil melirik jam tangannya. Aku mengangguk.

Beberapa langkah sebelum keluar gerbang ITB, adzan maghrib berkumandang. Untungnya aku membawa minum. Biasa lah, mengisi di Salman. Jadi aku sempat berbuka dengan beberapa teguk air.

Di gerbang samping Masjid Salman, Sonita berhenti. “Duh, gua beneran laper, dah,” katanya.

“Ya sudah, makan aja sana,” ucapku.

“Ya udah, makan yuk!” celetuk Yoga.

Lah bukannya lo harus sholat dulu?” tanya Inggrid pada Yoga. Aku terkikik. “Sholat dulu Mas-Mas yang muslim,” candaku. Lantas aku tersenyum. Dalam hati, entah mengapa aku bersyukur. Aku berterima kasih padaMu ya Allah telah membantu mengingatkan temanku untuk memenuhi panggilan adzan-Mu, bahkan lewat seorang non muslim sekalipun.

Aku dan Titi berjalan di selasar masjid, tanpa sengaja bertemu Irsyad yang baru saja keluar dari kantin Salman, memegang botol air mineral.

“Udah buka puasa?” tanyanya.

“Udah, kok,” jawabku. Sesaat kemudian, aku berpikir. Lah darimana dia tau aku puasa? Ah sudahlah.

Kemudian aku dan Titi melaksanakan sholat maghrib, dan dilanjutkan makan pecel lele bersama Sonita, Yoga, Kevin, dan Andre.

***

Mengapa aku menceritakan ini?

Dalam dua hari terakhir, aku mendapatkan banyak pelajaran. Aku bersyukur mempunyai teman dekat yang sepulang kuliah / sehabis kelas mengajakku ke Salman dan selalu berusaha melaksanakan sholat di awal waktu. Memang kebanyakan dari mereka merupakan laki-laki, karena tiga dari empat teman perempuan terdekatku di kelas merupakan non muslim.

Yang muslimah dan rajin ke Salman tentu saja ada, namun biasanya mereka pergi duluan, hingga aku tidak lagi melihat batang hidungnya. Teman-teman dekatku, para akhwat penghuni Masjid Salman rata-rata tidak sekelas, sehingga sulit untuk ke Salman bersma.

Satu hal lagi. Teguran dan kasih sayang Allah itu berbagai macam bentuknya. Bahkan seorang non muslim sekalipun dapat menjadi jalan dari Allah agar kita tidak melalaikan kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Smoga Allah merahmati kalian. Aamiin.

You May Also Like

0 comments