­

Malam Minggu Merindu

by - October 27, 2017

Sabtu, 14 Oktober 2017

Sekumpulan bocah SD duduk melingkar di hadapanku, bersiap mendengarkan cerita–atau apapun–yang akan keluar dari mulutku. Aku tidak bercerita banyak seperti minggu sebelumnya, hanya menjelskan sedikit tentang kisah salah satu nabi dan dilanjutkan dengan mengaji.

Untuk beberapa kali, kuhabiskan malam mingguku di Masjid Al-Iman, mengajar mengaji dan bermain bersama anak-anak yang haus akan ilmu. Masjid Al-Iman terletak di dekat Rusa 1, sekitar 250 m dari rumahku, Rusa 3.

Anak-anak dari TK-SD yang berjumlah hampir 20 orang bergantian menyetorkan Iqro’nya di depanku. Ada yang Iqro’ 1, Iqro’ 2, bahkan Alquran. Tenang saja, aku tidak sendiri. Aku dibantu Mimi, Nahdia, dan Avila untuk menghadapi anak-anak yang terkadang tidak mau diam. Dan tentu saja dibantu juga oleh pengelola inti TPA Al-Iman, anggota Rusa 1, Ivan dan kawan-kawan. Hari ini yang terlihat mengajar adalah Ivan, Sajid, dan Fikri.

Aku mendengarkan bacaan Desinta, Veni, dan satu lagi aku lupa namanya. Mereka masih kelas 1 dan 2, dan masih Iqro’ 1 dan 2. Aku membenarkan bacaan mereka yang salah, walau aku sendiri masih belajar tahsin lagi. Setelah selesai, aku mengobrol dan cerita sedikit ke mereka, sebelum kubiarkan mereka bermain dengan yang lain.

Aku menengok Ivan yang duduk di dekat mimbar masjid. Ia dikelilingi oleh tiga anak, dua diantaranya sudah SMP, dan satu lagi masih kecil. Aku mendengar Ivan mengajarkan titik tiga pada awal surah Al-Baqarah dan mengajarkan mad-mad lainnya. Kemudian aku teringat. Minggu sebelumnya, ia mengajarkan langgam kepada salah satu anak kelas 5 SD, Kisa.

Tiiit, tiiit, tiiit. Suara penanda datangnya waktu isya telah berbunyi. Kegiatan belajar dan mengajar dihentikan sementara. Fikri maju ke dekat mimbar, memegang mikrofon, dan melantunkan adzan isya dengan merdunya. Oh ya. Bagi yang belum tahu, Fikri ini qari’nya Rusa Muda Angkatan 2 lho, hehe.

Orang-orang mulai berdatangan. Terutama bapak-bapak, juga anak Rusa 1 lain yang tidak kebagian jadwal mengajar hari itu. Ada Rifqi, Iqbal, dan Bagus. Satu pertanyaan muncul dalam benakku. Siapa yang bakal jadi imam, ya?

Iqomah dikumandangkan, dan seorang Abdullah Ivan Farrahan maju ke arah tempat imam sholat. “Sawwuu shufuufakum. Rapat dan luruskan shaf kalian, karena rapinya barisan merupakan bagian dari kesempurnaan sholat,” katanya.

“Allaahu akbar.

Ivan mengimami sholat Isya kali ini. Dan aku ingat, malam minggu lalu ia juga jadi imam sholat Isya. Aku kembali mendengar ia membacakan surah Al-Fatihah dan beberapa surah dalam Alquran.

Dalam sujudku, aku merindu. Rindu suara imam-imam Insan Cendekia yang sering kutunggu. Ada yang selalu baja surah juz 28, Al-Kahfi halaman terakhir, hingga ahlinya surah Al-Waqi’ah. Haris, Zhofir, Mafaz, Ridho, Iva, Ziyad, Yusqi, Jiul, dan Fitra, para imam Axiora yang selalu menemani sekali semingu. Juga imam-imam lain yang bermunculan saat masa Ujian Nasional dahulu. Para imam yang bersuara merdu, yang membuat sholat insyaallah khusyuk.

Setelah salam, aku sedikit merenung. Setiap hari aku sholat di Salman, dan tentu saja diimami oleh para imam Salman anak kuliahan. Suaranya pun tak kalah menyejukkan. Namun tetap saja, rasanya berbeda. Tiga tahun mendengar suara yang sama, yang selalu mengisi hari-hari di Insan Cendekia.

Aku ingat. Aku sampai hafal jadwal imam teman-temanku. Tidak penting sih memang, namun terkadang menjadi penyemangat sendiri datang ke masjid (astaghfirullah, hehehe). Sampai hafal mana yang kilat, mana yang bikin mata berat.

Oh ya. Sudah hampir berapa bulan aku dan kau terpisah? Ah, lima bulan ya. Berarti sudah lima bulan aku tak mendengar suaramu menjadi imam. Apalagi saat melantunkan ayat suci Alquran. Duh, aku rindu.

You May Also Like

0 comments