Malam Minggu Merindu
Sabtu,
14 Oktober 2017
Sekumpulan
bocah SD duduk melingkar di hadapanku, bersiap mendengarkan cerita–atau apapun–yang
akan keluar dari mulutku. Aku tidak bercerita banyak seperti minggu sebelumnya,
hanya menjelskan sedikit tentang kisah salah satu nabi dan dilanjutkan dengan
mengaji.
Untuk
beberapa kali, kuhabiskan malam mingguku di Masjid Al-Iman, mengajar mengaji
dan bermain bersama anak-anak yang haus akan ilmu. Masjid Al-Iman terletak di
dekat Rusa 1, sekitar 250 m dari rumahku, Rusa 3.
Anak-anak
dari TK-SD yang berjumlah hampir 20 orang bergantian menyetorkan Iqro’nya di
depanku. Ada yang Iqro’ 1, Iqro’ 2, bahkan Alquran. Tenang saja, aku tidak
sendiri. Aku dibantu Mimi, Nahdia, dan Avila untuk menghadapi anak-anak yang
terkadang tidak mau diam. Dan tentu saja dibantu juga oleh pengelola inti TPA
Al-Iman, anggota Rusa 1, Ivan dan kawan-kawan. Hari ini yang terlihat mengajar adalah
Ivan, Sajid, dan Fikri.
Aku
mendengarkan bacaan Desinta, Veni, dan satu lagi aku lupa namanya. Mereka
masih kelas 1 dan 2, dan masih Iqro’ 1 dan 2. Aku membenarkan bacaan mereka
yang salah, walau aku sendiri masih belajar tahsin lagi. Setelah selesai, aku
mengobrol dan cerita sedikit ke mereka, sebelum kubiarkan mereka bermain dengan
yang lain.
Aku
menengok Ivan yang duduk di dekat mimbar masjid. Ia dikelilingi oleh tiga anak,
dua diantaranya sudah SMP, dan satu lagi masih kecil. Aku mendengar Ivan
mengajarkan titik tiga pada awal surah Al-Baqarah dan mengajarkan mad-mad
lainnya. Kemudian aku teringat. Minggu sebelumnya, ia mengajarkan langgam
kepada salah satu anak kelas 5 SD, Kisa.
Tiiit,
tiiit, tiiit. Suara
penanda datangnya waktu isya telah berbunyi. Kegiatan belajar dan mengajar
dihentikan sementara. Fikri maju ke dekat mimbar, memegang mikrofon, dan
melantunkan adzan isya dengan merdunya. Oh ya. Bagi yang belum tahu, Fikri ini qari’nya
Rusa Muda Angkatan 2 lho, hehe.
Orang-orang
mulai berdatangan. Terutama bapak-bapak, juga anak Rusa 1 lain yang tidak
kebagian jadwal mengajar hari itu. Ada Rifqi, Iqbal, dan Bagus. Satu pertanyaan
muncul dalam benakku. Siapa yang bakal jadi imam, ya?
Iqomah
dikumandangkan, dan seorang Abdullah Ivan Farrahan maju ke arah tempat imam
sholat. “Sawwuu shufuufakum. Rapat dan luruskan shaf kalian,
karena rapinya barisan merupakan bagian dari kesempurnaan sholat,” katanya.
“Allaahu
akbar.”
Ivan
mengimami sholat Isya kali ini. Dan aku ingat, malam minggu lalu ia juga jadi
imam sholat Isya. Aku kembali mendengar ia membacakan surah Al-Fatihah dan
beberapa surah dalam Alquran.
Dalam
sujudku, aku merindu. Rindu suara imam-imam Insan Cendekia yang sering kutunggu.
Ada yang selalu baja surah juz 28, Al-Kahfi halaman terakhir, hingga ahlinya
surah Al-Waqi’ah. Haris, Zhofir, Mafaz, Ridho, Iva, Ziyad, Yusqi, Jiul, dan
Fitra, para imam Axiora yang selalu menemani sekali semingu. Juga imam-imam
lain yang bermunculan saat masa Ujian Nasional dahulu. Para imam yang bersuara
merdu, yang membuat sholat insyaallah khusyuk.
Setelah
salam, aku sedikit merenung. Setiap hari aku sholat di Salman, dan tentu saja
diimami oleh para imam Salman anak kuliahan. Suaranya pun tak kalah menyejukkan.
Namun tetap saja, rasanya berbeda. Tiga tahun mendengar suara yang sama, yang
selalu mengisi hari-hari di Insan Cendekia.
Aku ingat.
Aku sampai hafal jadwal imam teman-temanku. Tidak penting sih memang,
namun terkadang menjadi penyemangat sendiri datang ke masjid (astaghfirullah,
hehehe). Sampai hafal mana yang kilat, mana yang bikin mata berat.
Oh ya. Sudah
hampir berapa bulan aku dan kau terpisah? Ah, lima bulan ya. Berarti sudah lima
bulan aku tak mendengar suaramu menjadi imam. Apalagi saat melantunkan ayat
suci Alquran. Duh, aku rindu.
0 comments