Berawal dari Sekre P3RI
Berawal dari sekre P3RI,
Menjadi tempat tepat menaruh barang pribadi
Ramadan masih
beberapa minggu lagi. Praktikum studio komputasi dimulai pukul 11.30. Tak ada
tanda-tanda akan asistensi, aku berjalan menuju Masjid Salman ITB, dan mampir
ke ruang sekretariat P3RI 1440 H. Hari itu, pertama kali aku berkunjung ke
sekre. Aku tidak tahu dimana kunci sekre bagian akhwat berada. Aku bertanya di
grup Line, namun tidak ada yang menjawab. Ya sudahlah.
Aku duduk
di sofa depan ruang sekre akhwat sambil melanjutkan mengerjakan tugas studio
komputasi yang tidak lama lagi dikumpulkan. Jam 11, dua orang, Shofi dan Sakina
datang. Mereka heran mengapa aku tidak masuk ke dalam. Kujawab, aku tak tahu dimana
kunci sekre disimpan. Sakina menunjukkan tempat menyimpan kunci, dan aku
berteriak oooooh disitu!
Jadilah beberapa
menit aku merasakan hawa ruang dalam sekre P3RI. Tak lama, karena aku harus
kembali ke gedung arsitektur untuk praktikum. 11.20, kusimpan tas dan laptopku
di dalam sekre, dan pergi menuju kampus. Aku menitip pesan kepada Shofi dan
Sakina, bahwa aku akan kembali pukul dua siang. Berawal dari situlah, aku
semakin sering berkunjung ke sekre P3RI. Hanya untuk sekadar duduk, makan,
bahkan mengerjakan tugas!
Berawal dari sekre P3RI,
Menjadi tempat melepas lelah – terkadang tak tahu
diri
Ujian akhir
semester mulai berdatangan. Satu hal yang menyenangkan dari minggu ujian hanyalah:
tidak ada lagi kegiatan belajar hingga jam lima sore! Waktu selesai ujian
rata-rata jam 12 siang. Hampir setiap selesai ujian, aku mampir ke sekre. Menaruh
tas, kemudian tidur-tiduran. Biasanya terdapat bantal di pojokkan (jangan pernah tanya itu bantal siapa).
Kulihat beberapa anak sedang membungkus kurma. Kukatakan pada mereka, “Eh, aku
bantu bungkus kurmanya nanti ya, aku mau tidur dulu.”
Dasar
Nadhira, malah enak tidur di tengah pekerjaan orang lain.
Berawal dari sekre P3RI
Perjalanan Ramadanku pun dimulai.
***
Di dalam sekre P3RI,
Tidak pernah padam lantunan suara membacakan ayat
suci
Dimulai 1
Ramadan, rutinitasku sore hari adalah pergi ke Salman dan mendokumentasi acara
Irama (Inspirasi Ramadan), yaitu talk
show dengan mengundang pembicara-pembicara hebat dalam berbagai bidang. Sebelum
melaksanakan tugasku, seperti biasa aku menaruh tas dan peralatan kameraku di
sekre. Melangkahkan kaki ke sekre, selalu terdengar suara orang mengaji dari
dalam. Bukan hanya satu atau dua orang, melainkan hampir setiap orang yang
sedang berada di sekre tidak lepas dari Alqurannya. Baik ikhwan maupun akhwat,
baik sekre bagian luar, dalam, atau ruangan BO di lantai atas.
Usai
bertugas, sembari menunggu waktu berbuka, aku menyempatkan diri mengaji di
dalam sekre. Malu rasanya bila hanya duduk di dalam sekre tanpa melakukan apa-apa.
Suara syahdu
orang-orang membaca kalam Ilahi tidak hanya terdengar saat sore hari. Sehabis
maghrib, beberapa orang yang belum mau makan malam, menyibukkan diri dengan
mengaji. Pun jika aku kembali setelah tarawih. Yang tidak sholat dan bertugas
menjaga sekre menghabiskan waktu dengan mengaji. Tak ada perasaan lebih tenang daripada
ikut mendengarkan ayat-ayat suci yang tengah dibacakan.
Di dalam sekre P3RI,
Kebersamaan, persahabatan, dan kekeluargaan perlahan
terjadi
Salah satu
yang kusuka dari kepanitiaan di Salman adalah aku dapat bertemu teman-teman
lintas angkatan, lintas universitas, bahkan lintas jenjang pendidikan. Saat-saat
membungkus kurma sebelum Ramadan, banyak mahasiswa TPB datang membantu. Teman-teman
satu angkatan yang mungkin belum kukenal, dipertemukan di dalam sekre P3RI.
Atau mahasiswa universitas lain seperti UPI dan UIN juga banyak kutemukan.
Bahkan, tak jarang aku bertemu panitia yang masih mengenakan seragam SMA dan
baru saja lulus. Baru kusadari setelahnya, salah satu dari mereka pernah menjadi
peserta mata acara P3RI tahun-tahun sebelumnya.
Aku kenal
P3RI (dulu program Ramadan dan Idul Adha
dipisah) sebelum aku diterima di ITB. Menjadi peserta PPA (Para Penghafal
Qur’an) tahun 2017 (1438 H.), aku berkenalan dengan kakak-kakak tingkat
mahasiswa ITB dan teman-teman seperjuangan PPA. Aku ingat, saat itu hari pengumuman
jurusan mahasiswa TPB ITB. Aku bertanya kepada kakak-kakak panitia tentang
jurusan yang mereka dapatkan, sekaligus bercerita bahwa aku mendaftar ke ITB
dalam pilihan SBMPTN-ku. Dua hari setelah program PPA habis dan pengumuman SBMPTN
keluar, aku berazam, tahun-tahun yang akan datang, aku akan membantu program
P3RI ini.
Di dalam sekre P3RI,
Bahagia itu sederhana, hanya dengan gorengan
menjadi saksi
Tidak
perlu mahal untuk berbuka puasa dengan nikmat. Cukup kebersamaan yang membuat kurma
dan teh manis hangat menjadi lebih lezat. Mungkin, sedikit tambahan gorengan
akan membuat buka puasa menjadi lebih dahsyat.
Terdapat
kotak infak buka puasa yang selalu diedarkan setiap sore untuk dibelikan
gorengan. Menjelang maghrib, dua bungkus gorengan sudah tersedia di dalam
sekre. Panitia yang sedang berada di sekitar Salman (jika tidak bertugas) diajak
berbuka di dalam sekre, menyantap hidangan berbuka dan berebutan mengambil sang
gorengan favorit, cireng.
Menghabiskan waktu di P3RI,
Aku menemukan banyak orang yang kukagumi
Dibalik
kekonyolan teman-temanku, terdapat banyak orang-orang hebat dan berdedikasi di dalamnya.
Ada ketua P3RI yang kelihatannya gabut padahal sibuk di belakang dengan orang-orang
besar, ada yang sukarela jika uangnya dipakai tidak minta ganti ke bendahara, ada
juga yang jauh-jauh dari Tangerang hanya untuk membantu P3RI sambil menunggu
hasil UTBK 2019.
Tak hanya itu. Aku menemukan militan logistik yang selalu bertanya, “Ada kerjaan gak? Gabut nih,” padahal aku jarang melihatnya bersantai dalam sekre. Bahkan, sang militan logistik menjadi super korlap yang selalu mengecek ketersediaan kencleng, dokumentasi, hingga mengecek apakah gelas sudah dicuci atau belum. Dalam perjalanannya kembali ke kampung halaman, ia masih saja menjadi super korlap–online.
Belum lagi
para pejuang itikaf, yang siap berjaga sepanjang malam demi keamanan para
jamaah itikaf. Dari pagi melayani pendaftaran dan kebutuhan peminjaman barang,
memastikan pembagian konsumsi berbuka dan sahur berjalan lancar, hingga
mencarikan barang-barang yang dibutuhkan jamaah secara tiba-tiba.
Dedikasi
teman-temanku tidak hanya berlaku ketika masih berada di Salman. Dari kampung
halaman pun mereka masih mengatur presensi kehadiran untuk memastikan jumlah
konsumsi panitia, juga memastikan sumber daya yang cukup untuk kelancaran
kegiatan Ramadan di Salman.
Menghabiskan waktu di P3RI,
Selalu ada ibadah untuk setiap waktu yang dilewati
Saat itu sudah
lewat tengah malam. Aku berjalan turun dari Gedung Serba Guna Masjid Salman ITB
melewati pintu belakang, sambil membawa dua kotak martabak. Di waktu jaga malam
itikaf, aku mempunyai tugas khusus. Membagikan konsumsi kepada panitia yang
sedang berjaga. Aku bolak balik koridor timur-balkon-GSG untuk memberikan
sedikit energi kepada teman-teman yang berjaga lewat makanan yang kuberikan.
Aku
melihat satu temanku sedang duduk dan menunggu galon penuh di tempat pengisian
air. Banyak galon yang harus diisi dan tersedia sebelum waktu sahur datang.
Sembari menunggu, kudapati ia sedang membuka mushaf Alqurannya, mengaji. Aku
tertegun. Selalu ada waktu dan tempat untuk beribadah, sesibuk apapun. Aku
melewatinya, dan kemudian naik ke koridor timur dan melihat semakin banyak temanku
yang terbangun dan berjaga malam, tengah mengaji. Aku memanggil mereka satu
persatu, membagikan martabak, dan kembali berkeliling.
Usai
berkeliling, dan martabak yang masih menyisakan dua potong, aku kembali kepada
temanku yang masih setia mengisi galon. Kutawarkan padanya martabak. Seketika bersinar
wajahnya menerima sepotong kecil makanan dariku. Ia tersenyum, berterima kasih.
Dan satu potong lainnya kuberikan kepada teman lain yang berjaga di selasar
Masjid Salman – lagi-lagi tengah mengaji. Hatiku berbunga sekali, melihat
teman-temanku bahagia walau hanya karena sepotong makanan.
Menghabiskan waktu di P3RI,
Aku bahkan tak begitu bersedih – tim kesayanganku
baru saja kalah melawan Chelsea!
Malam
sebelum aku pulang ke kampung halaman. Hampir semua temanku mengetahui klub sepakbola
kesayanganku, dan bersiap menyaksikan final Liga Europa 2019. Tidak ada nonton
bersama, yang ada hanyalah malam-malam itikaf seperti biasa – jaga malam,
mengisi galon, membangunkan qiyamullail,
mencuci gelas, dan membagikan sahur.
Arsenal kalah, dan teman-temanku meledekku. Aku sedih, tentu saja. Namun, kesedihan itu berkurang, lantaran teman-teman yang menghabisiku malah membuatku tertawa. Usai subuh, aku berjalan melewati selasar Masjid Salman, menenteng kamera untuk mendokumentasi kegiatan. Tiba-tiba, satu temanku menyapaku, sambil berkata. “Nadhira, innallaaha ma’as shoobiriin.” Sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Bagaimana aku tidak tersenyum dan terenyuh. Seusai kekalahan Arsenal, temanku menghiburku dengan ayat Alquran.
Kisah kekalahan
Arsenal ini masih panjang, dan biarkan aku bercerita dalam satu halaman
tersendiri.
Menghabiskan waktu di P3RI,
Selalu ada 1001 kisah dalam 1001 malam yang dilalui
Dan berjuta hikmah yang selalu menghampiri
Membuat bulan Ramadanku memiliki arti
0 comments