­

Berawal dari Sekre P3RI

by - June 04, 2019



Berawal dari sekre P3RI,
Menjadi tempat tepat menaruh barang pribadi

Ramadan masih beberapa minggu lagi. Praktikum studio komputasi dimulai pukul 11.30. Tak ada tanda-tanda akan asistensi, aku berjalan menuju Masjid Salman ITB, dan mampir ke ruang sekretariat P3RI 1440 H. Hari itu, pertama kali aku berkunjung ke sekre. Aku tidak tahu dimana kunci sekre bagian akhwat berada. Aku bertanya di grup Line, namun tidak ada yang menjawab. Ya sudahlah.

Aku duduk di sofa depan ruang sekre akhwat sambil melanjutkan mengerjakan tugas studio komputasi yang tidak lama lagi dikumpulkan. Jam 11, dua orang, Shofi dan Sakina datang. Mereka heran mengapa aku tidak masuk ke dalam. Kujawab, aku tak tahu dimana kunci sekre disimpan. Sakina menunjukkan tempat menyimpan kunci, dan aku berteriak oooooh disitu!

Jadilah beberapa menit aku merasakan hawa ruang dalam sekre P3RI. Tak lama, karena aku harus kembali ke gedung arsitektur untuk praktikum. 11.20, kusimpan tas dan laptopku di dalam sekre, dan pergi menuju kampus. Aku menitip pesan kepada Shofi dan Sakina, bahwa aku akan kembali pukul dua siang. Berawal dari situlah, aku semakin sering berkunjung ke sekre P3RI. Hanya untuk sekadar duduk, makan, bahkan mengerjakan tugas!

Berawal dari sekre P3RI,
Menjadi tempat melepas lelah – terkadang tak tahu diri

Ujian akhir semester mulai berdatangan. Satu hal yang menyenangkan dari minggu ujian hanyalah: tidak ada lagi kegiatan belajar hingga jam lima sore! Waktu selesai ujian rata-rata jam 12 siang. Hampir setiap selesai ujian, aku mampir ke sekre. Menaruh tas, kemudian tidur-tiduran. Biasanya terdapat bantal di pojokkan (jangan pernah tanya itu bantal siapa). Kulihat beberapa anak sedang membungkus kurma. Kukatakan pada mereka, “Eh, aku bantu bungkus kurmanya nanti ya, aku mau tidur dulu.”

Dasar Nadhira, malah enak tidur di tengah pekerjaan orang lain.

Berawal dari sekre P3RI
Perjalanan Ramadanku pun dimulai.

***

Di dalam sekre P3RI,
Tidak pernah padam lantunan suara membacakan ayat suci

Dimulai 1 Ramadan, rutinitasku sore hari adalah pergi ke Salman dan mendokumentasi acara Irama (Inspirasi Ramadan), yaitu talk show dengan mengundang pembicara-pembicara hebat dalam berbagai bidang. Sebelum melaksanakan tugasku, seperti biasa aku menaruh tas dan peralatan kameraku di sekre. Melangkahkan kaki ke sekre, selalu terdengar suara orang mengaji dari dalam. Bukan hanya satu atau dua orang, melainkan hampir setiap orang yang sedang berada di sekre tidak lepas dari Alqurannya. Baik ikhwan maupun akhwat, baik sekre bagian luar, dalam, atau ruangan BO di lantai atas.

Usai bertugas, sembari menunggu waktu berbuka, aku menyempatkan diri mengaji di dalam sekre. Malu rasanya bila hanya duduk di dalam sekre tanpa melakukan apa-apa.

Suara syahdu orang-orang membaca kalam Ilahi tidak hanya terdengar saat sore hari. Sehabis maghrib, beberapa orang yang belum mau makan malam, menyibukkan diri dengan mengaji. Pun jika aku kembali setelah tarawih. Yang tidak sholat dan bertugas menjaga sekre menghabiskan waktu dengan mengaji. Tak ada perasaan lebih tenang daripada ikut mendengarkan ayat-ayat suci yang tengah dibacakan.

Di dalam sekre P3RI,
Kebersamaan, persahabatan, dan kekeluargaan perlahan terjadi

Salah satu yang kusuka dari kepanitiaan di Salman adalah aku dapat bertemu teman-teman lintas angkatan, lintas universitas, bahkan lintas jenjang pendidikan. Saat-saat membungkus kurma sebelum Ramadan, banyak mahasiswa TPB datang membantu. Teman-teman satu angkatan yang mungkin belum kukenal, dipertemukan di dalam sekre P3RI. Atau mahasiswa universitas lain seperti UPI dan UIN juga banyak kutemukan. Bahkan, tak jarang aku bertemu panitia yang masih mengenakan seragam SMA dan baru saja lulus. Baru kusadari setelahnya, salah satu dari mereka pernah menjadi peserta mata acara P3RI tahun-tahun sebelumnya.

Aku kenal P3RI (dulu program Ramadan dan Idul Adha dipisah) sebelum aku diterima di ITB. Menjadi peserta PPA (Para Penghafal Qur’an) tahun 2017 (1438 H.), aku berkenalan dengan kakak-kakak tingkat mahasiswa ITB dan teman-teman seperjuangan PPA. Aku ingat, saat itu hari pengumuman jurusan mahasiswa TPB ITB. Aku bertanya kepada kakak-kakak panitia tentang jurusan yang mereka dapatkan, sekaligus bercerita bahwa aku mendaftar ke ITB dalam pilihan SBMPTN-ku. Dua hari setelah program PPA habis dan pengumuman SBMPTN keluar, aku berazam, tahun-tahun yang akan datang, aku akan membantu program P3RI ini.

Di dalam sekre P3RI,
Bahagia itu sederhana, hanya dengan gorengan menjadi saksi

Tidak perlu mahal untuk berbuka puasa dengan nikmat. Cukup kebersamaan yang membuat kurma dan teh manis hangat menjadi lebih lezat. Mungkin, sedikit tambahan gorengan akan membuat buka puasa menjadi lebih dahsyat.

Terdapat kotak infak buka puasa yang selalu diedarkan setiap sore untuk dibelikan gorengan. Menjelang maghrib, dua bungkus gorengan sudah tersedia di dalam sekre. Panitia yang sedang berada di sekitar Salman (jika tidak bertugas) diajak berbuka di dalam sekre, menyantap hidangan berbuka dan berebutan mengambil sang gorengan favorit, cireng.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Aku menemukan banyak orang yang kukagumi

Dibalik kekonyolan teman-temanku, terdapat banyak orang-orang hebat dan berdedikasi di dalamnya. Ada ketua P3RI yang kelihatannya gabut padahal sibuk di belakang dengan orang-orang besar, ada yang sukarela jika uangnya dipakai tidak minta ganti ke bendahara, ada juga yang jauh-jauh dari Tangerang hanya untuk membantu P3RI sambil menunggu hasil UTBK 2019.

Tak hanya itu. Aku menemukan militan logistik yang selalu bertanya, “Ada kerjaan gak? Gabut nih,” padahal aku jarang melihatnya bersantai dalam sekre. Bahkan, sang militan logistik menjadi super korlap yang selalu mengecek ketersediaan kencleng, dokumentasi, hingga mengecek apakah gelas sudah dicuci atau belum. Dalam perjalanannya kembali ke kampung halaman, ia masih saja menjadi super korlap–online.

Belum lagi para pejuang itikaf, yang siap berjaga sepanjang malam demi keamanan para jamaah itikaf. Dari pagi melayani pendaftaran dan kebutuhan peminjaman barang, memastikan pembagian konsumsi berbuka dan sahur berjalan lancar, hingga mencarikan barang-barang yang dibutuhkan jamaah secara tiba-tiba.

Dedikasi teman-temanku tidak hanya berlaku ketika masih berada di Salman. Dari kampung halaman pun mereka masih mengatur presensi kehadiran untuk memastikan jumlah konsumsi panitia, juga memastikan sumber daya yang cukup untuk kelancaran kegiatan Ramadan di Salman.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Selalu ada ibadah untuk setiap waktu yang dilewati

Saat itu sudah lewat tengah malam. Aku berjalan turun dari Gedung Serba Guna Masjid Salman ITB melewati pintu belakang, sambil membawa dua kotak martabak. Di waktu jaga malam itikaf, aku mempunyai tugas khusus. Membagikan konsumsi kepada panitia yang sedang berjaga. Aku bolak balik koridor timur-balkon-GSG untuk memberikan sedikit energi kepada teman-teman yang berjaga lewat makanan yang kuberikan.

Aku melihat satu temanku sedang duduk dan menunggu galon penuh di tempat pengisian air. Banyak galon yang harus diisi dan tersedia sebelum waktu sahur datang. Sembari menunggu, kudapati ia sedang membuka mushaf Alqurannya, mengaji. Aku tertegun. Selalu ada waktu dan tempat untuk beribadah, sesibuk apapun. Aku melewatinya, dan kemudian naik ke koridor timur dan melihat semakin banyak temanku yang terbangun dan berjaga malam, tengah mengaji. Aku memanggil mereka satu persatu, membagikan martabak, dan kembali berkeliling.

Usai berkeliling, dan martabak yang masih menyisakan dua potong, aku kembali kepada temanku yang masih setia mengisi galon. Kutawarkan padanya martabak. Seketika bersinar wajahnya menerima sepotong kecil makanan dariku. Ia tersenyum, berterima kasih. Dan satu potong lainnya kuberikan kepada teman lain yang berjaga di selasar Masjid Salman – lagi-lagi tengah mengaji. Hatiku berbunga sekali, melihat teman-temanku bahagia walau hanya karena sepotong makanan.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Aku bahkan tak begitu bersedih – tim kesayanganku baru saja kalah melawan Chelsea!

Malam sebelum aku pulang ke kampung halaman. Hampir semua temanku mengetahui klub sepakbola kesayanganku, dan bersiap menyaksikan final Liga Europa 2019. Tidak ada nonton bersama, yang ada hanyalah malam-malam itikaf seperti biasa – jaga malam, mengisi galon, membangunkan qiyamullail, mencuci gelas, dan membagikan sahur.

Arsenal kalah, dan teman-temanku meledekku. Aku sedih, tentu saja. Namun, kesedihan itu berkurang, lantaran teman-teman yang menghabisiku malah membuatku tertawa. Usai subuh, aku berjalan melewati selasar Masjid Salman, menenteng kamera untuk mendokumentasi kegiatan. Tiba-tiba, satu temanku menyapaku, sambil berkata. “Nadhira, innallaaha ma’as shoobiriin.” Sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Bagaimana aku tidak tersenyum dan terenyuh. Seusai kekalahan Arsenal, temanku menghiburku dengan ayat Alquran.

Kisah kekalahan Arsenal ini masih panjang, dan biarkan aku bercerita dalam satu halaman tersendiri.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Selalu ada 1001 kisah dalam 1001 malam yang dilalui
Dan berjuta hikmah yang selalu menghampiri
Membuat bulan Ramadanku memiliki arti

You May Also Like

0 comments