­

4-1 di 40 (bagian 1)

by - June 26, 2019

Malam itu, malam ke-25 bulan Ramadan. Pukul satu dini hari, aku berjalan melewati selasar Masjid Salman ITB, mendekapkan selimut ke tubuhku dengan erat, ketika aku mendengar suara berisik orang-orang berbicara dan berusaha mencari sumbernya. Rupanya teman-temanku, tengah berbincang dan bercanda sambil mencuci gelas di bawah selasar. Aku menghampiri, dan melihat dari atas. Belum ada yang menyadari keberadaanku. Mungkin karena aku tertutupi selimut.

Lho, si Mbok toh,” seru salah satu temanku. Aku tertawa. Akhirnya mereka sadar juga. “Kukira jamaah lho,” lanjutnya.

Salah satu yang sedang membilas gelas-gelas yang telah diberi sabun, Risyam, tiba-tiba menceletuk. “Eh Nad, hari ini ya, Arsenal vs Chelsea,” Aku mengiyakan. “Ayuk nobar!” kata temanku yang lain, Fadhil. Halah, wacana, batinku dalam hati.

Aku meninggalkan para pasukan cuci gelas dan menaiki tangga ke arah koridor timur. Martabak asin sedang kutenteng, dan seperti malam-malam sebelumnya, aku berkeliling membagikan makanan kepada panitia yang sedang berjaga. Karena malam ini malam ganjil, koridor timur Masjid Salman penuh sesak orang yang sedang tidur maupun mengaji. Untuk berjalan dari sisi selatan ke utara, menghampiri salah satu panitia yang berjaga pun susah sekali.

Pukul 01.30. Suara pengumuman terdengar, bahwa sesaat lagi akan dilaksanakan sholat qiyamullail. Jamaah bangun, dan berbondong-bondong pergi menuju tempat wudhu dan toilet. Aku mengecek HP. Nama-nama strating XI Arsenal sudah keluar. Menurutku, komposisi terbaik dari skuat yang ada. Oke, aku harus optimis, walau masih meninggalkan rasa waswas di dada.

Babak pertama berakhir 0-0. Tepat saat jeda istirahat, pembagian sahur dimulai. Aku berdiri di depan kantung sampah di tangga koridor menuju tempat wudhu, membantu bagian pemilahan sampah.

Sembari menjadi pemandu pemilahan sampah, aku menonton kembali babak kedua pertandingan Arsenal vs Chelsea. Untunglah di dekat tempat sampah ada kotak infak super besar sehingga aku dapat menaruh HP-ku di sana. Temanku memotretku dan mengirimkannya ke grup Line.

Babak kedua baru berjalan beberapa menit, ditambah koneksi internet yang tidak terlalu baik, aku menyaksikan gol pembuka Chelsea yang dicetak oleh mantan punggawa Arsenal, Olivier Giroud. WHAT?! Teriakku dalam hati. Tidak mungkin aku berteriak di tengah keramaian orang-orang.

Arsenal kan memang sampah. Tiba-tiba muncul notifikasi pesan Line dari salah satu temanku, yang dikirim ke grup Line.

Firasatku mulai memburuk. Aku melihat sekeliling, dan mendapati di meja pembagian sahur, ada HP yang tergeletak di atasnya, menayangkan pertandingan bola. Aku menghampiri. “Dukung mana?” cerocosku. Seorang wanita menoleh. “Arsenal, kak,” jawabnya.

“Wah, kamu Gooners juga?” seketika aku bersemangat menemukan pendukung Arsenal lain di tengah jam tiga malam, perempuan pula. Jadilah urusan pemilahan sampah kutinggalkan sebentar (beruntung ada yang datang membantu) untuk berbincang-bincang dengan sesama pendukung Arsenal, yang kutanya namanya adalah Syifa.

Aku kembali melanjutkan membantu pemilahan sampah, sambil sekali-kali melirik HP-ku yang masih berada di atas kotak infak super besar tersebut. Berjarak 11 menit dari rasa shock gol pembuka Giroud, Chelsea menambah pundi-pundi golnya. Kali ini lewat Pedro. APA?! Aku kembali berteriak dalam hati. Konsentrasiku pecah, tak mampu lagi membantu memilah sampah. Kukatakan pada temanku yang sama-sama berjaga di bagian pemilahan sampah, “Ata, aku gak kuat. Aku mau pergi dulu, ya.” Ata, yang tahu maksud mengapa-aku-bilang-tidak-kuat, mengangguk seraya berkata, “Semangat, Dhir.”

Berjalanlah aku di tengah selasar Masjid Salman sambil menatap layar HP. Aku butuh udara segar. Masih sambil menonton, aku berjalan menyusuri jalanan setapak Salman menuju lapangan rumput bagian timur Salman, melewati gedung sekretariat P3RI, dan duduk di antara bebatuan dekat menara Masjid Salman. Koneksi internetku kembali tidak stabil. Aku mencoba me-refresh ulang halaman tempat aku menonton, dan saat koneksi internet sudah mulai membaik, APA-APAAN INI??!! KOK JADI 3-0???!!!!

WHAT THE–!!!” akhirnya aku bersuara. Tepat saat internetku bermasalah, Eden Hazard menambah keunggulan Chelsea lewat eksekusi tendangan penalti.

Aku kembali berjalan perlahan, menuju selasar Masjid Salman untuk mengambil makanan sahur milik panitia. Baru menginjak lantai selasar Salman, Alex Iwobi memunculkan sedikit harapan para pendukung Arsenal lewat golnya, tak lama setelah penalti Hazard. “AAAAAH!” aku berteriak, dan tiba-tiba saja para jamaah Masjid Salman ITB yang sedang berada di sekitar selasar menatapku. Oh tidak. Menahan rasa malu, aku langsung berlari, menaiki tangga, dan menuju ruangan panitia perempuan. Aku membuka pintu, dan segala ocehan keluar dari bibirku.

Notifikasi grup Line semakin bermunculan. Risyam si pendukung klub ayam London Utara mengirim live report pertandingan Chelsea vs Arsenal, yang membuat teman-temanku (terutama laki-laki) semakin meledekku. Aku masih bertahan menonton pertandingan ini. Baru saja rasanya aku duduk di karpet di ruangan panitia perempuan, Eden Hazard mencetak gol lagi, yang membuat Chelsea semakin meroket dengan skor 4-1. “APA??!!” lagi-lagi aku teriak. Dan teriakanku membangunkan salah satu temanku yang tengah tertidur. Ya ampun, maaf ya.

Tepat menit 80, aku menyerah, tidak mau menonton lagi. Lebih baik aku mengambil makan sahur, dan membantu keberjalanan penyelenggaraan itikaf pagi ini.

Makan sahur panitia kali ini adalah nasi dan Ayam Takol, yang sudah kuidamkan sejak seminggu terakhir bulan Ramadan. Hanif membawa bungkusan nasi ayam takol ke depan pintu ruangan panitia perempuan. Aku keluar, mengambil bungkusan tersebut, dan mengucapkan terima kasih. Satu kalimat yang Hanif lontarkan, “Sampah Arsenal, sampah!”

Bacot,” jawabku, setengah teriak. Seorang jamaah ibu-ibu tengah berjalan, seketika melihatku. Oh, berapa kali aku mempermalukan diri sendiri hari ini.

Pertandingan usai, dan skor 4-1 tidak berubah hingga peluit panjang dibunyikan. Gagal sudah klub kesayanganku membawa pulang trofi Liga Europa, dan gagal pula Arsenal menembus Liga Champions lewat jalur prestasi. Dan habis pula aku diolok-olok satu isi grup Line.

Beginilah nasib.
Waktu sudah melewati pukul 4. Aku belum mengambil makanan sahurku, walaupun sudah tersedia beberapa bungkus nasi ayam takol. Dengar-dengar jatah nasi untuk panitia kurang, makanya aku memilih agar panitia lain dulu yang mendapatkannya. Kembali aku berjalan di tengah selasar Masjid Salman, kali ini berpapasan dengan Titin. Aku mengajak Titin untuk mencari makanan sahur, ia mengiyakan, dan jadilah kami berdua jalan hendak ke luar.

Tepat saat aku berada di depan ruang sekretariat P3RI, sebuah suara memanggilku. “Mbok, mau ke mana Mbok? Sudah sahur belum?” sahutnya. Suara Iqbal rupanya. Aku berhenti, menengok ke dalam ruangan, dan menjawab, “belum.”

Iqbal menyuruhku mengambil jatah nasi ayam takol panitia laki-laki yang berlebih (bahkan ada yang tengah makan porsi keduanya) dan memberikan tempe yang disajikan di piring. Aku (sudah pasti) mengambilnya, mencomot dua butir tempe dan berterima kasih kepada para panitia laki-laki yang sedang berada di sekre. Agak mencurigakan mengapa tiba-tiba mereka jadi baik...

“Sahur yang banyak ya Mbok, biar gak sedih lagi,” ucap Iqbal saat aku berjalan keluar dari sekre.

***

Adzan subuh berkumandang. Aku wudhu kemudian mengikuti sholat subuh berjamaah di dalam Gedung Serba Guna (GSG) Masjid Salman ITB. Usai sholat, aku langsung kembali ke ruangan panitia perempuan, mengambil kamera, dan bertugas sebagai mestinya kerjaan divisiku: dokumentasi. Aku memotret beberapa foto penceramah kuliah subuh pagi ini. Setelah dirasa cukup, aku kembali berjalan melewati selasar. Aku sedang melihat foto-foto hasil jepretanku ketika seseorang menyapa, “Nadhira.”

Aku menoleh. Hafizhan rupanya. “Nadhira, innallaaha ma’as shoobiriin.” ucapnya. Aku tertegun. Jelas aku tahu maksud omongannya. Sesaat kemudian, aku tersenyum.

Lagi-lagi, kudengar suara berisik, yang kutahu pasti dari mulut pasukan pencuci gelas. Aku menuruni tangga menuju bagian samping tempat cuci gelas, melakukan pekerjaan yang belum sempat kulakukan sepanjang Ramadhan ini – memfoto kegiatan ikonis cuci gelas! Terdapat banyak orang di sana. Ada Hanif, Bayu, Fadhil, Yusril, Rudy, Fajar, Arie, juga yang baru saja datang, Hafizhan. Di tengah cahaya yang minim, aku memotret aktivitas mencuci dan membilas hampir 300 gelas milik Masjid Salman, sembari berharap ada foto yang cukup baik, tidak blur.

Aku berpindah dari posisi satu ke posisi lainnya, masih mendokumentasi kegiatan mereka. Aku duduk di tangga samping tempat cuci gelas, memotret beberapa foto kemudian melihat hasilnya.

“Heh, Dhir, kok diem aja? Gak usah terlalu sedih dong, mentang-mentang Arsenal kalah.”

Eh? Aku menengok ke arah sumber suara. Rudy, di tengah memberikan sabun pada gelas, mencerocos kepadaku. “Hah? Nggak kok,” tawaku.

(berlanjut ke bagian 2)

You May Also Like

0 comments