4-1 di 40 (bagian 1)
Malam itu,
malam ke-25 bulan Ramadan. Pukul satu dini hari, aku berjalan melewati selasar
Masjid Salman ITB, mendekapkan selimut ke tubuhku dengan erat, ketika aku
mendengar suara berisik orang-orang berbicara dan berusaha mencari sumbernya.
Rupanya teman-temanku, tengah berbincang dan bercanda sambil mencuci gelas di
bawah selasar. Aku menghampiri, dan melihat dari atas. Belum ada yang menyadari
keberadaanku. Mungkin karena aku tertutupi selimut.
“Lho, si Mbok toh,” seru salah satu
temanku. Aku tertawa. Akhirnya mereka sadar juga. “Kukira jamaah lho,” lanjutnya.
Salah satu
yang sedang membilas gelas-gelas yang telah diberi sabun, Risyam, tiba-tiba
menceletuk. “Eh Nad, hari ini ya, Arsenal vs Chelsea,” Aku mengiyakan. “Ayuk
nobar!” kata temanku yang lain, Fadhil. Halah,
wacana, batinku dalam hati.
Aku
meninggalkan para pasukan cuci gelas dan menaiki tangga ke arah koridor timur.
Martabak asin sedang kutenteng, dan seperti malam-malam sebelumnya, aku
berkeliling membagikan makanan kepada panitia yang sedang berjaga. Karena malam
ini malam ganjil, koridor timur Masjid Salman penuh sesak orang yang sedang
tidur maupun mengaji. Untuk berjalan dari sisi selatan ke utara, menghampiri
salah satu panitia yang berjaga pun susah sekali.
Pukul
01.30. Suara pengumuman terdengar, bahwa sesaat lagi akan dilaksanakan sholat qiyamullail. Jamaah bangun, dan
berbondong-bondong pergi menuju tempat wudhu dan toilet. Aku mengecek HP.
Nama-nama strating XI Arsenal sudah
keluar. Menurutku, komposisi terbaik dari skuat yang ada. Oke, aku harus
optimis, walau masih meninggalkan rasa waswas di dada.
Babak
pertama berakhir 0-0. Tepat saat jeda istirahat, pembagian sahur dimulai. Aku
berdiri di depan kantung sampah di tangga koridor menuju tempat wudhu, membantu
bagian pemilahan sampah.
Sembari
menjadi pemandu pemilahan sampah, aku menonton kembali babak kedua pertandingan
Arsenal vs Chelsea. Untunglah di dekat tempat sampah ada kotak infak super
besar sehingga aku dapat menaruh HP-ku di sana. Temanku memotretku dan mengirimkannya
ke grup Line.
Babak
kedua baru berjalan beberapa menit, ditambah koneksi internet yang tidak
terlalu baik, aku menyaksikan gol pembuka Chelsea yang dicetak oleh mantan
punggawa Arsenal, Olivier Giroud. WHAT?! Teriakku dalam hati.
Tidak mungkin aku berteriak di tengah keramaian orang-orang.
Arsenal kan memang sampah. Tiba-tiba muncul notifikasi pesan Line dari
salah satu temanku, yang dikirim ke grup Line.
Firasatku
mulai memburuk. Aku melihat sekeliling, dan mendapati di meja pembagian sahur,
ada HP yang tergeletak di atasnya, menayangkan pertandingan bola. Aku
menghampiri. “Dukung mana?” cerocosku. Seorang wanita menoleh. “Arsenal, kak,”
jawabnya.
“Wah, kamu
Gooners juga?” seketika aku bersemangat menemukan pendukung Arsenal lain di
tengah jam tiga malam, perempuan pula. Jadilah urusan pemilahan sampah
kutinggalkan sebentar (beruntung ada yang datang membantu) untuk berbincang-bincang
dengan sesama pendukung Arsenal, yang kutanya namanya adalah Syifa.
Aku
kembali melanjutkan membantu pemilahan sampah, sambil sekali-kali melirik HP-ku
yang masih berada di atas kotak infak super besar tersebut. Berjarak 11 menit
dari rasa shock gol pembuka Giroud, Chelsea menambah pundi-pundi golnya.
Kali ini lewat Pedro. APA?! Aku kembali berteriak dalam hati. Konsentrasiku
pecah, tak mampu lagi membantu memilah sampah. Kukatakan pada temanku yang
sama-sama berjaga di bagian pemilahan sampah, “Ata, aku gak kuat. Aku
mau pergi dulu, ya.” Ata, yang tahu maksud mengapa-aku-bilang-tidak-kuat,
mengangguk seraya berkata, “Semangat, Dhir.”
Berjalanlah
aku di tengah selasar Masjid Salman sambil menatap layar HP. Aku butuh udara segar.
Masih sambil menonton, aku berjalan menyusuri jalanan setapak Salman menuju
lapangan rumput bagian timur Salman, melewati gedung sekretariat P3RI, dan duduk
di antara bebatuan dekat menara Masjid Salman. Koneksi internetku kembali tidak
stabil. Aku mencoba me-refresh ulang halaman tempat aku menonton, dan
saat koneksi internet sudah mulai membaik, APA-APAAN INI??!! KOK JADI 3-0???!!!!
“WHAT
THE–!!!” akhirnya aku bersuara. Tepat saat internetku bermasalah, Eden
Hazard menambah keunggulan Chelsea lewat eksekusi tendangan penalti.
Aku
kembali berjalan perlahan, menuju selasar Masjid Salman untuk mengambil makanan
sahur milik panitia. Baru menginjak lantai selasar Salman, Alex Iwobi memunculkan
sedikit harapan para pendukung Arsenal lewat golnya, tak lama setelah penalti
Hazard. “AAAAAH!” aku berteriak, dan tiba-tiba saja para jamaah Masjid Salman
ITB yang sedang berada di sekitar selasar menatapku. Oh tidak. Menahan
rasa malu, aku langsung berlari, menaiki tangga, dan menuju ruangan panitia perempuan.
Aku membuka pintu, dan segala ocehan keluar dari bibirku.
Notifikasi
grup Line semakin bermunculan. Risyam si pendukung klub ayam London Utara mengirim
live report pertandingan Chelsea vs Arsenal, yang membuat teman-temanku (terutama
laki-laki) semakin meledekku. Aku masih bertahan menonton pertandingan ini.
Baru saja rasanya aku duduk di karpet di ruangan panitia perempuan, Eden Hazard
mencetak gol lagi, yang membuat Chelsea semakin meroket dengan skor 4-1. “APA??!!”
lagi-lagi aku teriak. Dan teriakanku membangunkan salah satu temanku yang
tengah tertidur. Ya ampun, maaf ya.
Tepat
menit 80, aku menyerah, tidak mau menonton lagi. Lebih baik aku mengambil makan
sahur, dan membantu keberjalanan penyelenggaraan itikaf pagi ini.
Makan sahur
panitia kali ini adalah nasi dan Ayam Takol, yang sudah kuidamkan sejak seminggu
terakhir bulan Ramadan. Hanif membawa bungkusan nasi ayam takol ke depan pintu
ruangan panitia perempuan. Aku keluar, mengambil bungkusan tersebut, dan mengucapkan
terima kasih. Satu kalimat yang Hanif lontarkan, “Sampah Arsenal, sampah!”
“Bacot,”
jawabku, setengah teriak. Seorang jamaah ibu-ibu tengah berjalan, seketika
melihatku. Oh, berapa kali aku mempermalukan diri sendiri hari ini.
Pertandingan
usai, dan skor 4-1 tidak berubah hingga peluit panjang dibunyikan. Gagal sudah
klub kesayanganku membawa pulang trofi Liga Europa, dan gagal pula Arsenal
menembus Liga Champions lewat jalur prestasi. Dan habis pula aku diolok-olok satu
isi grup Line.
![]() |
Beginilah nasib. |
Waktu
sudah melewati pukul 4. Aku belum mengambil makanan sahurku, walaupun sudah
tersedia beberapa bungkus nasi ayam takol. Dengar-dengar jatah nasi untuk
panitia kurang, makanya aku memilih agar panitia lain dulu yang mendapatkannya.
Kembali aku berjalan di tengah selasar Masjid Salman, kali ini berpapasan
dengan Titin. Aku mengajak Titin untuk mencari makanan sahur, ia mengiyakan,
dan jadilah kami berdua jalan hendak ke luar.
Tepat saat
aku berada di depan ruang sekretariat P3RI, sebuah suara memanggilku. “Mbok,
mau ke mana Mbok? Sudah sahur belum?” sahutnya. Suara Iqbal rupanya. Aku berhenti,
menengok ke dalam ruangan, dan menjawab, “belum.”
Iqbal
menyuruhku mengambil jatah nasi ayam takol panitia laki-laki yang berlebih
(bahkan ada yang tengah makan porsi keduanya) dan memberikan tempe yang
disajikan di piring. Aku (sudah pasti) mengambilnya, mencomot dua butir tempe dan
berterima kasih kepada para panitia laki-laki yang sedang berada di sekre. Agak
mencurigakan mengapa tiba-tiba mereka jadi baik...
“Sahur
yang banyak ya Mbok, biar gak sedih lagi,” ucap Iqbal saat aku berjalan keluar
dari sekre.
***
Adzan subuh
berkumandang. Aku wudhu kemudian mengikuti sholat subuh berjamaah di dalam Gedung Serba Guna (GSG) Masjid Salman
ITB. Usai sholat, aku langsung kembali ke ruangan panitia perempuan, mengambil
kamera, dan bertugas sebagai mestinya kerjaan divisiku: dokumentasi. Aku memotret
beberapa foto penceramah kuliah subuh pagi ini. Setelah dirasa cukup, aku
kembali berjalan melewati selasar. Aku sedang melihat foto-foto hasil
jepretanku ketika seseorang menyapa, “Nadhira.”
Aku
menoleh. Hafizhan rupanya. “Nadhira, innallaaha ma’as shoobiriin.”
ucapnya. Aku tertegun. Jelas aku tahu maksud omongannya. Sesaat
kemudian, aku tersenyum.
Lagi-lagi,
kudengar suara berisik, yang kutahu pasti dari mulut pasukan pencuci gelas. Aku
menuruni tangga menuju bagian samping tempat cuci gelas, melakukan pekerjaan
yang belum sempat kulakukan sepanjang Ramadhan ini – memfoto kegiatan ikonis
cuci gelas! Terdapat banyak orang di sana. Ada Hanif, Bayu, Fadhil, Yusril, Rudy,
Fajar, Arie, juga yang baru saja datang, Hafizhan. Di tengah cahaya yang minim,
aku memotret aktivitas mencuci dan membilas hampir 300 gelas milik Masjid Salman,
sembari berharap ada foto yang cukup baik, tidak blur.
Aku
berpindah dari posisi satu ke posisi lainnya, masih mendokumentasi kegiatan
mereka. Aku duduk di tangga samping tempat cuci gelas, memotret beberapa foto
kemudian melihat hasilnya.
“Heh, Dhir,
kok diem aja? Gak usah terlalu sedih dong, mentang-mentang Arsenal
kalah.”
Eh? Aku menengok ke arah sumber suara. Rudy,
di tengah memberikan sabun pada gelas, mencerocos kepadaku. “Hah? Nggak
kok,” tawaku.
(berlanjut ke bagian 2)
0 comments