Sepakbola adalah Medan Perang Selama 90 Menit
![]() |
Alex Morgan menenangkan pemain timnas Thailand |
Berawal dari kemenangan Amerika
Serikat atas Thailand pada perhelatan Piala Dunia Wanita 2019, berbagai
komentar bermunculan. Pertandingan grup F ini berakhir dengan skor fantastis 13-0
untuk kemenangan Amerika Serikat. Alex Morgan dkk. berhasil mematahkan rekor
pertandingan Piala Dunia Wanita dengan skor terbanyak, setelah sebelumnya dipegang
oleh kemenangan 11-0 Jerman atas Argentina.
Komentar-komentar berdatangan
setelah melihat timnas AS melakukan selebrasi pada gol keenam, ketujuh, hingga
ketiga belas. Komentar-komentar juga muncul mempertanyakan pemerataan kualitas
permainan sepakbola wanita. Bagaimana kejamnya para pemain Amerika Serikat
masih melakukan selebrasi dan tidak menghargai kondisi psikologis pemain lawan.
Bagaimana salah satu tim terbaik (seharusnya) benua Asia yang berkancah di turnamen
terakbar sepakbola wanita tidak memiliki kualitas kelas dunia.
Maka, izinkan saya
menyatakan pendapat mengenai satu dari dua hal tersebut – tentang selebrasi.
Sepakbola adalah medan
perang selama 90 menit. Apa yang terjadi dalam lapangan, selesaikan dalam
lapangan. Tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai.
Dalam permainan sepakbola,
terdapat tim yang menang, tim yang kalah, maupun hasil imbang. Setiap tim pasti
menginginkan kata menang di akhir setiap pertandingan. Setiap tim berlatih,
bekerja keras, mengatur strategi dan taktik bagaimana cara agar menang dalam
menghadapi lawan. Karena itulah, selebrasi usai mencetak gol ada sebagai bentuk
apresiasi terhadap kerja keras dan pantang menyerah. 13 gol yang dilancarkan ke
gawang timnas Thailand membuktikan kerja keras para pemain Amerika Serikat mempersiapkan
perang.
Apakah itu salah? Menurut
saya, tidak. Dalam sebuah peperangan, yang dipikirkan hanyalah diri
masing-masing kubu. Menghabisi lawan perang, tentulah kubu yang menang
merayakan keberhasilan mereka. Keberhasilan yang didapatkan dengan berbagai
latihan hingga darah penghabisan. Sama halnya dalam sepakbola. Medan perang 90
menit menjadi saksi tim mana yang berkuasa hingga peluit akhir dibunyikan.
Euforia pertandingan sepakbola tidak akan hilang sebelum berakhirnya permainan.
Namun, dibalik semua ambisi
memenangi peperangan, setiap kubu juga belajar bagaimana mengantisipasi
kekalahan. Tak boleh ada kata menyerah sebelum perang benar-benar usai, walau
kekalahan terpampang depan mata. Sepakbola pun demikian. Morris Gleitzmann
dalam bukunya Boys Overboard menulis: Ingat prinsip sepakbola. Jangan pernah
menyerah, meskipun kelihatannya tidak ada harapan. Jelas kekuatan Thailand
jauh dibawah Amerika Serikat. Namun satu, mereka tetap menendang dan mengoper,
berharap suatu kesempatan melawan muncul. Timnas Thailand tentu menerapkan
prinsip yang telah disebutkan. Selama peluit panjang akhir pertandingan belum
ditiupkan, masih ada satu per sekian harapan.
Ingat kedua pertandingan
semifinal Liga Champions musim 2018/2019? Ya, sepakbola dapat menjadi sebuah
cerita dengan plot twist terbaik. Tanpa sifat pantang menyerah,
tidak mungkin Liverpool berbalik memecundangi Barcelona 4-0 di Anfield dan
tidak mungkin Tottenham Hotspurs berbalik menghabisi Ajax 3-2 setelah
tertinggal 2-0 di babak pertama.
Satu hal yang tidak boleh
terlupakan dalam setiap kubu yang hendak berperang. Masing-masing kubu harus
mempersiapkan bagaimana menghadapi kekalahan. Perang boleh saja kalah, namun
mental harus tetap juara.
Kekalahan 13-0 mungkin
tidak akan bisa dilupakan oleh timnas Thailand. Sama halnya dengan takluknya
Brazil 1-7 di tangan Jerman dalam babak 16 besar Piala Dunia (Pria) 2014 lalu. Juga
kekecewaan saya melihat tim kesayangan dibantai 1-4 dalam pertandingan final
Liga Europa. Perasaan sedih pasti muncul, menimbulkan satu pertanyaan
mengganjal pikiran:
Sia-siakah segala kerja
keras dan bermacam jenis latihan yang telah dilakukan?
Masa lalu biarlah menjadi
masa lalu. Ia dapat menjadi pelajaran, tetapi teruslah melihat ke depan. Luka
goresan kekalahan perang mungkin membutuhkan waktu lama untuk hilang, namun mempersiapkan
beribu perang di masa depan jauh lebih penting untuk dilakukan. Itu juga yang
terjadi dalam sepakbola. Timnas Thailand harus segera berbenah, kembali mempersiapkan
amunisi untuk laga selanjutnya dalam putaran grup Piala Dunia Wanita 2019. Kalau
kata manusia zaman sekarang, move on.
Kembali ke pertanyaan awal.
Lantas, pantaskah timnas Amerika Serikat terus melakukan selebrasi merayakan
ketiga belas golnya? Tidak pikirkah mereka akan kondisi mental para pemain
Thailand?
Sekali lagi saya katakan. Sepakbola
adalah medan perang selama 90 menit. Apa yang terjadi dalam lapangan,
selesaikan dalam lapangan. Tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai.
Tak ada yang salah dengan
merayakan setiap pundi-pundi gol yang diciptakan. Tak ada yang salah
untuk tidak selebrasi menghadapi mantan klub maupun melakukan selebrasi ke
setiap gol yang dilancarkan. Rasa sakit hati pasti ada, namun saya yakin,
setiap pemain dilahirkan dengan mental juara. Jika menang dirayakan, jika kalah
diambil pelajaran.
Karena tepat saat peluit
akhir dibunyikan, perang pun usai. Tak ada lagi kata lawan, yang ada hanyalah
kawan. Setidaknya itulah yang dicontohkan kapten Amerika Serikat, Alex Morgan,
yang setelah pertandingan menghampiri para pemain Thailand, memberikan simpati untuk
mengurangi sakit hati akibat kekalahan. Morgan, pemain yang mencetak lima gol
dalam pertandingan tersebut, menunjukkan bahwa selebrasi dalam pertandingan
hanya terjadi dalam 90 menit waktu permainan sepakbola. Usai itu, rasa hormatlah
yang muncul bagi masing-masing tim.
Di waktu yang tidak jauh
berbeda, dunia sepakbola juga menyaksikan kekalahan 9-0 San Marino atas
Rusia. Selebrasi kemenangan tentu dilakukan. Namun, para pendukung timnas Rusia
memberikan rasa hormat kepada penjaga gawang San Marino atas permainan apik
yang ia lakukan. Pendukung timnas Rusia memberikan apresiasi dengan mengirim
pesan ke akun Instagram kiper San Marino. Walau kebobolan sembilan gol tanpa
balas, sang penjaga gawang Elia Benedettini tetap memberikan berbagai
penyelamatan krusial.
Itulah seharusnya
sepakbola. Menjunjung tinggi sportivitas, juga solidaritas.
0 comments