­

Sepakbola adalah Medan Perang Selama 90 Menit

by - June 14, 2019

Alex Morgan menenangkan pemain timnas Thailand

Berawal dari kemenangan Amerika Serikat atas Thailand pada perhelatan Piala Dunia Wanita 2019, berbagai komentar bermunculan. Pertandingan grup F ini berakhir dengan skor fantastis 13-0 untuk kemenangan Amerika Serikat. Alex Morgan dkk. berhasil mematahkan rekor pertandingan Piala Dunia Wanita dengan skor terbanyak, setelah sebelumnya dipegang oleh kemenangan 11-0 Jerman atas Argentina.

Komentar-komentar berdatangan setelah melihat timnas AS melakukan selebrasi pada gol keenam, ketujuh, hingga ketiga belas. Komentar-komentar juga muncul mempertanyakan pemerataan kualitas permainan sepakbola wanita. Bagaimana kejamnya para pemain Amerika Serikat masih melakukan selebrasi dan tidak menghargai kondisi psikologis pemain lawan. Bagaimana salah satu tim terbaik (seharusnya) benua Asia yang berkancah di turnamen terakbar sepakbola wanita tidak memiliki kualitas kelas dunia.

Maka, izinkan saya menyatakan pendapat mengenai satu dari dua hal tersebut – tentang selebrasi.

Sepakbola adalah medan perang selama 90 menit. Apa yang terjadi dalam lapangan, selesaikan dalam lapangan. Tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai.

Dalam permainan sepakbola, terdapat tim yang menang, tim yang kalah, maupun hasil imbang. Setiap tim pasti menginginkan kata menang di akhir setiap pertandingan. Setiap tim berlatih, bekerja keras, mengatur strategi dan taktik bagaimana cara agar menang dalam menghadapi lawan. Karena itulah, selebrasi usai mencetak gol ada sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras dan pantang menyerah. 13 gol yang dilancarkan ke gawang timnas Thailand membuktikan kerja keras para pemain Amerika Serikat mempersiapkan perang.

Apakah itu salah? Menurut saya, tidak. Dalam sebuah peperangan, yang dipikirkan hanyalah diri masing-masing kubu. Menghabisi lawan perang, tentulah kubu yang menang merayakan keberhasilan mereka. Keberhasilan yang didapatkan dengan berbagai latihan hingga darah penghabisan. Sama halnya dalam sepakbola. Medan perang 90 menit menjadi saksi tim mana yang berkuasa hingga peluit akhir dibunyikan. Euforia pertandingan sepakbola tidak akan hilang sebelum berakhirnya permainan.

Namun, dibalik semua ambisi memenangi peperangan, setiap kubu juga belajar bagaimana mengantisipasi kekalahan. Tak boleh ada kata menyerah sebelum perang benar-benar usai, walau kekalahan terpampang depan mata. Sepakbola pun demikian. Morris Gleitzmann dalam bukunya Boys Overboard menulis: Ingat prinsip sepakbola. Jangan pernah menyerah, meskipun kelihatannya tidak ada harapan. Jelas kekuatan Thailand jauh dibawah Amerika Serikat. Namun satu, mereka tetap menendang dan mengoper, berharap suatu kesempatan melawan muncul. Timnas Thailand tentu menerapkan prinsip yang telah disebutkan. Selama peluit panjang akhir pertandingan belum ditiupkan, masih ada satu per sekian harapan.  

Ingat kedua pertandingan semifinal Liga Champions musim 2018/2019? Ya, sepakbola dapat menjadi sebuah cerita dengan plot twist terbaik. Tanpa sifat pantang menyerah, tidak mungkin Liverpool berbalik memecundangi Barcelona 4-0 di Anfield dan tidak mungkin Tottenham Hotspurs berbalik menghabisi Ajax 3-2 setelah tertinggal 2-0 di babak pertama.

Satu hal yang tidak boleh terlupakan dalam setiap kubu yang hendak berperang. Masing-masing kubu harus mempersiapkan bagaimana menghadapi kekalahan. Perang boleh saja kalah, namun mental harus tetap juara.

Kekalahan 13-0 mungkin tidak akan bisa dilupakan oleh timnas Thailand. Sama halnya dengan takluknya Brazil 1-7 di tangan Jerman dalam babak 16 besar Piala Dunia (Pria) 2014 lalu. Juga kekecewaan saya melihat tim kesayangan dibantai 1-4 dalam pertandingan final Liga Europa. Perasaan sedih pasti muncul, menimbulkan satu pertanyaan mengganjal pikiran:

Sia-siakah segala kerja keras dan bermacam jenis latihan yang telah dilakukan?

Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Ia dapat menjadi pelajaran, tetapi teruslah melihat ke depan. Luka goresan kekalahan perang mungkin membutuhkan waktu lama untuk hilang, namun mempersiapkan beribu perang di masa depan jauh lebih penting untuk dilakukan. Itu juga yang terjadi dalam sepakbola. Timnas Thailand harus segera berbenah, kembali mempersiapkan amunisi untuk laga selanjutnya dalam putaran grup Piala Dunia Wanita 2019. Kalau kata manusia zaman sekarang, move on.

Kembali ke pertanyaan awal. Lantas, pantaskah timnas Amerika Serikat terus melakukan selebrasi merayakan ketiga belas golnya? Tidak pikirkah mereka akan kondisi mental para pemain Thailand?

Sekali lagi saya katakan. Sepakbola adalah medan perang selama 90 menit. Apa yang terjadi dalam lapangan, selesaikan dalam lapangan. Tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai.

Tak ada yang salah dengan merayakan setiap pundi-pundi gol yang diciptakan. Tak ada yang salah untuk tidak selebrasi menghadapi mantan klub maupun melakukan selebrasi ke setiap gol yang dilancarkan. Rasa sakit hati pasti ada, namun saya yakin, setiap pemain dilahirkan dengan mental juara. Jika menang dirayakan, jika kalah diambil pelajaran.

Karena tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai. Tak ada lagi kata lawan, yang ada hanyalah kawan. Setidaknya itulah yang dicontohkan kapten Amerika Serikat, Alex Morgan, yang setelah pertandingan menghampiri para pemain Thailand, memberikan simpati untuk mengurangi sakit hati akibat kekalahan. Morgan, pemain yang mencetak lima gol dalam pertandingan tersebut, menunjukkan bahwa selebrasi dalam pertandingan hanya terjadi dalam 90 menit waktu permainan sepakbola. Usai itu, rasa hormatlah yang muncul bagi masing-masing tim.

Di waktu yang tidak jauh berbeda, dunia sepakbola juga menyaksikan kekalahan 9-0 San Marino atas Rusia. Selebrasi kemenangan tentu dilakukan. Namun, para pendukung timnas Rusia memberikan rasa hormat kepada penjaga gawang San Marino atas permainan apik yang ia lakukan. Pendukung timnas Rusia memberikan apresiasi dengan mengirim pesan ke akun Instagram kiper San Marino. Walau kebobolan sembilan gol tanpa balas, sang penjaga gawang Elia Benedettini tetap memberikan berbagai penyelamatan krusial.

Itulah seharusnya sepakbola. Menjunjung tinggi sportivitas, juga solidaritas.

You May Also Like

0 comments