Belajar Ikhlas Tak Pernah Usai
Mari mulai
dengan satu kalimat. Sepakbola adalah
sebuah cerita dengan plot twist terbaik. Bagaimana tidak, jutaan pasang
mata menjadi saksi, bagaimana Barcelona dihancurkan di kandang Liverpool 4-0
dan gol penghujung waktu memenangkan Tottenham Hotspurs secara dramatis melawan
Ajax Amsterdam. Jadilah dua tim papan atas Liga Inggris, akan berhadapan di
Madrid Juni nanti, sebagai petarung siapakah yang pantas mendapatkan trofi Liga
Champions 2018/2019.
Aku tidak
percaya. Oh jelas. Ingin rasanya berkata kasar. Rasa sebagai pendukung Arsenal
berteriak dalam diri ini, tidak bisa membayangkan bagaimana jika salah satu
dari mereka mengangkat piala liga tersebut–dan itu pasti. Apabila Liverpool juara,
sama saja mengakui keadidayaan mereka. Dan apabila tim satu lagi juara... oh
tidak, aku tidak ingin dan tidak akan bisa membayangkannya. Pastilah mereka
akan dengan bangga mengumandangkan “North
London is white!” dan uh, mau
ditaruh dimana harga diri ini.
Aku menjalani
pagiku, bersiap-siap menuju Masjid Salman ITB untuk bertugas sebagai panitia P3RI.
Ketika aku sampai di halaman Masjid Salman, aku baru menyadari bahwa aku butuh
sesuatu untuk meluapkan rasa ketidakpercayaanku. Tepat saat aku memasuki gedung
sekretariat P3RI dan melihat beberapa panitia laki-laki sedang mengobrol, aku mendengus.
Aku teriak. Ya, aku berteriak di depan pintu sekre. Kuakui, aku stres
memikirkan hal bodoh ini. Para panitia laki-laki yang sedang asyik bercengkerama
tersebut kemudian melihatku, dan seakan menyadari tekanan yang kurasakan, salah
satu dari mereka berkata, “Bagaimana Nad, nanti malam Arsenal main ke kandang
Valencia, hahaha.”
Makin
meluap saja emosi ini. Aku mencerocos tak karuan, kuceritakan mereka aku tak bisa
memikirkan bahwa salah satu dari tim merah Meryeside dan tim putih London akan
membawa pulang trofi Liga Champions. Teman-temanku malah semangat membahasnya. Mengagumi
gol ketiga Lucas Moura di menit ke 90+6 dan bagaimana tangisan pecah pada kedua
tim usai peluit tanda berakhir pertandingan dibunyikan. Aku melongos masuk ke
dalam ruang sekretariat perempuan. Menumpahkan segala perasaan kepada beberapa
panitia perempuan yang kutahu mereka tak akan mengerti apa yang kukatakan. Tak
apa, aku hanya butuh pelampiasan.
Waktu
Dzuhur datang. Aku salat, kemudian tak lama membantu logistik dan publikasi
memasang kamera dan peralatan lain untuk streaming
acara sore nanti. Sampai waktu Asar tiba, aku pun salat kembali. Menunggu hingga
pukul empat sore untuk bertugas mendokumentasi kegiatan, aku duduk di pojok
kiri ruang utama Masjid Salman, merenung. Masih tidak bisa melepas pikiran dan
rasa tidak percayaku.
Satu hal
yang tidak ingin kuakui. Musim ini, kualitas performa that club sangat jauh di atas klub kesayanganku. Dan itulah yang
membuat aku marah. Argh! Klub itu berhasil
mencapai final Liga Champions, sedangkan Arsenal bahkan gagal meraih posisi
empat besar Liga Inggris. Jauh, jauh sekali.
Aku mengambil
HP-ku, kubuka aplikasi Twitter. Saat sedang asyik menggulir timeline, aku melihat sebuah video milik
Ajax Amsterdam, berisikan kisah perjalanan klub tersebut dalam Liga Champions
musim ini. Head up, chest out,
tulisnya.
Perlahan,
pikiranku mulai terbuka. Untuk apa aku pusing memikirkan ini. Rasa sakitku,
seharusnya tidak lebih besar dari pendukung Ajax, yang secara fantastis meluluhlantakkan
juara bertahan Liga Champions, Real Madrid, menumpas Cristiano Ronaldo dan
Juventus-nya, dan kemudian digagalkan oleh klub itu di depan pendukungnya
sendiri. Dan rasa sakitku pun seharusnya tidak lebih besar dari pendukung
Barcelona, yang lagi-lagi dibinasakan pada leg
kedua pada tim berbaju merah. Baru kusadari, kemarahanku ini hanyalah ego
belaka, sekadar urusan kebanggaan pada klub kesayangan, tanpa melihat
kenyataan.
Aku
menarik napas. Aku mengakui, mungkin salah satu penyebab rasa tertekan dan kecewa
ini juga berasal dari tim yang kudukung. Beberapa minggu terakhir, hilang sudah
segala harapan dan ekspektasi tinggi terhadap mereka, yang secara tidak
langsung memengaruhi perasaanku. Kemenangan terakhir Arsenal di Liga Inggris terjadi
16 April lalu, itu pun susah payah melawan 10 pemain Watford. Walau ada sedikit
harapan pada pertandingan malam nanti, aku tak tahu, apakah akan berakhir bahagia
atau nestapa.
Aku
menarik napas kembali. Kedua finalis Liga Champions menunjukkan bahwa kerja
keras, pertunjukan sepakbola cantik, dan mental kuat dapat mengembalikan suatu
keadaan. Tak ada yang tidak mungkin dalam sepak bola. Perjuangan, konsistensi, dan
permainan kedua tim, menyadarkanku, bahwa mereka memang pantas mendapat
kesempatan itu. Tidak perlu lagi memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik urusi
saja tim kesayanganku ini, semoga mental juara tetap bertahan dalam diri mereka,
setidaknya dengan membawa trofi Liga Europa, rasa sakit hatiku perlahan
terobati.
Maka hari
ini, aku belajar kembali memaknai rasa ikhlas. Aku terima keadaan. Tak pantas
menodai bulan suci ini dengan pikiran negatif dan kata-kata kasar, dan tiada
guna mengutuk sesuatu hanya karena ego belaka. Lebih baik perbanyak berdoa,
siapa tahu doaku yang satu ini berhasil mengetuk pintu langit.
Biarlah tulisan
ini menjadi luapan emosiku, sekaligus introspeksi pada diriku, bahwa bulan
Ramadan haruslah memperbanyak kebaikan, bukan memperbanyak misuh-misuh penuh hujatan.
Bandung, 10 Mei 2019
Selesai ditulis di menit ke 35 Valencia vs Arsenal
Come On You Gunners
0 comments