­

Belajar Ikhlas Tak Pernah Usai

by - May 10, 2019

Ilustrasi oleh BR Football

4 Ramadan 1440 H.

Mari mulai dengan satu kalimat. Sepakbola adalah sebuah cerita dengan plot twist terbaik. Bagaimana tidak, jutaan pasang mata menjadi saksi, bagaimana Barcelona dihancurkan di kandang Liverpool 4-0 dan gol penghujung waktu memenangkan Tottenham Hotspurs secara dramatis melawan Ajax Amsterdam. Jadilah dua tim papan atas Liga Inggris, akan berhadapan di Madrid Juni nanti, sebagai petarung siapakah yang pantas mendapatkan trofi Liga Champions 2018/2019.

Aku tidak percaya. Oh jelas. Ingin rasanya berkata kasar. Rasa sebagai pendukung Arsenal berteriak dalam diri ini, tidak bisa membayangkan bagaimana jika salah satu dari mereka mengangkat piala liga tersebut–dan itu pasti. Apabila Liverpool juara, sama saja mengakui keadidayaan mereka. Dan apabila tim satu lagi juara... oh tidak, aku tidak ingin dan tidak akan bisa membayangkannya. Pastilah mereka akan dengan bangga mengumandangkan “North London is white!” dan uh, mau ditaruh dimana harga diri ini.

Aku menjalani pagiku, bersiap-siap menuju Masjid Salman ITB untuk bertugas sebagai panitia P3RI. Ketika aku sampai di halaman Masjid Salman, aku baru menyadari bahwa aku butuh sesuatu untuk meluapkan rasa ketidakpercayaanku. Tepat saat aku memasuki gedung sekretariat P3RI dan melihat beberapa panitia laki-laki sedang mengobrol, aku mendengus. Aku teriak. Ya, aku berteriak di depan pintu sekre. Kuakui, aku stres memikirkan hal bodoh ini. Para panitia laki-laki yang sedang asyik bercengkerama tersebut kemudian melihatku, dan seakan menyadari tekanan yang kurasakan, salah satu dari mereka berkata, “Bagaimana Nad, nanti malam Arsenal main ke kandang Valencia, hahaha.”

Makin meluap saja emosi ini. Aku mencerocos tak karuan, kuceritakan mereka aku tak bisa memikirkan bahwa salah satu dari tim merah Meryeside dan tim putih London akan membawa pulang trofi Liga Champions. Teman-temanku malah semangat membahasnya. Mengagumi gol ketiga Lucas Moura di menit ke 90+6 dan bagaimana tangisan pecah pada kedua tim usai peluit tanda berakhir pertandingan dibunyikan. Aku melongos masuk ke dalam ruang sekretariat perempuan. Menumpahkan segala perasaan kepada beberapa panitia perempuan yang kutahu mereka tak akan mengerti apa yang kukatakan. Tak apa, aku hanya butuh pelampiasan.

Waktu Dzuhur datang. Aku salat, kemudian tak lama membantu logistik dan publikasi memasang kamera dan peralatan lain untuk streaming acara sore nanti. Sampai waktu Asar tiba, aku pun salat kembali. Menunggu hingga pukul empat sore untuk bertugas mendokumentasi kegiatan, aku duduk di pojok kiri ruang utama Masjid Salman, merenung. Masih tidak bisa melepas pikiran dan rasa tidak percayaku.

Satu hal yang tidak ingin kuakui. Musim ini, kualitas performa that club sangat jauh di atas klub kesayanganku. Dan itulah yang membuat aku marah. Argh! Klub itu berhasil mencapai final Liga Champions, sedangkan Arsenal bahkan gagal meraih posisi empat besar Liga Inggris. Jauh, jauh sekali.

Aku mengambil HP-ku, kubuka aplikasi Twitter. Saat sedang asyik menggulir timeline, aku melihat sebuah video milik Ajax Amsterdam, berisikan kisah perjalanan klub tersebut dalam Liga Champions musim ini. Head up, chest out, tulisnya.

Perlahan, pikiranku mulai terbuka. Untuk apa aku pusing memikirkan ini. Rasa sakitku, seharusnya tidak lebih besar dari pendukung Ajax, yang secara fantastis meluluhlantakkan juara bertahan Liga Champions, Real Madrid, menumpas Cristiano Ronaldo dan Juventus-nya, dan kemudian digagalkan oleh klub itu di depan pendukungnya sendiri. Dan rasa sakitku pun seharusnya tidak lebih besar dari pendukung Barcelona, yang lagi-lagi dibinasakan pada leg kedua pada tim berbaju merah. Baru kusadari, kemarahanku ini hanyalah ego belaka, sekadar urusan kebanggaan pada klub kesayangan, tanpa melihat kenyataan.

Aku menarik napas. Aku mengakui, mungkin salah satu penyebab rasa tertekan dan kecewa ini juga berasal dari tim yang kudukung. Beberapa minggu terakhir, hilang sudah segala harapan dan ekspektasi tinggi terhadap mereka, yang secara tidak langsung memengaruhi perasaanku. Kemenangan terakhir Arsenal di Liga Inggris terjadi 16 April lalu, itu pun susah payah melawan 10 pemain Watford. Walau ada sedikit harapan pada pertandingan malam nanti, aku tak tahu, apakah akan berakhir bahagia atau nestapa.

Aku menarik napas kembali. Kedua finalis Liga Champions menunjukkan bahwa kerja keras, pertunjukan sepakbola cantik, dan mental kuat dapat mengembalikan suatu keadaan. Tak ada yang tidak mungkin dalam sepak bola. Perjuangan, konsistensi, dan permainan kedua tim, menyadarkanku, bahwa mereka memang pantas mendapat kesempatan itu. Tidak perlu lagi memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik urusi saja tim kesayanganku ini, semoga mental juara tetap bertahan dalam diri mereka, setidaknya dengan membawa trofi Liga Europa, rasa sakit hatiku perlahan terobati.

Maka hari ini, aku belajar kembali memaknai rasa ikhlas. Aku terima keadaan. Tak pantas menodai bulan suci ini dengan pikiran negatif dan kata-kata kasar, dan tiada guna mengutuk sesuatu hanya karena ego belaka. Lebih baik perbanyak berdoa, siapa tahu doaku yang satu ini berhasil mengetuk pintu langit.

Biarlah tulisan ini menjadi luapan emosiku, sekaligus introspeksi pada diriku, bahwa bulan Ramadan haruslah memperbanyak kebaikan, bukan memperbanyak misuh-misuh penuh hujatan.

Bandung, 10 Mei 2019
Selesai ditulis di menit ke 35 Valencia vs Arsenal
Come On You Gunners

You May Also Like

0 comments