­

Antara Jam Tiga dan Lima (part 2)

by - June 24, 2018

Wah ada 2 part. Banyak ya. Iya, soalnya kenangannya juga banyak. Uhuy.


Kenapa dibuat 2 part? Soalnya tulisan ini buat blog, ringan, jadi gausah panjang-panjang. Lagipula tulisan ini bukan esai tekpres kan, hehe.

Selamat (lanjut) membaca!



5. Kuis Kalkulus


Rabu sore, pukul 15.00-17.00 kali itu dipakai untuk kuis kalkulus bab 12. Kelas sudah diberi tahu satu minggu sebelumnya. Aku pun sudah mempersiapkan (baca: belajar) untuk kuis nanti, modal latihan soal hanya dari jam 13.00-14.30, hehe. Alhamdulillah kelas TTKI (Tata Tulis Karya Ilmiah) hari itu diliburkan, sehingga aku dapat belajar.

Paginya saat kelas, Pak Prama bilang, “Karena jam tiga itu mepet asar, jadi kuisnya mulai jam 15.45 ya,” dan dijawab serentak oleh kelas, oke Pak.

Usai sholat asar, aku ke kelas. Pak Prama belum datang (dan ternyata tidak datang). Jam 15.45, datanglah dua orang, yang nantinya kutahu sebagai mahasiswa magister Matematika, membawa setumpuk kertas.

“Ini kelasnya Pak Afif, kan?” tanya salah satu dari dua orang tersebut.

Aku ingin menjawab ya, tapi salah satu anak di kelas menyahut dengan suara rendah, “Pak Afif siapa?” Hehehe bocah bocah jarang ikut tutor nih. Pak Afif kan asdos kelas kita. Hehehe.

Karena seisi kelas hanya bergeming, orang tersebut kemudian bertanya lagi, “Dosen kalian siapa?”

“Pak Prama, Kak,” jawab seisi kelas.

Salah satu temanku mendengar satu dari dua orang tersebut berkata lirih, “Oh, kelasnya Kak Prama.”

Iya Kak, ini kelasnya Mas Pram Kak Prama. Eh Pak Prama.

Setumpuk kertas yang tadi kulihat merupakan lembar soal dan jawaban kuis. Dan kuis pun akan dimulai. “Sebelum kuis dimulai, ada pertanyaan?” tanya salah satu dari dua orang kakak magister tersebut.

Entah kenapa, aku mengacung tangan. “Kak, Pak Prama-nya gak dateng?”

“Nggak.”

Tiba-tiba terdengar celetukan, “Yah, Nadhira kecewa.”

 

6. NIM


Sebelum kelas tutor Rabu sore pukul 15.00-17.00 mulai, aku masih suka menggambar di papan tulis (aku tidak kapok dengan kejadian memalukanku sebelumnya). Salah satu temanku, Nico, menulis deretan angka di papan.

10111010

“Apaan tuh Nico? Kode biner?” tanyaku.

Nico menggeleng. “Bukan, itu NIM Bapaknya waktu kuliah (bapaknya disini adalah Pak Dosen ya).”

Hah? Beneran? Tau dari mana?” tanyaku lagi.

“Coba aja tanya,” jawab Nico, selalu dengan gaya cool-nya.

Papan tulis sudah bersih ketika Pak Prama masuk kelas. Tutorial pun dimulai, dan pukul 15.30 kelas diistirahkatkan untuk sholat asar. Sebelum sholat asar, aku ke toilet. Alhasil, aku datang kembali ke kelas pun agak telat.

Aku melangkahkan kakiku ke dalam kelas. Sejurus kemudian, teman-teman kelasku menyorakiku. “Ah, Nadhira sayang banget dateng telat. Ah Nad, sayang banget. Kamu ketinggalan informasi nih,” begitu katanya.

Bingung lah aku. Aku bertanya pada Elfira, yang duduk di belakangku. “Ada apaan sih?” tanyaku.

“Rahasia,” Elfira tersenyum misterius.

“Ih apaan dah,” kataku tak sabar.

“Ada deeeh,” Elfira makin membuatku penasaran. “Lagian, kamu istirahat lama banget, sih,” katanya.

“Ih tadi ke toilet dulu,” belaku.

Dan saat pulang, aku tau apa yang dibicarakan teman-teman sekelasku saat aku belum kembali ke kelas. Mereka menanyakan kebenaran NIM Pak Prama ke orangnya langsung.

Dan ternyata benar, NIM Pak Prama saat kuliah di ITB dulu adalah 10111010. 101, kode jurusan Matematika. 11, angkatan 2011. Dan 010, absen 10. Iya, Pak Prama angkatan 2011. Cuma beda 6 tahun di atas angkatanku. Masih muda kan? Hehe.


7. Nama


Kelas tutorial kalkulus hari Rabu sore pukul 15.00-17.00 membuatku dan teman-teman kelasku (yang rajin datang tutor pastinya) menganggap Pak Prama seperti kakak tutor ketimbang dosen. Bahkan Pak Prama lebih muda daripada kakak tutor kalkulus kelasku semester lalu yang sering ku bully. Aku, Hanafi, Yazid, Amanda, Amara, dan Yita menjadi langganan duduk lesehan di bawah, tidak di kursi, saking santainya.

Waktu masih menunjukkan pukul 15.05. Salah satu temanku, Caca, menyeletuk. “Bapak, sholat yuk.”

Pak Prama terkekeh. “Nanti ya, tunggu adzan. Jangan bikin aliran aneh-aneh kamu, ya.” Aku dan teman-teman kelasku pun tertawa. Aku ingat, saat itu waktu asar berada pada pukul 15.11.

10 menit kemudian, Pak Prama berujar. “Nah, karena sudah adzan, dan untuk memenuhi permintaan Salsabila, sekarang kita istirahat sholat asar dulu ya.”

Caca, yang memang nama aslinya adalah Salsabila, kaget. “Ih, Bapak tau nama saya?” tanyanya, ngegas.

“Tau lah.”

Hanafi pun menyeletuk. “Coba Pak, sebutin nama kita satu-satu. Gak boleh liat absen ya Pak,” tantangnya.

Pak Prama menunjuk, dimulai dari sebelah kanan beliau.

“Fitri, Friska, Yita, Aisha, Dyah, Amara, Amanda, Nadhira, Hanafi, Yazid...”

Reaksi Fitri: Ih Bapaknya kenal aku dengan hebohnya.

“Calvin, Nico, Jennifer, Ivory, duh ini siapa ya? Salma?”

Reaksi kelas: Bukan Paaak. Ica Pak.

Ah ya. Hafidza ya, baru sebelahnya Salma. Kalian ini duduknya sering sebelahan, jadi saya ketuker juga. Salsabila...”

Reaksi Caca: Salsabila siapa Pak?

“Duh kalau itu saya harus liat daftar hadir. Tapi saya tahu ada dua Salsabila di kelas ini.”

Dan Pak Prama pun lanjut menyebutkan nama-nama anak kelas yang hadir (sekitar 20-30 orang). Hampir semuanya benar, hanya tiga-empat orang yang salah sabut atau tertukar.

Satu lagi. Dosen pertama yang kutemui, yang menghafal hampir seluruh muridnya, padahal belum satu semester. Dosen kimiaku, Bu Ria juga hafal nama-nama kami, tapi sepertinya tidak sebanyak Pak Prama.


8. Membahas Pertanyaan Sulit


Hal yang menyedihkan pun datang. Tibalah Rabu sore, pukul 15.00-17.00 itu menjadi jam tutorial terakhir bersama Pak Prama. Kami membahas beberapa pertanyaan sulit bab 13, Aplikasi Integral, yang belum sempat dijawab saat kelas pagi hari.

Setelah pertanyaan terjawab, Hanafi bertanya. “Pak, kalau sumbunya yang diubah, gimana?” Ia bertanya dengan soal yang sama dengan sebelumnya, namun ditambah sedikit modifikasi.

Pak Prama kemudian mencoba menjawab pertanyaan tersebut sambil menjelaskan, namun buntu di suatu jalan.

“Pak, kalau gini bisa gak?” salah satu temanku memberi usulan.

Pak Prama mencoba mengerjakan dengan usulan temanku tersebut, namun lagi-lagi beliau buntu.

Kami pun bersama-sama memikirkan cara menjawab pertanyaan tersebut, sambil berdiskusi. Dan tak terasa, waktu menunjukkan pukul 15.50.

“Nanti ya, kita lanjutkan lagi diskusinya. Sekarang kita break sholat dulu ya,” kata Pak Prama.

“Iya Pak, sholat dulu aja. Siapa tahu, setelah sholat dapet ilham gitu buat jawabnya,” sang pemberi pertanyaan, Hanafi, menambahkan, sambil tertawa.

Aku, dan beberapa temanku pun keluar kelas untuk melaksanakan sholat asar.

Benarlah, seusai sholat dan kelas mulai kembali, Pak Prama sudah mendapatkan jawabannya. “Nah, jadi ini tuh begini,” Pak Prama pun menjelaskan. Kami manggut-manggut.

"Benar ternyata. Harus sholat dulu, baru ketemu jawabannya," ujar Pak Prama, terkekeh.

You May Also Like

0 comments