Antara Jam Tiga dan Lima (part 2)
Wah ada 2 part. Banyak ya. Iya, soalnya
kenangannya juga banyak. Uhuy.
Kenapa dibuat 2 part? Soalnya tulisan ini buat
blog, ringan, jadi gausah panjang-panjang. Lagipula tulisan ini bukan esai
tekpres kan, hehe.
Selamat
(lanjut) membaca!
5. Kuis Kalkulus
Rabu sore,
pukul 15.00-17.00 kali itu dipakai untuk kuis kalkulus bab 12. Kelas sudah
diberi tahu satu minggu sebelumnya. Aku pun sudah mempersiapkan (baca: belajar)
untuk kuis nanti, modal latihan soal hanya dari jam 13.00-14.30, hehe. Alhamdulillah kelas TTKI (Tata Tulis
Karya Ilmiah) hari itu diliburkan, sehingga aku dapat belajar.
Paginya
saat kelas, Pak Prama bilang, “Karena jam tiga itu mepet asar, jadi kuisnya mulai jam 15.45 ya,” dan dijawab serentak
oleh kelas, oke Pak.
Usai
sholat asar, aku ke kelas. Pak Prama belum datang (dan ternyata tidak datang).
Jam 15.45, datanglah dua orang, yang nantinya kutahu sebagai mahasiswa magister
Matematika, membawa setumpuk kertas.
“Ini
kelasnya Pak Afif, kan?” tanya salah satu dari dua orang tersebut.
Aku ingin
menjawab ya, tapi salah satu anak di
kelas menyahut dengan suara rendah, “Pak Afif siapa?” Hehehe bocah bocah jarang ikut tutor nih. Pak Afif kan asdos kelas
kita. Hehehe.
Karena
seisi kelas hanya bergeming, orang tersebut kemudian bertanya lagi, “Dosen
kalian siapa?”
“Pak
Prama, Kak,” jawab seisi kelas.
Salah satu
temanku mendengar satu dari dua orang tersebut berkata lirih, “Oh, kelasnya Kak
Prama.”
Iya Kak, ini kelasnya Mas Pram Kak Prama.
Eh Pak Prama.
Setumpuk
kertas yang tadi kulihat merupakan lembar soal dan jawaban kuis. Dan kuis pun
akan dimulai. “Sebelum kuis dimulai, ada pertanyaan?” tanya salah satu dari dua
orang kakak magister tersebut.
Entah kenapa, aku mengacung tangan. “Kak, Pak Prama-nya gak
dateng?”
“Nggak.”
Tiba-tiba
terdengar celetukan, “Yah, Nadhira kecewa.”
6. NIM
Sebelum
kelas tutor Rabu sore pukul 15.00-17.00 mulai, aku masih suka menggambar di
papan tulis (aku tidak kapok dengan kejadian memalukanku sebelumnya). Salah
satu temanku, Nico, menulis deretan angka di papan.
10111010
“Apaan tuh
Nico? Kode biner?” tanyaku.
Nico
menggeleng. “Bukan, itu NIM Bapaknya waktu kuliah (bapaknya disini adalah Pak
Dosen ya).”
“Hah? Beneran? Tau dari mana?” tanyaku
lagi.
“Coba aja
tanya,” jawab Nico, selalu dengan gaya cool-nya.
Papan
tulis sudah bersih ketika Pak Prama masuk kelas. Tutorial pun dimulai, dan
pukul 15.30 kelas diistirahkatkan untuk sholat asar. Sebelum sholat asar, aku
ke toilet. Alhasil, aku datang kembali ke kelas pun agak telat.
Aku
melangkahkan kakiku ke dalam kelas. Sejurus kemudian, teman-teman kelasku
menyorakiku. “Ah, Nadhira sayang banget dateng telat. Ah Nad, sayang banget. Kamu
ketinggalan informasi nih,” begitu katanya.
Bingung
lah aku. Aku bertanya pada Elfira, yang duduk di belakangku. “Ada apaan sih?”
tanyaku.
“Rahasia,”
Elfira tersenyum misterius.
“Ih apaan
dah,” kataku tak sabar.
“Ada
deeeh,” Elfira makin membuatku penasaran. “Lagian, kamu istirahat lama banget, sih,” katanya.
“Ih tadi
ke toilet dulu,” belaku.
Dan saat
pulang, aku tau apa yang dibicarakan teman-teman sekelasku saat aku belum
kembali ke kelas. Mereka menanyakan kebenaran NIM Pak Prama ke orangnya
langsung.
Dan
ternyata benar, NIM Pak Prama saat kuliah di ITB dulu adalah 10111010. 101, kode jurusan Matematika. 11, angkatan 2011. Dan 010, absen 10. Iya, Pak Prama angkatan
2011. Cuma beda 6 tahun di atas angkatanku. Masih
muda kan? Hehe.
7. Nama
Kelas
tutorial kalkulus hari Rabu sore pukul 15.00-17.00 membuatku dan teman-teman
kelasku (yang rajin datang tutor pastinya) menganggap Pak Prama seperti kakak
tutor ketimbang dosen. Bahkan Pak Prama
lebih muda daripada kakak tutor kalkulus kelasku semester lalu yang sering ku
bully. Aku, Hanafi, Yazid, Amanda, Amara, dan Yita menjadi langganan duduk
lesehan di bawah, tidak di kursi, saking santainya.
Waktu
masih menunjukkan pukul 15.05. Salah satu temanku, Caca, menyeletuk. “Bapak,
sholat yuk.”
Pak Prama
terkekeh. “Nanti ya, tunggu adzan. Jangan bikin aliran aneh-aneh kamu, ya.” Aku
dan teman-teman kelasku pun tertawa. Aku ingat, saat itu waktu asar berada pada
pukul 15.11.
10 menit
kemudian, Pak Prama berujar. “Nah,
karena sudah adzan, dan untuk memenuhi permintaan Salsabila, sekarang kita
istirahat sholat asar dulu ya.”
Caca, yang
memang nama aslinya adalah Salsabila, kaget. “Ih, Bapak tau nama saya?” tanyanya, ngegas.
“Tau lah.”
Hanafi pun
menyeletuk. “Coba Pak, sebutin nama kita satu-satu. Gak boleh liat absen ya Pak,”
tantangnya.
Pak Prama
menunjuk, dimulai dari sebelah kanan beliau.
“Fitri, Friska,
Yita, Aisha, Dyah, Amara, Amanda, Nadhira, Hanafi, Yazid...”
Reaksi Fitri:
Ih Bapaknya kenal aku dengan
hebohnya.
“Calvin,
Nico, Jennifer, Ivory, duh ini siapa
ya? Salma?”
Reaksi
kelas: Bukan Paaak. Ica Pak.
“Ah ya. Hafidza ya, baru sebelahnya
Salma. Kalian ini duduknya sering sebelahan, jadi saya ketuker juga.
Salsabila...”
Reaksi
Caca: Salsabila siapa Pak?
“Duh kalau
itu saya harus liat daftar hadir. Tapi saya tahu ada dua Salsabila di kelas
ini.”
Dan Pak
Prama pun lanjut menyebutkan nama-nama anak kelas yang hadir (sekitar 20-30
orang). Hampir semuanya benar, hanya tiga-empat orang yang salah sabut atau
tertukar.
Satu lagi.
Dosen pertama yang kutemui, yang menghafal hampir seluruh muridnya, padahal
belum satu semester. Dosen kimiaku, Bu
Ria juga hafal nama-nama kami, tapi sepertinya tidak sebanyak Pak Prama.
8. Membahas Pertanyaan Sulit
Hal yang
menyedihkan pun datang. Tibalah Rabu sore, pukul 15.00-17.00 itu menjadi jam
tutorial terakhir bersama Pak Prama. Kami membahas beberapa pertanyaan sulit
bab 13, Aplikasi Integral, yang belum sempat dijawab saat kelas pagi hari.
Setelah pertanyaan
terjawab, Hanafi bertanya. “Pak, kalau sumbunya yang diubah, gimana?” Ia
bertanya dengan soal yang sama dengan sebelumnya, namun ditambah sedikit
modifikasi.
Pak Prama
kemudian mencoba menjawab pertanyaan tersebut sambil menjelaskan, namun buntu
di suatu jalan.
“Pak,
kalau gini bisa gak?” salah satu
temanku memberi usulan.
Pak Prama
mencoba mengerjakan dengan usulan temanku tersebut, namun lagi-lagi beliau
buntu.
Kami pun
bersama-sama memikirkan cara menjawab pertanyaan tersebut, sambil berdiskusi. Dan
tak terasa, waktu menunjukkan pukul 15.50.
“Nanti ya,
kita lanjutkan lagi diskusinya. Sekarang kita break sholat dulu ya,” kata Pak Prama.
“Iya Pak,
sholat dulu aja. Siapa tahu, setelah sholat dapet ilham gitu buat jawabnya,”
sang pemberi pertanyaan, Hanafi, menambahkan, sambil tertawa.
Aku, dan
beberapa temanku pun keluar kelas untuk melaksanakan sholat asar.
Benarlah,
seusai sholat dan kelas mulai kembali, Pak Prama sudah mendapatkan jawabannya. “Nah,
jadi ini tuh begini,” Pak Prama pun menjelaskan. Kami manggut-manggut.
"Benar ternyata. Harus sholat dulu, baru ketemu jawabannya," ujar Pak Prama, terkekeh.
0 comments