Antara Jam Tiga dan Lima (part 1)
Aku tak tahu bagaimana mulanya, sejujurnya. Namun yang kutahu, segala kejadian penimbul kenangan muncul setiap hari Rabu, di jam kuliah terakhir, pukul 15.00-17.00.
Ada apa di jam tersebut? Jam tutorial.
Mata kuliahnya? Matematika Dasar 2A, yang lebih familiar disebut Kalkulus.
1. Mungkinkah ini Awal?
Satu waktu, jam kuliah kalkulus minggu depan ditarik satu minggu sebelumnya. Kuliah hari Rabu pagi minggu depan diadakan Rabu minggu sebelumnya, di jam tutorial kalkulus, pukul 15.00-17.00.
Ah, jam nanggung, batinku. Kusebut jam nanggung karena jam tiga sore adalah waktu menjelang sholat asar. Mau sholat dulu sebelum kelas, tapi adzan baru berkumandang sekitar 15.20 (pada waktu tersebut). Atau sholat setelah kelas, sedangkan kelas baru usai pukul 16.40, yang membuat selama pelajaran sedikit tidak tenang. Pilihan paling tepat mungkin izin di tengah pelajaran. Ah, tapi takut gak nyambung dan gak paham dengan materinya, hehe.
Akhirnya, kuputuskan untuk masuk kelas saja. Lagipula, hanya sekali pergantian jam kuliah seperti ini. Kalau jam tutorial sebenarnya relatif lebih santai. Mau masuk jam berapa pun tidak masalah (bahkan tidak masuk pun tak apa!). Yang mengajarnya pun bukan dosen, melainkan asisten dosen.
Dosen kalkulusku, Pak Prama, datang lebih dulu, sehingga kelas mulai tepat pada pukul 15.00. Materi yang dibahas adalah penjelasan lanjut mengenai kekonvergenan deret, materi yang sedikit belum kupahami karena beban pikiran lebih berat kepada satu mata kuliah 3 SKS rasa 10 SKS, Tekpres Arsi. Karena aku masih belum mengerti materi yang diajarkan (bahkan aku masih mencerna materi yang dijelaskan pagi hari saat jam kuliah asli) dan hawa sore Bandung dan ruang 9223 GKU Timur yang cukup adem, aku pun tertidur. Mungkin sekitar 10-15 menit.
Aku terbangun, melihat jam. 15.45. Aku bangun persis di saat Pak Prama berkata, “Kita break dulu ya, 10 menit, buat sholat asar. Bagi yang melaksanakan sholat asar, silakan sholat dulu.”
Di tengah ambang sadar dan tidak sadar sehabis bangun tidur, aku langsung berdiri, mengajak beberapa temanku untuk sholat. Aku tersentak. Baru kali ini aku mendapati dosen yang memberikan waktu istirahat untuk sholat. Memang, sih, aku baru merasakan kelas jam tiga sore di semester dua, dan hanya hari Senin-Rabu. Senin sore matkul PRD (Pengantar Rekayasa dan Desain), Selasa sore praktikum, dan Rabu sore tutorial kalkulus. Untuk Selasa sore jelas tidak bisa izin sholat di tengah praktikum. Dan untuk Senin dan Rabu sore, jujur saja aku belum penah minta izin untuk sholat (atau bahasanya izin ke toilet) di tengah pelajaran.
Kelak, seluruh kisah di bawah akan menceritakan dosen kalkulusku yang satu ini, dosen yang akan selalu kuingat sebagai dosen pertama yang memberikan waktu sholat asar di tengah pelajaran.
2. Tutor Sebelum UTS
UTS kalkulus tinggal tiga hari lagi. Aku merasa belum siap. Seperti yang sudah kusebutkan – karena materi deret konvergen dan segala tetek bengeknya yang masih sulit kupahami. Di kelas pagi tadi, Pak Prama menawarkan untuk melanjutkan review materi di jam tutorial nanti. Anak-anak di kelas pun tentu saja setuju. Jadilah untuk kedua kalinya, Pak Prama mengajar di jam tutorial kalkulus, Rabu sore pukul 15.00-17.00.
Aku pun tenang datang ke kelas. Bapaknya pasti ngasih waktu istirahat sholat, pikirku. Pak Prama pun, selalu datang pukul tiga kurang.
Pukul 15.00, Pak Prama berujar–dan bertanya, “Karena adzan asar sekarang jam 15.07, kita mulai kelasnya jam setengah empat aja ya, nanti selesainya jam 17.10. Biar yang sholat bisa sholat dulu. Gimana? Gapapa kan?” Aku dan teman sekelasku mengiyakan.
Dan saat itu aku semakin tersentak, idaman panutan banget dah si Bapak.
Sebelum berlanjut ke cerita ketiga.
H-1 UTS kalkulus, aku belajar mati-matian (ya biasalah karena baru buka buku H-2 UTS), mempelajari tiga bab yang menjadi bahan ujian, hingga pukul dua pagi, dengan semangat dan sedikit catatan di halaman pertama buku latihanku. Buat bangga Pak Prama!
3. Bukan di Jam Tutorial
Cerita ini bukan di jam tutorial, melainkan di jam kelas hari Senin pagi, pukul 07.00-09.00, tepat dua hari setelah UTS kalkulus– yang alhamdulillah ya Allah aku bisa huhu sungguh mengharukan.
Pak Prama, setelah mengucapkan salam dan selamat pagi, bertanya. “Gimana ujiannya kemaren?”
Dan seisi kelas menjawab kompak–dengan jawaban tipikal anak ITB, “Aduh Pak, lupakan Pak. Jangan dibahas.”
Bapak Dosen pun tertawa. Kemudian, beliau bertanya lagi. “Jadi, untuk sekarang, jam tutorialnya mau sama saya atau sama Pak Afif asdos?”
Seisi kelas lagi-lagi menjawab kompak, “Sama Bapaaaaaak!”
Dan jadilah, mulai Rabu, 14 Maret 2018, Pak Prama resmi mengajar tutorial kalkulus kelas 45–kelasku, mengantikan Pak Afif, sang asisten dosen, yang aku saja sering skip masuk kelas beliau, hehe.
4. Tutor Pertama–Tragedi Pertama
Aku belum pernah begitu semangat datang ke kelas tutorial kalkulus (di semester dua) seperti hari ini. Wah, kalau tutor kalkulus semester satu lain cerita. Aku semangat karena dapat belajar sambil membully kakak asdosnya, Om Azhar, hehe. Kelas hari Rabu sore, pukul 15.00-17.00 pun menjadi penyemangat bagiku untuk menjalani hari Rabu, haha. Salah satu alasannya, karena aku tak perlu takut telat sholat asar saat belajar. Alasan lainnya, tentu saja, sebuah alasan yang tak dapat dijabarkan.
Tutor kali ini akan membahas beberapa soal bab 12, tentang Turunan di Ruang Berdimensi-n. 10 menit sebelum jam tiga, aku dan beberapa temanku sudah berada di kelas, ruang 9223 GKU Timur. Papan tulis hijau ruangan tersebut memanggilku untuk aku corat-coret. Jadilah aku dan Hanafi menulis dan menggambar di papan tersebut. Aku menulis lafadz basmalah, kemudian menulis sesuatu yang akan membuatku sangat malu, calculove (tolong jangan bully saya wahai netizen yang budiman). Aku juga menulis lirik lagu Sayang milik Via Vallen.
Sayang
Opo kowe krungu
Jerite hatiku
Berharap engkau kembali
Hanafi menghapus kata hatiku dan menggantinya dengan Nadhira. Jadilah jerite Nadhira. Dan aku masih menulis lirik lagu lanjutannya.
Sayang
Nganti memutih rambutku
Ra bakal luntur tresnoku
Tepat usai selesai menulis kata tresnoku, aku membalikkan badan. Betapa terkejutnya diri ini ketika mengetahui sang dosen sudah berdiri di depan meja sambil tertawa.
“Aaaaah!” aku teriak saking kagetnya. Dan bodohnya aku, bukannya menghapus papan tulis, aku malah berlari keluar kelas. Sedetik kemudian aku baru bisa berpikir jernih. Cepat-cepat aku menghapus papan tulis, berlari ke tempat dudukku, mengucapkan “Maaf Pak, maaf Pak,”, dan menutup mukaku dengan tas Elmo-ku yang berwarna merah.
“Nggak apa-apa, semua orang boleh dan bebas berekspresi,” ucap Pak Prama sambil tertawa, yang membuatku semakin malu.
Aku berbisik kepada Hanafi yang duduk di sebelahku, sambil mendengus. “Eh Hanafi, kok lu gak bilang-bilang si Bapak udah dateng, sih?”
“Ih Nad, tadinya aku mau ngasih tau kamu. Tapi Bapaknya bilang gausah gausah, gitu,” jawab Hanafi.
Mampus gua.
0 comments