• Home
  • About
  • Contact
    • Mail
  • She Talks Football
  • Untuk Nadhira
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram

encyclopedhira

25 Ramadan 1440 H, 30 Mei 2019. Hari ini aku pulang ke Serang! Jam 7 pagi, aku berangkat dari Masjid Salman, kembali menuju tempat kosku. Aku merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang, menaruh laundry, menyapu dan mengepel kamar, serta membersihkan kamar mandi. Tepat sebelum dzuhur, aku sudah siap.

Aku pulang menggunakan travel, dan travel-ku berangkat jam 13.30 siang. Usai sholat, aku keluar kamar, mengunci pintu kamar dan utama, dan bersiap kembali ke... Masjid Salman. Ada urusan yang harus kuselesaikan, alias memindahkan foto-foto dokumentasi ke Salsa, anggota divisi dokumentasi yang bertugas menghimpun foto-foto kegiatan Ramadan. Kameraku juga masih kutinggal di sekre.

Aku datang ke gedung sekretariat P3RI, mengenakan seragam ketiga Arsenal musim 2018/2019, dan mendapati teman-temanku di dalamnya. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, menang atau kalah, aku akan tetap menggunakan baju Arsenal saat pulang.

“Udah kalah masih saja dipakai bajunya, dasar si Mbok,” celetuk seseorang. Suara medhok yang sangat khas, siapa lagi kalau bukan Iqbal.

Jawabanku hanya satu. “Bacot.”

Ada satu kegiatan (budaya P3RI lebih tepatnya) yang kusuka menjelang kepulangan seseorang. Berbondong-bondong panitia P3RI akan mengantar temannya yang hendak pulang. Kalau teman tersebut pulang menggunakan kereta, diantar ke stasiun. Bila teman tersebut pulang menaiki pesawat, diantar sampai bandara. Bahkan jika teman tersebut pulang mengendarai motor (alias orang sekitar Bandung dan Jawa Barat), dilepas bersama di tempat parkir. Kisah-kisah pengantar kepulangan lebih baik kuceritakan lain kali.

Dalam hati, aku berharap akan ada cukup banyak orang yang mengantarku pulang (hehe). Aku menelepon Ulya, Titi, Titin, Tami, dan Ata agar tidak tertidur supaya hadir mengantarku pulang.

“Mbok, travel-mu berangkat jam berapa?” tanya seseorang – Hanif. “Jam setengah dua,” jawabku.

“Mbok gak usah dianterin ya, pamitan di sini aja,” seru Iqbal, sambil mengangkat HP-nya, bersiap untuk wefie. Yap, salah satu dari kegiatan mengantar kepulangan adalah foto bersama dengan orang yang akan pulang.

“Dadah Nadhira, hati-hati di jalan ya, semoga Arsenal kapan-kapan menang.” Teman-temanku berkata seolah berpamitan denganku. Aku mendengus kesal.

Titi, yang sedari tadi menemaniku mengingatkanku untuk berangkat, karena waktu sudah menunjukkan pukul 13.12. “Ayo Ti, pesan Grab!” pintaku, panik.

“Kalian beneran gak ada yang mau antar aku?” aku memelas. Ketua P3RI, Hadad berkata, “Mobil Salman dua-duanya lagi dipakai.” Rasa kecewa sedikit menghampiriku.

Titi memesan kendaraan online. Kami berdua berjalan keluar sekre, dan ternyata diikuti oleh gerombolan penghuni sekre. Yakinlah, mereka hanya bercanda tidak mau mengantarku pulang. Hahaha, aku merasakan kemenangan.

Waktu berjalan, dan kini menunjukkan pukul 13.20. Aku menaiki mobil di bangku depan, dengan Iqbal, Rudy, Hafizhan, dan Zhafran di bangku belakang. Mobil yang dipesan Hafizhan datang lebih dulu dibanding mobil yang dipesan Titi, jadilah untuk mengejar waktu aku menaiki mobil yang dipesan Hafizhan.

“Nadhira, benar kan pesan travel hari ini?” tanya Hafizhan, mulai panik.

“Benar kok.”

“Bukan tanggal 31 Mei kan, Mbok?” Iqbal menambahkan.

“Bukan lah.”

“Benar kan jam setengah dua siang berangkatnya?” tanya Hafizhan lagi.

“Iyeee.”

“Kalau ketinggalan, bagaimana loh,” celetuk Zhafran.

“Nggak, gak akan kok,” aku begitu yakin.

Untung saja tempat travel yang akan kunaiki tidak jauh dari daerah ITB, hanya di daerah Cihampelas. Aku sampai pukul 13.28, memasuki ruang tunggu travel dan mengonfirmasi pesanan kepada petugas yang ada di sana. Aman, alhamdulillah, batinku.

Aku berjalan kembali keluar ruang tunggu travel, mendapati mobil yang ditumpangi Titi dan teman-temanku lainnya – Bayu, Fadhil, Bagus, Hanif dan sang ketua P3RI sendiri, Hadad, sudah tiba.

“Gimana Nad, gak telat, kan?” tanya Hafizhan, masih memastikan. “Aman, kok.”

Dua menit kemudian, datang tiga motor yang dikendarai teman-temanku, menghampiri tempatku berdiri. Ulya, Tami, Ata, Shofi, dan Pujas datang tepat waktu. Tak berselang lama, Titin juga sampai.

Bahagiaku membuncah. Terharu rasanya melihat teman-temanku datang untuk mengantarku pulang. Ulya, Titi, Titin, dan Ata memberikan makanan kecil sebagai hadiah untuk kepulanganku. Aku juga memberikan hadiah kepada mereka, yang sudah kuberi pagi hari sebelum kembali dari Salman.

“Hmmm, jadi gini,” salah satu suara laki-laki berkata. Aku yang tengah berbincang dengan teman-teman perempuanku menoleh.

Suara Bayu. “Mbok, berdiri di situ Mbok!” seru Hanif, sambil menunjuk tempat di hadapan Bayu. Jadilah teman-temanku mengelilingiku, dan Bayu kembali bersuara.

“Jadi ini sekadar kenang-kenangan buat mengobati yang tadi malam...” buncahlah tawa semua orang yang ada di sekitarku.

“Jadi ini, kami para ahlus sekre ingin memberikan kenang-kenangan kepada Mbak yang di depan.”

Bayu menyodorkan sebuah kotak hitam – OH itu kotak yang dipakai untuk meminta donasi alias kotak infak, memintaku untuk membukanya, dan kudapati sebuah kotak terbungkus kertas koran di dalamnya. Aku mengambilnya, dan semua orang bersorak.

“Dibukanya harus di travel ya!” seru Hanif. Aku masih tertawa.

Hafizhan merekam menggunakan HP-ku, kemudian menghadapkan kamera HP kepadaku dan bertanya, “Apa sepatah dua patah kata untuk ahlus sekre?”

Aku masih tidak bisa berhenti tertawa dan sedikit tidak percaya. Para ahlus sekre, alias bocah-bocah yang hobi meledekku dan klub kesayanganku, memberikan hadiah kepadaku.

“Untuk para ahlus sekre, terima kasih atas kenang-kenangannya. Pesanku satu, menang atau kalah, aku tetap cinta Arsenal!” seruku mantap.

Kemudian aku teringat sesuatu. Aku mengambil makanan kecil yang kusimpan di dalam bungkus berisi oleh-oleh titipan orang tua, kembali menghampiri Bayu, dan memberikannya. Sebungkus Hello Panda dan satu saset Enervon-C. Tinggal sang super korlap yang belum sempat kuberikan hadiah.

Sebagai simbolis penukaran hadiah, aku berfoto bersama Bayu, dengan saset Enervon-C di tangannya dan kotak hitam berlogo Rumah Amal Salman di belakang, yang dipegang oleh Hanif. Tak lupa, aku berfoto bersama teman-temanku yang mengantarku, minus Shofi yang memotret dan memang tidak ingin difoto.


“Nadhira kan dokum, ayo Nad fotoin kita. Nanti yang dikirim ke grup foto yang gak ada kamunya ya!” masih kurang ajar mereka ternyata.

Aku memotret mereka semua, berpamitan untuk yang terakhir kalinya, memeluk teman-temanku yang perempuan, dan masuk ke dalam ruang tunggu travel. Satu persatu, teman-temanku pulang untuk kembali bertugas di Masjid Salman. Dan tepat pukul 13.50, mobil travel berangkat dari Cihampelas.

***

Aku menatap kotak yang diberikan para ahlus sekre. Sebuah sticky notes tertempel di atasnya, bertuliskan: Semoga selamat sampai tujuan. Sekadar kenang-kenangan dari kami para penghuni tetap. Hehe. Dari para ahlus sekre.

Perlahan, kurobek kertas koran yang menutupi kotak tersebut. Sebuah kotak Beng-Beng ternyata. Aku membuka kotak Beng-Beng tersebut, dan ternyata berisi minuman Fruit Tea, air mineral gelas, dan kue basah, yang kutahu, semua makanan, minuman, bahkan kotak tersebut merupakan barang-barang yang terdapat di dalam sekre yang merupakan donasi dan selalu dibagikan kepada panitia saat berbuka, alias makanan gratis. Dasar tidak modal.

Yang menarik perhatianku bukan makanan ataupun minumannya. Di dalam kotak Beng-Beng tersebut terdapat banyak sekali sticky notes yang berserakan. Aku mengambil satu-persatu kertas-kertas tersebut, kemudian membacanya.

Aku mengernyitkan dahi dan tertawa dalam hati.

4esena1
Eh ini 4-1 ya?
Semoga yang disemogakan untuk 4rsena1 dapat disegerakan
I love Chelsea...
Fii 4maan1llah Nadhira
Semangat N4dh1ra! :)
Dadah Mbok Dhir! Walaupun 4rsena1 kalah, kamu tetap pemenangnya kok
Kamu spesial kayak 4rsena1

Hampir semua tulisan mengandung unsur 4-1. Memang kurang ajar sekali teman-temanku ini. Tapi yang lebih lucu adalah tulisan-tulisan ini:

Sampai jumpa lagi di 1 4 4-1
Sampai bertemu di 14 4-1 H.
P3RI 144-1 H. menunggumu tahun depan

Aku tersenyum membacanya. Siapa sangka, kekalahan klub yang sudah kudukung hampir sembilan tahun ini malah membuat sebuah kenangan yang tidak terlupakan di Bulan Ramadan.

Aku menaruh kembali kertas-kertas yang sudah kususun rapi ke dalam kotak, menutupnya, sembari mengaminkan, semoga aku dan teman-temanku kembali bertemu pada Ramadan 1441 H. tahun depan.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Malam itu, malam ke-25 bulan Ramadan. Pukul satu dini hari, aku berjalan melewati selasar Masjid Salman ITB, mendekapkan selimut ke tubuhku dengan erat, ketika aku mendengar suara berisik orang-orang berbicara dan berusaha mencari sumbernya. Rupanya teman-temanku, tengah berbincang dan bercanda sambil mencuci gelas di bawah selasar. Aku menghampiri, dan melihat dari atas. Belum ada yang menyadari keberadaanku. Mungkin karena aku tertutupi selimut.

“Lho, si Mbok toh,” seru salah satu temanku. Aku tertawa. Akhirnya mereka sadar juga. “Kukira jamaah lho,” lanjutnya.

Salah satu yang sedang membilas gelas-gelas yang telah diberi sabun, Risyam, tiba-tiba menceletuk. “Eh Nad, hari ini ya, Arsenal vs Chelsea,” Aku mengiyakan. “Ayuk nobar!” kata temanku yang lain, Fadhil. Halah, wacana, batinku dalam hati.

Aku meninggalkan para pasukan cuci gelas dan menaiki tangga ke arah koridor timur. Martabak asin sedang kutenteng, dan seperti malam-malam sebelumnya, aku berkeliling membagikan makanan kepada panitia yang sedang berjaga. Karena malam ini malam ganjil, koridor timur Masjid Salman penuh sesak orang yang sedang tidur maupun mengaji. Untuk berjalan dari sisi selatan ke utara, menghampiri salah satu panitia yang berjaga pun susah sekali.

Pukul 01.30. Suara pengumuman terdengar, bahwa sesaat lagi akan dilaksanakan sholat qiyamullail. Jamaah bangun, dan berbondong-bondong pergi menuju tempat wudhu dan toilet. Aku mengecek HP. Nama-nama strating XI Arsenal sudah keluar. Menurutku, komposisi terbaik dari skuat yang ada. Oke, aku harus optimis, walau masih meninggalkan rasa waswas di dada.

Babak pertama berakhir 0-0. Tepat saat jeda istirahat, pembagian sahur dimulai. Aku berdiri di depan kantung sampah di tangga koridor menuju tempat wudhu, membantu bagian pemilahan sampah.

Sembari menjadi pemandu pemilahan sampah, aku menonton kembali babak kedua pertandingan Arsenal vs Chelsea. Untunglah di dekat tempat sampah ada kotak infak super besar sehingga aku dapat menaruh HP-ku di sana. Temanku memotretku dan mengirimkannya ke grup Line.

Babak kedua baru berjalan beberapa menit, ditambah koneksi internet yang tidak terlalu baik, aku menyaksikan gol pembuka Chelsea yang dicetak oleh mantan punggawa Arsenal, Olivier Giroud. WHAT?! Teriakku dalam hati. Tidak mungkin aku berteriak di tengah keramaian orang-orang.

Arsenal kan memang sampah. Tiba-tiba muncul notifikasi pesan Line dari salah satu temanku, yang dikirim ke grup Line.

Firasatku mulai memburuk. Aku melihat sekeliling, dan mendapati di meja pembagian sahur, ada HP yang tergeletak di atasnya, menayangkan pertandingan bola. Aku menghampiri. “Dukung mana?” cerocosku. Seorang wanita menoleh. “Arsenal, kak,” jawabnya.

“Wah, kamu Gooners juga?” seketika aku bersemangat menemukan pendukung Arsenal lain di tengah jam tiga malam, perempuan pula. Jadilah urusan pemilahan sampah kutinggalkan sebentar (beruntung ada yang datang membantu) untuk berbincang-bincang dengan sesama pendukung Arsenal, yang kutanya namanya adalah Syifa.

Aku kembali melanjutkan membantu pemilahan sampah, sambil sekali-kali melirik HP-ku yang masih berada di atas kotak infak super besar tersebut. Berjarak 11 menit dari rasa shock gol pembuka Giroud, Chelsea menambah pundi-pundi golnya. Kali ini lewat Pedro. APA?! Aku kembali berteriak dalam hati. Konsentrasiku pecah, tak mampu lagi membantu memilah sampah. Kukatakan pada temanku yang sama-sama berjaga di bagian pemilahan sampah, “Ata, aku gak kuat. Aku mau pergi dulu, ya.” Ata, yang tahu maksud mengapa-aku-bilang-tidak-kuat, mengangguk seraya berkata, “Semangat, Dhir.”

Berjalanlah aku di tengah selasar Masjid Salman sambil menatap layar HP. Aku butuh udara segar. Masih sambil menonton, aku berjalan menyusuri jalanan setapak Salman menuju lapangan rumput bagian timur Salman, melewati gedung sekretariat P3RI, dan duduk di antara bebatuan dekat menara Masjid Salman. Koneksi internetku kembali tidak stabil. Aku mencoba me-refresh ulang halaman tempat aku menonton, dan saat koneksi internet sudah mulai membaik, APA-APAAN INI??!! KOK JADI 3-0???!!!!

“WHAT THE–!!!” akhirnya aku bersuara. Tepat saat internetku bermasalah, Eden Hazard menambah keunggulan Chelsea lewat eksekusi tendangan penalti.

Aku kembali berjalan perlahan, menuju selasar Masjid Salman untuk mengambil makanan sahur milik panitia. Baru menginjak lantai selasar Salman, Alex Iwobi memunculkan sedikit harapan para pendukung Arsenal lewat golnya, tak lama setelah penalti Hazard. “AAAAAH!” aku berteriak, dan tiba-tiba saja para jamaah Masjid Salman ITB yang sedang berada di sekitar selasar menatapku. Oh tidak. Menahan rasa malu, aku langsung berlari, menaiki tangga, dan menuju ruangan panitia perempuan. Aku membuka pintu, dan segala ocehan keluar dari bibirku.

Notifikasi grup Line semakin bermunculan. Risyam si pendukung klub ayam London Utara mengirim live report pertandingan Chelsea vs Arsenal, yang membuat teman-temanku (terutama laki-laki) semakin meledekku. Aku masih bertahan menonton pertandingan ini. Baru saja rasanya aku duduk di karpet di ruangan panitia perempuan, Eden Hazard mencetak gol lagi, yang membuat Chelsea semakin meroket dengan skor 4-1. “APA??!!” lagi-lagi aku teriak. Dan teriakanku membangunkan salah satu temanku yang tengah tertidur. Ya ampun, maaf ya.

Tepat menit 80, aku menyerah, tidak mau menonton lagi. Lebih baik aku mengambil makan sahur, dan membantu keberjalanan penyelenggaraan itikaf pagi ini.

Makan sahur panitia kali ini adalah nasi dan Ayam Takol, yang sudah kuidamkan sejak seminggu terakhir bulan Ramadan. Hanif membawa bungkusan nasi ayam takol ke depan pintu ruangan panitia perempuan. Aku keluar, mengambil bungkusan tersebut, dan mengucapkan terima kasih. Satu kalimat yang Hanif lontarkan, “Sampah Arsenal, sampah!”

“Bacot,” jawabku, setengah teriak. Seorang jamaah ibu-ibu tengah berjalan, seketika melihatku. Oh, berapa kali aku mempermalukan diri sendiri hari ini.

Pertandingan usai, dan skor 4-1 tidak berubah hingga peluit panjang dibunyikan. Gagal sudah klub kesayanganku membawa pulang trofi Liga Europa, dan gagal pula Arsenal menembus Liga Champions lewat jalur prestasi. Dan habis pula aku diolok-olok satu isi grup Line.

Beginilah nasib.
Waktu sudah melewati pukul 4. Aku belum mengambil makanan sahurku, walaupun sudah tersedia beberapa bungkus nasi ayam takol. Dengar-dengar jatah nasi untuk panitia kurang, makanya aku memilih agar panitia lain dulu yang mendapatkannya. Kembali aku berjalan di tengah selasar Masjid Salman, kali ini berpapasan dengan Titin. Aku mengajak Titin untuk mencari makanan sahur, ia mengiyakan, dan jadilah kami berdua jalan hendak ke luar.

Tepat saat aku berada di depan ruang sekretariat P3RI, sebuah suara memanggilku. “Mbok, mau ke mana Mbok? Sudah sahur belum?” sahutnya. Suara Iqbal rupanya. Aku berhenti, menengok ke dalam ruangan, dan menjawab, “belum.”

Iqbal menyuruhku mengambil jatah nasi ayam takol panitia laki-laki yang berlebih (bahkan ada yang tengah makan porsi keduanya) dan memberikan tempe yang disajikan di piring. Aku (sudah pasti) mengambilnya, mencomot dua butir tempe dan berterima kasih kepada para panitia laki-laki yang sedang berada di sekre. Agak mencurigakan mengapa tiba-tiba mereka jadi baik...

“Sahur yang banyak ya Mbok, biar gak sedih lagi,” ucap Iqbal saat aku berjalan keluar dari sekre.

***

Adzan subuh berkumandang. Aku wudhu kemudian mengikuti sholat subuh berjamaah di dalam Gedung Serba Guna (GSG) Masjid Salman ITB. Usai sholat, aku langsung kembali ke ruangan panitia perempuan, mengambil kamera, dan bertugas sebagai mestinya kerjaan divisiku: dokumentasi. Aku memotret beberapa foto penceramah kuliah subuh pagi ini. Setelah dirasa cukup, aku kembali berjalan melewati selasar. Aku sedang melihat foto-foto hasil jepretanku ketika seseorang menyapa, “Nadhira.”

Aku menoleh. Hafizhan rupanya. “Nadhira, innallaaha ma’as shoobiriin.” ucapnya. Aku tertegun. Jelas aku tahu maksud omongannya. Sesaat kemudian, aku tersenyum.

Lagi-lagi, kudengar suara berisik, yang kutahu pasti dari mulut pasukan pencuci gelas. Aku menuruni tangga menuju bagian samping tempat cuci gelas, melakukan pekerjaan yang belum sempat kulakukan sepanjang Ramadhan ini – memfoto kegiatan ikonis cuci gelas! Terdapat banyak orang di sana. Ada Hanif, Bayu, Fadhil, Yusril, Rudy, Fajar, Arie, juga yang baru saja datang, Hafizhan. Di tengah cahaya yang minim, aku memotret aktivitas mencuci dan membilas hampir 300 gelas milik Masjid Salman, sembari berharap ada foto yang cukup baik, tidak blur.

Aku berpindah dari posisi satu ke posisi lainnya, masih mendokumentasi kegiatan mereka. Aku duduk di tangga samping tempat cuci gelas, memotret beberapa foto kemudian melihat hasilnya.

“Heh, Dhir, kok diem aja? Gak usah terlalu sedih dong, mentang-mentang Arsenal kalah.”

Eh? Aku menengok ke arah sumber suara. Rudy, di tengah memberikan sabun pada gelas, mencerocos kepadaku. “Hah? Nggak kok,” tawaku.

(berlanjut ke bagian 2)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Alex Morgan menenangkan pemain timnas Thailand

Berawal dari kemenangan Amerika Serikat atas Thailand pada perhelatan Piala Dunia Wanita 2019, berbagai komentar bermunculan. Pertandingan grup F ini berakhir dengan skor fantastis 13-0 untuk kemenangan Amerika Serikat. Alex Morgan dkk. berhasil mematahkan rekor pertandingan Piala Dunia Wanita dengan skor terbanyak, setelah sebelumnya dipegang oleh kemenangan 11-0 Jerman atas Argentina.

Komentar-komentar berdatangan setelah melihat timnas AS melakukan selebrasi pada gol keenam, ketujuh, hingga ketiga belas. Komentar-komentar juga muncul mempertanyakan pemerataan kualitas permainan sepakbola wanita. Bagaimana kejamnya para pemain Amerika Serikat masih melakukan selebrasi dan tidak menghargai kondisi psikologis pemain lawan. Bagaimana salah satu tim terbaik (seharusnya) benua Asia yang berkancah di turnamen terakbar sepakbola wanita tidak memiliki kualitas kelas dunia.

Maka, izinkan saya menyatakan pendapat mengenai satu dari dua hal tersebut – tentang selebrasi.

Sepakbola adalah medan perang selama 90 menit. Apa yang terjadi dalam lapangan, selesaikan dalam lapangan. Tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai.

Dalam permainan sepakbola, terdapat tim yang menang, tim yang kalah, maupun hasil imbang. Setiap tim pasti menginginkan kata menang di akhir setiap pertandingan. Setiap tim berlatih, bekerja keras, mengatur strategi dan taktik bagaimana cara agar menang dalam menghadapi lawan. Karena itulah, selebrasi usai mencetak gol ada sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras dan pantang menyerah. 13 gol yang dilancarkan ke gawang timnas Thailand membuktikan kerja keras para pemain Amerika Serikat mempersiapkan perang.

Apakah itu salah? Menurut saya, tidak. Dalam sebuah peperangan, yang dipikirkan hanyalah diri masing-masing kubu. Menghabisi lawan perang, tentulah kubu yang menang merayakan keberhasilan mereka. Keberhasilan yang didapatkan dengan berbagai latihan hingga darah penghabisan. Sama halnya dalam sepakbola. Medan perang 90 menit menjadi saksi tim mana yang berkuasa hingga peluit akhir dibunyikan. Euforia pertandingan sepakbola tidak akan hilang sebelum berakhirnya permainan.

Namun, dibalik semua ambisi memenangi peperangan, setiap kubu juga belajar bagaimana mengantisipasi kekalahan. Tak boleh ada kata menyerah sebelum perang benar-benar usai, walau kekalahan terpampang depan mata. Sepakbola pun demikian. Morris Gleitzmann dalam bukunya Boys Overboard menulis: Ingat prinsip sepakbola. Jangan pernah menyerah, meskipun kelihatannya tidak ada harapan. Jelas kekuatan Thailand jauh dibawah Amerika Serikat. Namun satu, mereka tetap menendang dan mengoper, berharap suatu kesempatan melawan muncul. Timnas Thailand tentu menerapkan prinsip yang telah disebutkan. Selama peluit panjang akhir pertandingan belum ditiupkan, masih ada satu per sekian harapan.  

Ingat kedua pertandingan semifinal Liga Champions musim 2018/2019? Ya, sepakbola dapat menjadi sebuah cerita dengan plot twist terbaik. Tanpa sifat pantang menyerah, tidak mungkin Liverpool berbalik memecundangi Barcelona 4-0 di Anfield dan tidak mungkin Tottenham Hotspurs berbalik menghabisi Ajax 3-2 setelah tertinggal 2-0 di babak pertama.

Satu hal yang tidak boleh terlupakan dalam setiap kubu yang hendak berperang. Masing-masing kubu harus mempersiapkan bagaimana menghadapi kekalahan. Perang boleh saja kalah, namun mental harus tetap juara.

Kekalahan 13-0 mungkin tidak akan bisa dilupakan oleh timnas Thailand. Sama halnya dengan takluknya Brazil 1-7 di tangan Jerman dalam babak 16 besar Piala Dunia (Pria) 2014 lalu. Juga kekecewaan saya melihat tim kesayangan dibantai 1-4 dalam pertandingan final Liga Europa. Perasaan sedih pasti muncul, menimbulkan satu pertanyaan mengganjal pikiran:

Sia-siakah segala kerja keras dan bermacam jenis latihan yang telah dilakukan?

Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Ia dapat menjadi pelajaran, tetapi teruslah melihat ke depan. Luka goresan kekalahan perang mungkin membutuhkan waktu lama untuk hilang, namun mempersiapkan beribu perang di masa depan jauh lebih penting untuk dilakukan. Itu juga yang terjadi dalam sepakbola. Timnas Thailand harus segera berbenah, kembali mempersiapkan amunisi untuk laga selanjutnya dalam putaran grup Piala Dunia Wanita 2019. Kalau kata manusia zaman sekarang, move on.

Kembali ke pertanyaan awal. Lantas, pantaskah timnas Amerika Serikat terus melakukan selebrasi merayakan ketiga belas golnya? Tidak pikirkah mereka akan kondisi mental para pemain Thailand?

Sekali lagi saya katakan. Sepakbola adalah medan perang selama 90 menit. Apa yang terjadi dalam lapangan, selesaikan dalam lapangan. Tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai.

Tak ada yang salah dengan merayakan setiap pundi-pundi gol yang diciptakan. Tak ada yang salah untuk tidak selebrasi menghadapi mantan klub maupun melakukan selebrasi ke setiap gol yang dilancarkan. Rasa sakit hati pasti ada, namun saya yakin, setiap pemain dilahirkan dengan mental juara. Jika menang dirayakan, jika kalah diambil pelajaran.

Karena tepat saat peluit akhir dibunyikan, perang pun usai. Tak ada lagi kata lawan, yang ada hanyalah kawan. Setidaknya itulah yang dicontohkan kapten Amerika Serikat, Alex Morgan, yang setelah pertandingan menghampiri para pemain Thailand, memberikan simpati untuk mengurangi sakit hati akibat kekalahan. Morgan, pemain yang mencetak lima gol dalam pertandingan tersebut, menunjukkan bahwa selebrasi dalam pertandingan hanya terjadi dalam 90 menit waktu permainan sepakbola. Usai itu, rasa hormatlah yang muncul bagi masing-masing tim.

Di waktu yang tidak jauh berbeda, dunia sepakbola juga menyaksikan kekalahan 9-0 San Marino atas Rusia. Selebrasi kemenangan tentu dilakukan. Namun, para pendukung timnas Rusia memberikan rasa hormat kepada penjaga gawang San Marino atas permainan apik yang ia lakukan. Pendukung timnas Rusia memberikan apresiasi dengan mengirim pesan ke akun Instagram kiper San Marino. Walau kebobolan sembilan gol tanpa balas, sang penjaga gawang Elia Benedettini tetap memberikan berbagai penyelamatan krusial.

Itulah seharusnya sepakbola. Menjunjung tinggi sportivitas, juga solidaritas.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Berawal dari sekre P3RI,
Menjadi tempat tepat menaruh barang pribadi

Ramadan masih beberapa minggu lagi. Praktikum studio komputasi dimulai pukul 11.30. Tak ada tanda-tanda akan asistensi, aku berjalan menuju Masjid Salman ITB, dan mampir ke ruang sekretariat P3RI 1440 H. Hari itu, pertama kali aku berkunjung ke sekre. Aku tidak tahu dimana kunci sekre bagian akhwat berada. Aku bertanya di grup Line, namun tidak ada yang menjawab. Ya sudahlah.

Aku duduk di sofa depan ruang sekre akhwat sambil melanjutkan mengerjakan tugas studio komputasi yang tidak lama lagi dikumpulkan. Jam 11, dua orang, Shofi dan Sakina datang. Mereka heran mengapa aku tidak masuk ke dalam. Kujawab, aku tak tahu dimana kunci sekre disimpan. Sakina menunjukkan tempat menyimpan kunci, dan aku berteriak oooooh disitu!

Jadilah beberapa menit aku merasakan hawa ruang dalam sekre P3RI. Tak lama, karena aku harus kembali ke gedung arsitektur untuk praktikum. 11.20, kusimpan tas dan laptopku di dalam sekre, dan pergi menuju kampus. Aku menitip pesan kepada Shofi dan Sakina, bahwa aku akan kembali pukul dua siang. Berawal dari situlah, aku semakin sering berkunjung ke sekre P3RI. Hanya untuk sekadar duduk, makan, bahkan mengerjakan tugas!

Berawal dari sekre P3RI,
Menjadi tempat melepas lelah – terkadang tak tahu diri

Ujian akhir semester mulai berdatangan. Satu hal yang menyenangkan dari minggu ujian hanyalah: tidak ada lagi kegiatan belajar hingga jam lima sore! Waktu selesai ujian rata-rata jam 12 siang. Hampir setiap selesai ujian, aku mampir ke sekre. Menaruh tas, kemudian tidur-tiduran. Biasanya terdapat bantal di pojokkan (jangan pernah tanya itu bantal siapa). Kulihat beberapa anak sedang membungkus kurma. Kukatakan pada mereka, “Eh, aku bantu bungkus kurmanya nanti ya, aku mau tidur dulu.”

Dasar Nadhira, malah enak tidur di tengah pekerjaan orang lain.

Berawal dari sekre P3RI
Perjalanan Ramadanku pun dimulai.

***

Di dalam sekre P3RI,
Tidak pernah padam lantunan suara membacakan ayat suci

Dimulai 1 Ramadan, rutinitasku sore hari adalah pergi ke Salman dan mendokumentasi acara Irama (Inspirasi Ramadan), yaitu talk show dengan mengundang pembicara-pembicara hebat dalam berbagai bidang. Sebelum melaksanakan tugasku, seperti biasa aku menaruh tas dan peralatan kameraku di sekre. Melangkahkan kaki ke sekre, selalu terdengar suara orang mengaji dari dalam. Bukan hanya satu atau dua orang, melainkan hampir setiap orang yang sedang berada di sekre tidak lepas dari Alqurannya. Baik ikhwan maupun akhwat, baik sekre bagian luar, dalam, atau ruangan BO di lantai atas.

Usai bertugas, sembari menunggu waktu berbuka, aku menyempatkan diri mengaji di dalam sekre. Malu rasanya bila hanya duduk di dalam sekre tanpa melakukan apa-apa.

Suara syahdu orang-orang membaca kalam Ilahi tidak hanya terdengar saat sore hari. Sehabis maghrib, beberapa orang yang belum mau makan malam, menyibukkan diri dengan mengaji. Pun jika aku kembali setelah tarawih. Yang tidak sholat dan bertugas menjaga sekre menghabiskan waktu dengan mengaji. Tak ada perasaan lebih tenang daripada ikut mendengarkan ayat-ayat suci yang tengah dibacakan.

Di dalam sekre P3RI,
Kebersamaan, persahabatan, dan kekeluargaan perlahan terjadi

Salah satu yang kusuka dari kepanitiaan di Salman adalah aku dapat bertemu teman-teman lintas angkatan, lintas universitas, bahkan lintas jenjang pendidikan. Saat-saat membungkus kurma sebelum Ramadan, banyak mahasiswa TPB datang membantu. Teman-teman satu angkatan yang mungkin belum kukenal, dipertemukan di dalam sekre P3RI. Atau mahasiswa universitas lain seperti UPI dan UIN juga banyak kutemukan. Bahkan, tak jarang aku bertemu panitia yang masih mengenakan seragam SMA dan baru saja lulus. Baru kusadari setelahnya, salah satu dari mereka pernah menjadi peserta mata acara P3RI tahun-tahun sebelumnya.

Aku kenal P3RI (dulu program Ramadan dan Idul Adha dipisah) sebelum aku diterima di ITB. Menjadi peserta PPA (Para Penghafal Qur’an) tahun 2017 (1438 H.), aku berkenalan dengan kakak-kakak tingkat mahasiswa ITB dan teman-teman seperjuangan PPA. Aku ingat, saat itu hari pengumuman jurusan mahasiswa TPB ITB. Aku bertanya kepada kakak-kakak panitia tentang jurusan yang mereka dapatkan, sekaligus bercerita bahwa aku mendaftar ke ITB dalam pilihan SBMPTN-ku. Dua hari setelah program PPA habis dan pengumuman SBMPTN keluar, aku berazam, tahun-tahun yang akan datang, aku akan membantu program P3RI ini.

Di dalam sekre P3RI,
Bahagia itu sederhana, hanya dengan gorengan menjadi saksi

Tidak perlu mahal untuk berbuka puasa dengan nikmat. Cukup kebersamaan yang membuat kurma dan teh manis hangat menjadi lebih lezat. Mungkin, sedikit tambahan gorengan akan membuat buka puasa menjadi lebih dahsyat.

Terdapat kotak infak buka puasa yang selalu diedarkan setiap sore untuk dibelikan gorengan. Menjelang maghrib, dua bungkus gorengan sudah tersedia di dalam sekre. Panitia yang sedang berada di sekitar Salman (jika tidak bertugas) diajak berbuka di dalam sekre, menyantap hidangan berbuka dan berebutan mengambil sang gorengan favorit, cireng.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Aku menemukan banyak orang yang kukagumi

Dibalik kekonyolan teman-temanku, terdapat banyak orang-orang hebat dan berdedikasi di dalamnya. Ada ketua P3RI yang kelihatannya gabut padahal sibuk di belakang dengan orang-orang besar, ada yang sukarela jika uangnya dipakai tidak minta ganti ke bendahara, ada juga yang jauh-jauh dari Tangerang hanya untuk membantu P3RI sambil menunggu hasil UTBK 2019.

Tak hanya itu. Aku menemukan militan logistik yang selalu bertanya, “Ada kerjaan gak? Gabut nih,” padahal aku jarang melihatnya bersantai dalam sekre. Bahkan, sang militan logistik menjadi super korlap yang selalu mengecek ketersediaan kencleng, dokumentasi, hingga mengecek apakah gelas sudah dicuci atau belum. Dalam perjalanannya kembali ke kampung halaman, ia masih saja menjadi super korlap–online.

Belum lagi para pejuang itikaf, yang siap berjaga sepanjang malam demi keamanan para jamaah itikaf. Dari pagi melayani pendaftaran dan kebutuhan peminjaman barang, memastikan pembagian konsumsi berbuka dan sahur berjalan lancar, hingga mencarikan barang-barang yang dibutuhkan jamaah secara tiba-tiba.

Dedikasi teman-temanku tidak hanya berlaku ketika masih berada di Salman. Dari kampung halaman pun mereka masih mengatur presensi kehadiran untuk memastikan jumlah konsumsi panitia, juga memastikan sumber daya yang cukup untuk kelancaran kegiatan Ramadan di Salman.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Selalu ada ibadah untuk setiap waktu yang dilewati

Saat itu sudah lewat tengah malam. Aku berjalan turun dari Gedung Serba Guna Masjid Salman ITB melewati pintu belakang, sambil membawa dua kotak martabak. Di waktu jaga malam itikaf, aku mempunyai tugas khusus. Membagikan konsumsi kepada panitia yang sedang berjaga. Aku bolak balik koridor timur-balkon-GSG untuk memberikan sedikit energi kepada teman-teman yang berjaga lewat makanan yang kuberikan.

Aku melihat satu temanku sedang duduk dan menunggu galon penuh di tempat pengisian air. Banyak galon yang harus diisi dan tersedia sebelum waktu sahur datang. Sembari menunggu, kudapati ia sedang membuka mushaf Alqurannya, mengaji. Aku tertegun. Selalu ada waktu dan tempat untuk beribadah, sesibuk apapun. Aku melewatinya, dan kemudian naik ke koridor timur dan melihat semakin banyak temanku yang terbangun dan berjaga malam, tengah mengaji. Aku memanggil mereka satu persatu, membagikan martabak, dan kembali berkeliling.

Usai berkeliling, dan martabak yang masih menyisakan dua potong, aku kembali kepada temanku yang masih setia mengisi galon. Kutawarkan padanya martabak. Seketika bersinar wajahnya menerima sepotong kecil makanan dariku. Ia tersenyum, berterima kasih. Dan satu potong lainnya kuberikan kepada teman lain yang berjaga di selasar Masjid Salman – lagi-lagi tengah mengaji. Hatiku berbunga sekali, melihat teman-temanku bahagia walau hanya karena sepotong makanan.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Aku bahkan tak begitu bersedih – tim kesayanganku baru saja kalah melawan Chelsea!

Malam sebelum aku pulang ke kampung halaman. Hampir semua temanku mengetahui klub sepakbola kesayanganku, dan bersiap menyaksikan final Liga Europa 2019. Tidak ada nonton bersama, yang ada hanyalah malam-malam itikaf seperti biasa – jaga malam, mengisi galon, membangunkan qiyamullail, mencuci gelas, dan membagikan sahur.

Arsenal kalah, dan teman-temanku meledekku. Aku sedih, tentu saja. Namun, kesedihan itu berkurang, lantaran teman-teman yang menghabisiku malah membuatku tertawa. Usai subuh, aku berjalan melewati selasar Masjid Salman, menenteng kamera untuk mendokumentasi kegiatan. Tiba-tiba, satu temanku menyapaku, sambil berkata. “Nadhira, innallaaha ma’as shoobiriin.” Sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Bagaimana aku tidak tersenyum dan terenyuh. Seusai kekalahan Arsenal, temanku menghiburku dengan ayat Alquran.

Kisah kekalahan Arsenal ini masih panjang, dan biarkan aku bercerita dalam satu halaman tersendiri.

Menghabiskan waktu di P3RI,
Selalu ada 1001 kisah dalam 1001 malam yang dilalui
Dan berjuta hikmah yang selalu menghampiri
Membuat bulan Ramadanku memiliki arti
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Nadhira KA, 21. An architecture student who loves photography and proudly be as a Gooner.

Follow Us

  • twitter
  • instagram
  • behance

Categories

  • Nadhira dan Cinta Pertama
  • karena kita; Axiora
  • kehidupan ITB
  • kepingan kenangan

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  November 2023 (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
  • ▼  2019 (5)
    • ▼  June 2019 (4)
      • 4-1 di 40 (bagian 2)
      • 4-1 di 40 (bagian 1)
      • Sepakbola adalah Medan Perang Selama 90 Menit
      • Berawal dari Sekre P3RI
    • ►  May 2019 (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
  • ►  2017 (45)
    • ►  December 2017 (3)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  August 2017 (1)
    • ►  July 2017 (15)
    • ►  June 2017 (5)
    • ►  May 2017 (14)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  September 2016 (3)
    • ►  August 2016 (3)
    • ►  July 2016 (6)
    • ►  June 2016 (6)
    • ►  May 2016 (4)
    • ►  April 2016 (7)
    • ►  March 2016 (2)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (46)
    • ►  December 2015 (8)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  September 2015 (4)
    • ►  August 2015 (6)
    • ►  July 2015 (3)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (1)
    • ►  April 2015 (3)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (8)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (24)
    • ►  December 2014 (7)
    • ►  November 2014 (4)
    • ►  October 2014 (12)
    • ►  September 2014 (1)

Facebook

ThemeXpose