Mabok Marjan; Idul Adha Ketiga di Perantauan
Aku keluar
dari asramaku pukul 6.15, lengkap dengan gamis marun dan pashmina cokelat susu.
Mukena kubawa, sajadah kutenteng. Aku berjalan bersama beberapa temanku, menuju
lapangan upacara MAN Insan Cendekia Serpong, untuk melaksanakan sholat Idul
Adha.
Suara
takbir tak pernah berhenti bergema. Semalam suntuk para siswa laki-laki
bergantian mengumandangkan takbir, bergantian dengan yang menjaga sapi dan
kambing. Anggota OSIS pun membantu menyiapkan mimbar dan mikrofon di lapangan
upacara untuk pelaksanaan sholat Idul Adha 1437 H.
Aku
menggelar sajadahku di barisan cukup depan. Lapangan upacara sudah dipenuhi
siswa, guru, orang tua, bahkan warga sekitar. Tepat pukul 6.30, sholat Idul
Adha dilaksanakan, dan dilanjutkan dengan khotbah Idul Adha.
“Sawwuu
sufuufakum. Rapat dan luruskan shaf kalian, karena kesempurnaan
sholat terletak pada lurusnya shaf,” ujar sang imam sebelum memulai
sholat. Para jamaah, terutama para siswa bergegas merapatkan barisan. Shaf depan
kosong, diisi. Ada jarak, dirapatkan. Tak ada barisan yang bolong. Biarlah
sajadah tertinggal di shaf bagian belakang, yang penting berusaha
menyempurnakan sholat.
Dan hal
itulah yang paling kusuka dalam setiap pelaksanaan sholat Idul Adha, yang
membuatku berpikir bahwa aku lebih menyukai sholat Idul Adha dibandingkan Idul
Fitri.
Ini yang
ketiga kalinya aku merasakan lebaran jauh dari rumah. Namun, suasana lebaran
tetap terasa. Berkumpul bersama keluarga bernama teman dan angkatan, opor yang
menjadi menu sarapan di kantin, hingga memakai baju kembar.
Bicara
baju kembar, angkatanku (akhwat) kali ini sepakat menggunakan dress code
berwarna marun. Sedangkan yang ikhwan gagah dengan koko biru dongkernya.
***
Jadilah
setelah merapikan tempat pelaksanaan sholat menjadi waktu narsis. Foto kamar lah,
foto kelas lah, foto bestie lah, hingga foto angkatan
bersama. Hari itu, Axiora Vandernata Eternallic, memotret kenangan barisan
merah-biru, di depan monumen Insan Cendekia.
Namun,
euforia Idul Adha di Insan Cendekia lebih dari itu. Setelah bergamis dan
berkoko ria, kami kembali mengenakan kaus – pakaian sehari-hari anak asrama. Bersiap
untuk perjuangan tanpa lelah demi setusuk sate!
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, kelas XII bertugas mengolah daging qurban dan
memasaknya menjadi sate untuk dibagikan kepada seluruh civitas yang tinggal di
kompleks MAN Insan Cendekia Serpong. Jika setiap orang mendapat lima tusuk
sate, sedangkan siswa Insan Cendekia (tiga angkatan) berjumlah 420 orang dan ada
sekitar 120 guru dan pegawai yang tinggal dekat asrama, berarti 114 anggota
Axiora harus membuat 2.700 tusuk sate!
Eksekusi
penyembelihan dimulai pukul 8.00 pagi. Jam 9-an, anak Axiora yang sudah
berjejer tak jauh dari tempat pengulitan dan pencacahan mulai bekerja. Ada yang
mencuci daging, memisahkan tulang dan daging, memotong menjadi kecil, juga
menusuk sate. Tak lupa juga beberapa anak ikhwan yang bertugas memindahkan
daging berkilo-kilo dari tempat pencacahan ke tempat kami kerja. Walau ditemani
teik matahari, semua kami lakukan dengan senang hati.
Aku kebagian
tugas memisahkan daging dan tulang. Karena yang dipakai adalah daging kambing,
maka memisahkannya membutuhkan waktu cukup lama. Berkali-kali tanganku terkena
pisau, hingga aku tidak bisa membedakan mana darahku dan darah kambing.
Menjelang
dzuhur, pekerjaan memisahkan daging dan tulang sudah selesai. Aku kembali ke
asrama dan menyadari betapa bau kambingnya diriku.
Menjelang
sore, beberapa anak ikhwan mulai membakar sate dan membuat bumbunya. Dipandu
oleh saudara Afif Nur Setiawan, semua sate berhasil dibakar. Biar malamnya
tinggal dihangatkan. Berterima kasih pula kepada Azfar Ahnaf dan kawan-kawan
yang bersemangat membuat tempat bakaran sate.
***
Yang
ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah Isya, kami berkumpul di Gedung Serba Guna
untuk memulai acara Bastian, Bakar Sate Tiga Angkatan. Sembari sate
dihangatkan, kami disuguhi video-video buatan anak Axiora dua tahun ke belakang.
Ada video opening beberapa acara OSIS, video kelas yang dilombakan dalam
acara OSIS, hingga tugas cover lagu satu pelajaran tertentu.
Tiga
angkatan Insan Cendekia, Axiora-Discaria-Elcasa tak kuasa menahan tawa melihat
video-video tersebut. Sambil menikmati sate kambing beserta bumbu kacangnya (yang
setelah dipikir ulang pasti terkontaminasi keringat anak ikhwan, ewh), juga
sirup dingin penyegar suasana, kami berkumpul menurut kelas matrikulasi,
sekaligus pengenalan kakak-adik absen.
Karena
esoknya sekolah, pukul 21.30 acara pun selesai. Tinggalah anak Axiora yang
tersisa di GSG. Kami merapikan GSG, menyapu dan menyingkirkan meja yang
digunakan dalam acara, dan meninggalkan suatu masalah; Minumannya masih banyak!
Di luar
GSG, kami berpesta. Bergelas-gelas sirup Marjan kami habiskan. Dari mulai
dituang oleh sendok, hingga menciduk sendiri ke dalam kuali besar berisi sirup.
Ditambah musik-musik Indonesia zaman nostalgia, membuat suasana semakin hangat.
Beberapa
anak ikhwan menuangkan sirup ke dalam botol sirup, dan meminumnya seolah-olah
sedang mabuk. Berjalan sambil oleng, kemudian berteriak sambil menyanyi,
menjadikan GSG seperti sebuah tempat hiburan.
Aku pun
tak ketinggalan. Bergelas-gelas sirup Marjan telah kuteguk, hingga kembung
dibuatnya. Tak tanggung-tanggung, sirup Marjan pun kusimpan dalam botol sirup
itu sendiri. Meminumnya, kemudian diisi kembali hingga penuh.
Jam 11
malam, kami kembali ke asrama. Aku membawa dua botol penuh sirup ke kamar,
sebagai penyegar bila besok-besok ingin minuman manis (dan gratis).
Hingga
keesokan harinya, hampir semua dari kami tepar dan tertidur di kelas, saking
capeknya.
***
Quote of the day:
"Gue mungkin gak bisa motong, bawang, tapi gue bisa motong kambing!"-Irma Nur Fadhilah
0 comments