­

Menuju Satu Dekade

by - August 03, 2020



Tik, tok, tik, tok. Ketukan jam menjadi penanda bergesernya waktu. Melewati satu masa, menuju masa lainnya. Rentang masa tersebut kemudian terisikan jutaan memori yang terlekang, teringat, ataupun ingin terlupakan.

Memori-memori itu kembali berputar dalam kepala, mengarungi setiap detik dan menit yang telah kulewati, membawa kembali ke saat pertama kali aku bertemu denganmu. Aku yang lugu, tak mengerti apa-apa, perlahan tersihir oleh pesonamu.

Tik, tok, tik, tok. Jarum jam bergerak cepat, memundurkan waktu ke titik nol pertemuan.

***

Nol. Tanda awal kisah ini dimulai. Bias, tak begitu jelas kapan waktunya. Yang teringat, hanyalah seseorang mengantarkanku menuju titik tersebut.

Satu tahun. Perlahan. Rasa sayang kadang sepele itu. Jatuh ke dalamnya, dan baru mengetahui masa lalu setelahnya. 6 tahun, tanpa juara, menggantung asa. Aku ternganga. Tidak. Tidak ada kata kembali.

Dua tahun. Ketika rasa yang terpendam semakin dalam, saat itulah ranjau menghadang. Inikah yang dinamakan sakit hati? Ditinggal seseorang, yang terlampau kutaruh tinggi harapan. Tersungkur di gedung sekolah, pertama kali, aku menangisimu. Lupa akan rasa malu, yang ada hanya ingin luapkan pilu.

Tiga tahun. Mencoba melupakan rasa sakit, mari isi dengan kebahagiaan. Ketika jarak antara kau dan aku hanya terpisah oleh sebuah pagar pembatas, ketika aku pertama (dan masih terakhir) kali melihatmu secara langsung, dan ketika aku bersama ribuan orang lainnya bersenandung, menyanyikan ucapan semangat yang biasanya hanya diteriakkan dibalik layar. Satu hari, yang tidak akan terlupa sampai nanti.

Empat tahun. Harapan itu, sembilan tahun lamanya, sejak 2005, akhirnya tersampaikan. Mata air yang berhasil digali di tengah badai gurun pasir. Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan. Menangis bahagia. Itu saja.

Lima tahun. Jarak yang terbentang di antara kita merenggang. Maafkan aku, menjauh terlebih dahulu. Dibatasi peraturan dan perjuangan hidup bertahan, dalam penjara asrama. Akhir tahun, dingin rasanya. Bersemayam di puncak. Sebersit sinar harapan terbit. Penantian 12 tahun. Akankah?

Enam tahun. Ah, sesak. Sakit. Tergelincir. Tak lagi di puncak. Semakin banyak yang tak percaya. Menginginkan sang profesor pergi. Aku ditimpa dilema. Beliau sosok yang kukagumi, berikan satu atau dua tahun lagi. Kuhembuskan napas, bersiap kembali berlayar di tengah ombak emosi.

Tujuh tahun. Terdepak. Terlempar dari posisi nyaman. Tak ada lagi terjaga malam Rabu dan Kamis. Bukan akhir, pikirku dalam hati.

Delapan tahun. Merci. Aku menangis, tengah malam di tenggat akhir pengumpulan tugas. Aku masih terlalu muda untuk merasakan perjalanan 22 tahun lamanya, namun sebuah perpisahan tetap menyedihkan. Setiap akhir merupakan awal yang baru. Aku kembali berharap.

Sembilan tahun. Kembara yang dilewati penuh terjal dan batu. Terkadang, bisa temukanku sedang menangis sendu. Berat rasanya, ditikam bertubi-tubi. Sedih, kecewa, marah. Cukup. Sejujurnya, aku tidak ingin mengingatnya. Setitik asa muncul. Tak mau berharap lebih, hanya menginginkan yang terbaik.

Hampir, sepuluh tahun. Tolonglah, aku ingin mengakhiri dengan sedikit kebahagiaan. Dua hari meratapi perginya keramaian malam Jumat. Perjalanan yang kemudian terhenti tengah jalan, tak dapat bersorak bersama. Apalagi? Jauh dari angan-angan, hanya tersisa satu cara agar masih bisa merasakan udara luar.

Jatuh, bangun. Yang patah kemudian tumbuh. Tangisan kekecewaan menjadi tangisan kebahagiaan. Menutup pertengahan tahun yang cukup indah. Empat belas kali. Kepercayaan itu, harus tetap ada, agar harapan itu, terus bersinar, bersiap untuk diwujudkan.

Inilah kisah Nadhira dan cinta pertama, dalam perjalanan menuju satu dekade lamanya.

You May Also Like

0 comments