Menuju Satu Dekade
Tik, tok, tik, tok. Ketukan jam menjadi penanda bergesernya waktu. Melewati satu masa, menuju masa lainnya. Rentang masa tersebut kemudian terisikan jutaan memori yang terlekang, teringat, ataupun ingin terlupakan.
Memori-memori
itu kembali berputar dalam kepala, mengarungi setiap detik dan menit yang telah
kulewati, membawa kembali ke saat pertama kali aku bertemu denganmu. Aku yang
lugu, tak mengerti apa-apa, perlahan tersihir oleh pesonamu.
Tik,
tok, tik, tok. Jarum jam
bergerak cepat, memundurkan waktu ke titik nol pertemuan.
***
Nol. Tanda
awal kisah ini dimulai. Bias, tak begitu jelas kapan waktunya. Yang teringat,
hanyalah seseorang mengantarkanku menuju titik tersebut.
Satu
tahun. Perlahan. Rasa sayang kadang sepele itu. Jatuh ke dalamnya, dan baru
mengetahui masa lalu setelahnya. 6 tahun, tanpa juara, menggantung asa. Aku
ternganga. Tidak. Tidak ada kata kembali.
Dua tahun.
Ketika rasa yang terpendam semakin dalam, saat itulah ranjau menghadang. Inikah
yang dinamakan sakit hati? Ditinggal seseorang, yang terlampau kutaruh tinggi
harapan. Tersungkur di gedung sekolah, pertama kali, aku menangisimu. Lupa akan
rasa malu, yang ada hanya ingin luapkan pilu.
Tiga
tahun. Mencoba melupakan rasa sakit, mari isi dengan kebahagiaan. Ketika jarak
antara kau dan aku hanya terpisah oleh sebuah pagar pembatas, ketika aku
pertama (dan masih terakhir) kali melihatmu secara langsung, dan ketika aku
bersama ribuan orang lainnya bersenandung, menyanyikan ucapan semangat yang
biasanya hanya diteriakkan dibalik layar. Satu hari, yang tidak akan terlupa
sampai nanti.
Empat
tahun. Harapan itu, sembilan tahun lamanya, sejak 2005, akhirnya tersampaikan. Mata air yang
berhasil digali di tengah badai gurun pasir. Tak ada kata-kata yang dapat
menggambarkan. Menangis bahagia. Itu saja.
Lima
tahun. Jarak yang terbentang di antara kita merenggang. Maafkan aku, menjauh terlebih dahulu. Dibatasi
peraturan dan perjuangan hidup bertahan, dalam penjara asrama. Akhir tahun, dingin
rasanya. Bersemayam di puncak. Sebersit sinar harapan terbit. Penantian 12
tahun. Akankah?
Enam
tahun. Ah, sesak. Sakit.
Tergelincir. Tak lagi di puncak. Semakin banyak yang tak percaya. Menginginkan
sang profesor pergi. Aku ditimpa dilema. Beliau sosok yang kukagumi, berikan satu
atau dua tahun lagi. Kuhembuskan napas, bersiap kembali berlayar di tengah ombak
emosi.
Tujuh
tahun. Terdepak. Terlempar dari posisi nyaman. Tak ada lagi terjaga malam Rabu dan
Kamis. Bukan akhir, pikirku dalam hati.
Delapan
tahun. Merci. Aku menangis, tengah malam di tenggat akhir pengumpulan tugas.
Aku masih terlalu muda untuk merasakan perjalanan 22 tahun lamanya, namun sebuah
perpisahan tetap menyedihkan. Setiap akhir merupakan awal yang baru. Aku
kembali berharap.
Sembilan
tahun. Kembara yang dilewati penuh terjal dan batu. Terkadang, bisa temukanku
sedang menangis sendu. Berat rasanya, ditikam bertubi-tubi. Sedih, kecewa,
marah. Cukup. Sejujurnya, aku tidak ingin mengingatnya. Setitik asa muncul. Tak mau berharap lebih,
hanya menginginkan yang terbaik.
Hampir,
sepuluh tahun. Tolonglah, aku ingin mengakhiri dengan sedikit kebahagiaan. Dua
hari meratapi perginya keramaian malam Jumat. Perjalanan yang kemudian terhenti
tengah jalan, tak dapat bersorak bersama. Apalagi? Jauh dari angan-angan, hanya
tersisa satu cara agar masih bisa merasakan udara luar.
Jatuh,
bangun. Yang patah kemudian tumbuh. Tangisan kekecewaan menjadi tangisan
kebahagiaan. Menutup pertengahan tahun yang cukup indah. Empat belas kali. Kepercayaan
itu, harus tetap ada, agar harapan itu, terus bersinar, bersiap untuk
diwujudkan.
Inilah
kisah Nadhira dan cinta pertama, dalam perjalanan menuju satu dekade lamanya.
0 comments