­

Dibalik Kesunyian Salman

by - April 05, 2020


Tiga minggu lebih aku tidak menginjakkan kaki di tanah Ganesha. Aku masih bertahan di Bandung, menjalani hari-hari di tengah perkuliahan jarak jauh dan mendadak memiliki hobi masak sendiri, hingga akhirnya kemarin, Sabtu, 4 April 2020, aku berkunjung ke Masjid Salman ITB.

Bukan tanpa alasan aku datang ke Salman. Hari itu, aku menjadi tim dokumentasi untuk proyek kerja sama ITB dan Salman, yaitu pembuatan ventilator, atau alat bantu pernapasan bagi penderita yang mengalami gangguan pernapasan.

Aku memasuki kompleks Masjid Salman melalui jalanan tepat depan gerbang utama ITB. Sepi, sunyi, dan hanya disambut oleh seekor kucing yang tengah tiduran di tengah jalan. Masjid Salman sendiri sejak 21 Maret lalu ditutup dan tidak bisa dikunjungi secara bebas karena salah satu mahasiswa yang tinggal di dalamnya pernah kontak dengan seseorang yang diketahui positif COVID-19, sehingga mahasiswa tersebut menjadi ODP (Orang dalam Pemantauan) yang menghasilkan keputusan untuk me-lockdown Salman.

Hari itu aku memiliki janji bertemu Arie, yang akan menjelaskan tugas yang harus kulakukan. Sampai aku berhenti di selasar depan kantin Salman, tidak ada tanda-tanda keberadaan Arie. Lagi-lagi aku disambut oleh kucing, dan terlihat beberapa orang yang sedang duduk dan berbincang, lengkap dengan maskernya. Kucing berwarna hitam yang menyambutku datang mendekat, dan kemudian berhenti tepat di depan kakiku. Satu hal yang belum kulihat sejak terakhir kali datang ke Salman berada di hadapan kucing hitam tersebut. Tempat makan kucing, yang berisi penuh oleh makanan untuk mereka.

Terima kasih, gumamku. Kuucapkan terima kasih untuk orang yang selalu memerhatikan kucing-kucing di Salman dan memberi mereka makan.


Sembari menunggu Arie (yang tidak menjawab telepon), aku mengintip tempat wudhu, ruang cermin, menaiki tangga menuju koridor selatan, dan melihat sekeliling. Hampa. Pintu-pintu menuju ruang utama Masjid Salman dikunci. Aku hanya bisa mengintip dari luar. Satu hal yang kuingat, Masjid Salman tidak pernah sepi, kecuali sesaat setelah Idul Fitri. Sampai pelaksanaan sholat hari raya, aktivitas dan orang lalu lalang di Salman tidak pernah hilang. Namun kini, tidak terlihat orang yang sedang sholat, mahasiswa ITB yang tengah mengerjakan tugas, murid SMA yang asyik belajar dan diajar, hingga berbagai perkumpulan di segala sisi.

Arie akhirnya menghubungiku. Aku diminta menemuinya di gedung CRCS. Aku bingung. Di kampus ITB? Dari ujung selatan ke ujung timur laut ITB?

***

Ternyata, di selasar gedung CRCS ITB tengah dilaksanakan presentasi dan pengujian alat ventilator (dan dua alat lainnya) di hadapan perwakilan Kementerian Kesehatan. Aku bertugas mendokumentasi kegiatan tersebut. Aku merekam penjelasan dosen dan mahasiswa yang presentasi, dan hanya dapat manggut-manggut mendengar istilah yang tak pernah disebut dalam perkuliahanku.

Acara berlangsung hingga mendekati pukul empat sore. Meja dan kursi dirapikan, sampah dibereskan, dan selasar gedung CRCS pun siap untuk disterilkan dengan disinfektan oleh tenaga kerja dari ITB. Aku menyaksikan bagaimana para pekerja tersebut memakai baju pelindung dan membawa tabung berisi cairan disinfektan untuk disemprot ke seluruh selasar dan ruangan gedung CRCS. Aku membantu membawa tabung oksigen yang dipakai untuk pengujian alat kembali ke Salman. Menumpang di mobil ambulans milik Salman, aku mengelilingi kampus ITB yang sudah tidak ada kehidupan selama tiga minggu  sembari mengabadikannya lewat video.

Aku menaruh tabung oksigen di depan ruang GSS A Masjid Salman. Saat itu pula mataku terbelalak. Kaget, tak percaya.

Ruang-ruang GSS Salman, yang biasanya berfungi sebagai kelas atau ruang rapat, berubah menjadi laboratorium dadakan. Terpajang di depan pintu ruangan, ‘Ruang Print 3D’, ‘Ruang Penyimpanan’, dan ‘Ruang Rakit Ventilator’. Kotak makanan, kotak snack, galon berisi air, hingga kotak berisi masker dan hand sanitizer juga terpajang di depan masing-masing ruangan.


Cukup banyak orang berada di dalam salah satu ruang tersebut. Lebih tepatnya mahasiswa. Aku yakin, mereka merupakan mahasiswa ITB.

Aku sudah mendengar soal ventilator buatan Salman cukup lama. Dimulai dari berita tentang Pak Syarif Hidayat, dosen ITB sekaligus pengurus Masjid Salman, yang menggagas pembuatan ventilator portabel tersebut. Jujur saja. Kukira, proyek ini lebih banyak diurus dosen-dosen ITB yang aktif di Salman dan beberapa mahasiswa saja. Tak kusangka, banyak juga mahasiswa yang terlibat di dalamnya.

Seketika aku teringat percakapan yang tak sengaja kudengar saat presentasi alat ventilator di gedung CRCS tadi. Salah satu dosen bercerita bahwa awalnya tak ada izin dari pihak fakultas untuk menggunakan laboratorium, sehingga dosen tersebut harus diam-diam membawa alat tersebut keluar laboratorium dan ditaruh di GSS Salman. Bahkan alat-alat tersebut masih perlu disusun sedemikian rupa di sebuah ruangan yang tidak mendukung penempatan alat laboratorium. Aku melihat mahasiswa yang sedang melakukan kalibrasi flowmeter di depan pintu ruang GSS. Alat yang berbentuk selang tersebut direkatkan di daun pintu.



Aku salut dengan para mahasiswa tersebut. Di tengah keterbatasan, di sela-sela perkuliahan jarak jauh, mereka masih semangat membantu mewujudkan impian Pak Syarif untuk membantu tenaga medis dalam menangani pandemi ini. Ketika banyak di antara kami yang memilih pulang ke kampung halaman ataupun diam di kos menjalani hari-hari biasa, mereka mengarantina diri di Salman dan membuat sebuah penemuan yang akan berguna nantinya.

Dibalik kesunyian Masjid Salman, terdapat orang-orang yang mendedikasikan diri dan ilmunya untuk bahu-membahu menciptakan sesuatu dalam menghadapi krisis ini.

Terima kasih. Aku percaya, semua bidang dapat membantu meringankan beban Indonesia melewati situasi yang buruk ini. Seperti himpunan biologi, mikrobiologi, dan farmasi yang mengedukasi mahasiswa dan masyarakat soal COVID-19, seperti himpunan teknik kimia yang membuat hand sanitizer sendiri dan membagikannya ke beberapa rumah sakit, seperti himpunan kimia yang juga membuat hand sanitizer dan mendistribusikan ke pengendara jalanan, dan seperti teman-teman yang menciptakan alat pembantu tenaga kesehatan.

Aku berjalan menuruni tangga GSS Salman, bersiap untuk pulang, dan masih memikirkan pertanyaan yang sama sejak seminggu lalu: Apa yang bisa bidang arsitektur sumbangkan untuk membantu penanggulangan bencana ini ya?


Sumber berita:

You May Also Like

0 comments