Dibalik Kesunyian Salman
Tiga minggu lebih aku tidak menginjakkan kaki di tanah Ganesha. Aku masih bertahan di Bandung, menjalani hari-hari di tengah perkuliahan jarak jauh dan mendadak memiliki hobi masak sendiri, hingga akhirnya kemarin, Sabtu, 4 April 2020, aku berkunjung ke Masjid Salman ITB.
Bukan tanpa alasan aku datang
ke Salman. Hari itu, aku menjadi tim dokumentasi untuk proyek kerja sama ITB
dan Salman, yaitu pembuatan ventilator, atau alat bantu pernapasan bagi penderita
yang mengalami gangguan pernapasan.
Aku memasuki kompleks
Masjid Salman melalui jalanan tepat depan gerbang utama ITB. Sepi, sunyi, dan
hanya disambut oleh seekor kucing yang tengah tiduran di tengah jalan. Masjid
Salman sendiri sejak 21 Maret lalu ditutup dan tidak bisa dikunjungi secara
bebas karena salah satu mahasiswa yang tinggal di dalamnya pernah kontak dengan
seseorang yang diketahui positif COVID-19, sehingga mahasiswa tersebut menjadi
ODP (Orang dalam Pemantauan) yang menghasilkan keputusan untuk me-lockdown
Salman.
Hari itu aku memiliki janji
bertemu Arie, yang akan menjelaskan tugas yang harus kulakukan. Sampai aku
berhenti di selasar depan kantin Salman, tidak ada tanda-tanda keberadaan Arie.
Lagi-lagi aku disambut oleh kucing, dan terlihat beberapa orang yang sedang duduk
dan berbincang, lengkap dengan maskernya. Kucing berwarna hitam yang menyambutku
datang mendekat, dan kemudian berhenti tepat di depan kakiku. Satu hal yang belum
kulihat sejak terakhir kali datang ke Salman berada di hadapan kucing hitam tersebut.
Tempat makan kucing, yang berisi penuh oleh makanan untuk mereka.
Terima kasih, gumamku. Kuucapkan terima kasih untuk
orang yang selalu memerhatikan kucing-kucing di Salman dan memberi mereka makan.
Sembari menunggu Arie (yang
tidak menjawab telepon), aku mengintip tempat wudhu, ruang cermin, menaiki
tangga menuju koridor selatan, dan melihat sekeliling. Hampa. Pintu-pintu
menuju ruang utama Masjid Salman dikunci. Aku hanya bisa mengintip dari luar.
Satu hal yang kuingat, Masjid Salman tidak pernah sepi, kecuali sesaat setelah
Idul Fitri. Sampai pelaksanaan sholat hari raya, aktivitas dan orang lalu
lalang di Salman tidak pernah hilang. Namun kini, tidak terlihat orang yang
sedang sholat, mahasiswa ITB yang tengah mengerjakan tugas, murid SMA yang asyik
belajar dan diajar, hingga berbagai perkumpulan di segala sisi.
Arie akhirnya
menghubungiku. Aku diminta menemuinya di gedung CRCS. Aku bingung. Di kampus
ITB? Dari ujung selatan ke ujung timur laut ITB?
***
Ternyata, di selasar gedung
CRCS ITB tengah dilaksanakan presentasi dan pengujian alat ventilator (dan dua
alat lainnya) di hadapan perwakilan Kementerian Kesehatan. Aku bertugas mendokumentasi
kegiatan tersebut. Aku merekam penjelasan dosen dan mahasiswa yang presentasi,
dan hanya dapat manggut-manggut mendengar istilah yang tak pernah disebut dalam
perkuliahanku.
Acara berlangsung hingga
mendekati pukul empat sore. Meja dan kursi dirapikan, sampah dibereskan, dan
selasar gedung CRCS pun siap untuk disterilkan dengan disinfektan oleh tenaga
kerja dari ITB. Aku menyaksikan bagaimana para pekerja tersebut memakai baju
pelindung dan membawa tabung berisi cairan disinfektan untuk disemprot ke
seluruh selasar dan ruangan gedung CRCS. Aku membantu membawa tabung oksigen
yang dipakai untuk pengujian alat kembali ke Salman. Menumpang di mobil
ambulans milik Salman, aku mengelilingi kampus ITB yang sudah tidak ada
kehidupan selama tiga minggu sembari
mengabadikannya lewat video.
Aku menaruh tabung oksigen
di depan ruang GSS A Masjid Salman. Saat itu pula mataku terbelalak. Kaget, tak
percaya.
Ruang-ruang GSS Salman,
yang biasanya berfungi sebagai kelas atau ruang rapat, berubah menjadi
laboratorium dadakan. Terpajang di depan pintu ruangan, ‘Ruang Print 3D’,
‘Ruang Penyimpanan’, dan ‘Ruang Rakit Ventilator’. Kotak makanan,
kotak snack, galon berisi air, hingga kotak berisi masker dan hand
sanitizer juga terpajang di depan masing-masing ruangan.
Cukup banyak orang berada
di dalam salah satu ruang tersebut. Lebih tepatnya mahasiswa. Aku yakin, mereka
merupakan mahasiswa ITB.
Aku sudah mendengar soal
ventilator buatan Salman cukup lama. Dimulai dari berita tentang Pak Syarif
Hidayat, dosen ITB sekaligus pengurus Masjid Salman, yang menggagas pembuatan
ventilator portabel tersebut. Jujur saja. Kukira, proyek ini lebih banyak
diurus dosen-dosen ITB yang aktif di Salman dan beberapa mahasiswa saja. Tak kusangka,
banyak juga mahasiswa yang terlibat di dalamnya.
Seketika aku teringat
percakapan yang tak sengaja kudengar saat presentasi alat ventilator di gedung
CRCS tadi. Salah satu dosen bercerita bahwa awalnya tak ada izin dari pihak fakultas
untuk menggunakan laboratorium, sehingga dosen tersebut harus diam-diam membawa
alat tersebut keluar laboratorium dan ditaruh di GSS Salman. Bahkan alat-alat
tersebut masih perlu disusun sedemikian rupa di sebuah ruangan yang tidak
mendukung penempatan alat laboratorium. Aku melihat mahasiswa yang sedang
melakukan kalibrasi flowmeter di depan
pintu ruang GSS. Alat yang berbentuk selang tersebut direkatkan di daun pintu.
Aku salut dengan para mahasiswa tersebut. Di tengah keterbatasan, di sela-sela perkuliahan jarak jauh, mereka masih semangat membantu mewujudkan impian Pak Syarif untuk membantu tenaga medis dalam menangani pandemi ini. Ketika banyak di antara kami yang memilih pulang ke kampung halaman ataupun diam di kos menjalani hari-hari biasa, mereka mengarantina diri di Salman dan membuat sebuah penemuan yang akan berguna nantinya.
Dibalik kesunyian Masjid
Salman, terdapat orang-orang yang mendedikasikan diri dan ilmunya untuk bahu-membahu
menciptakan sesuatu dalam menghadapi krisis ini.
Terima kasih. Aku percaya, semua bidang dapat membantu
meringankan beban Indonesia melewati situasi yang buruk ini. Seperti himpunan
biologi, mikrobiologi, dan farmasi yang mengedukasi mahasiswa dan masyarakat
soal COVID-19, seperti himpunan teknik kimia yang membuat hand sanitizer
sendiri dan membagikannya ke beberapa rumah sakit, seperti himpunan kimia yang
juga membuat hand sanitizer dan mendistribusikan ke pengendara jalanan,
dan seperti teman-teman yang menciptakan alat pembantu tenaga kesehatan.
Aku berjalan menuruni
tangga GSS Salman, bersiap untuk pulang, dan masih memikirkan pertanyaan yang sama
sejak seminggu lalu: Apa yang bisa bidang arsitektur sumbangkan untuk
membantu penanggulangan bencana ini ya?
Sumber berita:
0 comments