Nadhira dan Cinta Pertama: Surat untuk Masa Depan
Sebuah
kardus kubawa berjalan menyusuri teras masjid hijau SDIT Al-Izzah sekolahku, menuju
samping masjid tempat berkumpulnya siswa kelas enam. Terinspirasi dari beberapa
cerita fiksi yang pernah kubaca, aku dan beberapa temanku berniat membuat
sebuah kapsul waktu untuk dibuka 10 tahun kemudian.
Hari itu,
usai mendapatkan hasil Ujian Nasional 2011 dan pengumuman kelulusan, aku, Hamidah,
Ani, Alma, dan Callista berkumpul memasukkan barang-barang yang akan kami buka
Mei 2021 nanti. Callista menaruh sebuah novel, sedangkan Alma menaruh surat
dengan cap bibirnya. Aku sendiri lupa barang apa yang kusimpan. Yang pasti, aku
hanya ingat satu.
Aku
menulis surat untuk Nadhira 10 tahun yang akan datang, dengan
pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dapat dijawab ketika kubuka surat itu
kembali.
***
Dari semua
pertanyaan yang kutulis, hingga tulisan ini selesai dibuat, aku hanya ingat dua
pertanyaan.
Untuk Nadhira 10 tahun ke depan,
1. Apakah sekolah SMA-mu di MAN Insan Cendekia
Serpong?
2. Berapa gelar Arsenal yang berhasil didapat
selama 10 tahun sejak aku menulis surat ini?
Pertanyaannya
cukup menggelitik. Yang pertama, ternyata seorang Nadhira sudah ingin masuk MAN
IC Serpong sedari SD.
Halo Nadhira yang baru saja akan lulus SD, untuk
jawaban pertamamu, alhamdulillah, iya. Aku menghabiskan masa SMA-ku di MAN
Insan Cendekia Serpong, terkurung dalam penjara suci, namun mendapatkan berjuta
kenangan dan pelajaran disana.
Mungkin
ada yang penasaran, mengapa aku mencantumkan Insan Cendekia dalam suratku. Aku
tak akan menceritakan lebih jauh mengenai itu, karena mungkin akan menghabiskan
satu cerita sendiri, hehe.
Pertanyaan
kedua. Aku tersenyum. Mungkin baru 7 tahun sejak surat itu ditulis, namun, izinkan
aku menjawabnya.
Hai Nadhira tahun 2011, aku tahu, saat itu sudah
hampir 6 tahun Arsenal puasa gelar. Kamu yang baru menyukai The Gunners tak
lama sebelumnya mungkin bersikap tak acuh. Masa bodo mendapat gelar atau tidak, yang penting
Arsenal aku cinta. Mungkin kamu tak sepenuhnya
salah, namun setelah 6 tahun tanpa gelar, masih ada beberapa tahun lagi Arsenal
melanjutkan puasa gelarnya.
Aku masuk
ke dunia sekolah menengah pertama, masih dalam satu yayasan dengan SD-ku
dahulu, SMPIT Al-Izzah. Aku semakin rajin menonton Arsenal, bahkan rela bangun
tengah malam hanya untuk menyaksikan pertandingan yang tercinta. Mulai masa
ini, beberapa pertandingan mulai terekam dalam ingatanku. Salah satunya adalah pembantaian
Arsenal 5-3 di kandang Chelsea dengan hattrick
ciamik dari Robin van Persie, yang membuatku semakin jatuh hati pada striker
Belanda tersebut. Namun masih, musim 2011/2012 berakhir tanpa tambahan trofi
pada lemari klub.
Hai Nadhira. Musim 2011/2012 menjadi tahun ketujuh
Arsenal tanpa gelar juara. Hmmm, sebetulnya ada sih satu gelar yang
didapat, yaitu pencetak gol terbanyak Liga Inggris musim tersebut, sang kapten
Robin van Persie. Tapi itu tak mungkin masuk hitungan gelar milik klub, kan? Lagipula, di akhir musim tersebut, ah
sudahlah. Terlalu sakit hati untuk dibicarakan.
2012/2013
pun tak jauh berbeda. Van Persie kembali menjadi top scorer Liga Inggris. Namun bedanya... ia kini tak berseragam
Arsenal, melainkan sang setan rival yang sama-sama berwarna merah. Ugh. Arsenal masih terhenti di babak 16 besar
Liga Champions. Pun dengan klasemen akhir musim tersebut, masih harus
kualifikasi untuk masuk menuju panggung Liga Champions musim depan, alias
peringkat keempat.
Nadhira, lupakan sakit hati yang kau alami. Mari
kita tatap musim 2013/2014 dengan semangat berapi-api! Jangan lewatkan #AHA-nya
Podolski. Dan oh, jangan lupa. #OzilIsAGunner.
Bursa
transfer pemain seringkali menjadi ajang pemberian harapan palsu bagi para fans
Arsenal. Pernah dikaitkan dengan Karim Benzema, Gonzalo Higuain, bahkan Luis
Suarez, tak ada yang terjadi pada bursa musim panas 2013/2014 tersebut. Yang
mengejutkan, di detik-detik menjelang penutupan bursa transfer, beredar
pemberitaan bahwa punggawa Real Madrid, Mesut Ozil, resmi digaet Arsenal dengan
durasi kontrak lima tahun.
Hey Nadhira. Hari itu, Sabtu, 17 Mei 2014. Kau
baru saja melewati hari panjang nan melelahkan, menentukan nasib mau dimana
SMA-mu berlabuh. Hari itu, salah satu motivasimu mengerjakan soal tes masuk Insan
Cendekia adalah final Piala FA 2014. Tim kesayanganmu berhasil masuk final
Piala FA, maka kau pun semangat melahap soal-soal tes agar diterima di sekolah
impianmu.
Arsenal
akan bermain melawan Hull City di final Piala FA 2014, menjadi satu harapan
mengakhiri puasa gelar selama, umm,
sembilan tahun ternyata. Aku baru sampai rumah pada malam hari, dan melewatkan
babak awal pertandingan yang dilangsungkan di Stadion Wembley tersebut. Tes
masuk yang berdurasi dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore rupanya membuatku letih.
Di akhir babak kedua, aku tertidur, sedangkan skor masih menunjukkan 2-2.
Nadhira, kau tahu, hal yang pertama aku cari
setelah bangun tidur dan sholat Subuh adalah hasil pertandingan semalam. Aku
membuka HP-ku, mencari informasi siapakah yang berhasil mengangkat trofi Piala
FA. Betapa senangnya diri ini ketika mengetahui gol Aaron Ramsey pada babak
perpanjangan waktu berhasil mengakhiri 9 tahun puasa gelar Arsenal. Dan saat
itu pun aku yakin, aku akan lolos dalam tes masuk Insan Cendekia. Thanks to Our Fans, begitu yang tertulis dalam banner parade perayaan juara Arsenal di jalanan London.
Selama
tiga tahun setelahnya, aku cukup vakum menonton Arsenal. Bagaimana tidak, aku
hidup dalam asrama, tidak ada TV, kalau pun mau menonton harus streaming. Aku sayang Arsenal, tapi aku
lebih menyayangi kuotaku yang hanya sebesar 2 GB perbulannya. CSA pun tutup
pukul 10 malam tiap harinya, jadilah aku mendapatkan hasil pertandingan liga
dari situs berita online yang itupun
jarang kubuka.
Hai Nadhira. Satu tahun setelah Arsenal juara
Piala FA 2014, sang meriam kembali berjaya pada pergelaran tersebut. Menggilas
Aston Villa 4-0, Arsenal berhasil mengukuhkan trofi Piala FA ke-12-nya. Aku,
tentu saja tidak menontonnya. IC belum libur dan pertandingan berlangsung
diatas pukul 10 malam. Jadilah aku membaca jalannya pertandingan lewat koran yang
terbit dua hari setelahnya.
Fans
Arsenal kembali merasa gregetan karena
pada penghujung musim 2015/2016, Arsenal menjadi runner up Liga Inggris, terpaut 10 poin dari sang penguasa tahta, Leicester City. Berarti, tahun
depan bisa optimis dapat gelar juara Liga Inggris pastinya.
Hai Nadhira. Sayang seribu sayang, musim 2016/2017
menjadi awal mula petaka bagi Arsenal. Sebelum pergantian tahun 2016, Arsenal
merasakan dinginnya puncak klasemen. Namun, di akhir musim, posisi kelima lah
yang pantas didapatkan skuat besutan Arsene Wenger tersebut. Itu artinya,
pertama kali dalam hampir 20 tahun, Arsenal terdampar ke Liga Europa. Sedih
memang. Apalagi melihat spanduk dan banner #WengerOut yang terpampang di
stadion. Tapi jangan berkecil hati. Karena di tahun 2017 juga, Arsenal kembali
menjadi kampiun Piala FA ke-13 kalinya, menjadi klub dengan jumlah gelar juara
Piala FA terbanyak.
Rumor pengunduran
diri Arsene Wenger dari kursi kepelatihan Arsenal kian memuncak. Para Gooners berpikir inilah momen yang tepat
untuk The Professor melepaskan jabatannya. Dengan trofi Piala FA sebagai
persembahan terakhirnya, Arsene Wenger akan dikenang klub sebagai legenda. Namun
ternyata, Wenger memilih bertahan. Mungkin ia optimis meraih paling tidak trofi
Liga Europa untuk yang pertama dan (mungkin) terakhir kalinya.
Nadhira, musim 2017/2018 tidak menjadi musim yang sukses
untuk Arsenal. Aku kini berkuliah di SAPPK ITB, namun masih terkadang menonton
Arsenal. Ya, manusia ini memiliki keterbatasan kuota untuk streaming pertandingan bola. Arsenal menyelesaikan musim dengan peringkat lebih
rendah dibanding musim sebelumnya, yaitu peringkat 6. Lagi-lagi, Liga Europa
lah yang menjadi tempat berlabuh The Gunners dalam kompetisi antarklub Eropa.
22 April 2018, Arsene Wenger mengumumkan pengunduran diri dari pelatih Arsenal,
setelah 22 tahun lamanya menjadi juru taktik Arsenal. Tagar #MerciArsene
bertebaran dimana-mana. Aku pun tak ketinggalan menggunakan tagar tersebut. Suasana
timeline Instagramku menjadi mengharukan.
Banyak pemain yang mengungkapkan rasa terima kasihnya pada pelatih asal Prancis
tersebut. Tak hanya punggawa Arsenal, mantan punggawa Arsenal pun mengirimkan
rasa terima kasih, termasuk ia, sang mantan terindah.
Saat itu
sehari sebelum tenggat waktu pengumpulan makalah TTKI, sekaligus pengumpulan
gambar layout untuk Tekpres Arsi. Aku
mengerjakan makalah di kos temanku, Caca, sedangkan ia menyelesaikan layout kandang burungnya terlebih
dahulu. Malam itu menjadi laga terakhir Arsene Wenger di Emirates Stadium. Aku
mangkir dua setengah jam dari pengerjaan tugas, menumpang wi-fi kos milik Caca, dan menonton pertandingan yang berakhir dengan
kemenangan 5-0 Arsenal atas Burnley. Perasaanku semakin bercampur aduk lantaran
seusai pertandingan diadakan upacara perpisahan dengan sang juru taktik. Satu
yang kuingat dari pidato perpisahan Wenger, “I would like to finish this with one sentence. I will miss you.”
Hai Nadhira. Sepertinya aku terlalu banyak cerita
ya. Intinya, tujuh tahun setelah kau menulis surat itu, dengan bangga kujawab,
Arsenal berhasil mendapatkan 6 gelar. Tiga gelar Piala FA di tahun 2014, 2015,
dan 2017, serta tiga gelar Community Shield di tahun yang sama dengan
kemenangan Piala FA. Entahlah, apakah trofi Community Shield kau anggap prestisius
dan masuk hitungan. Namun bagiku, hal tersebut menjadi bukti bahwa Arsenal
masih layak diperhitungkan dalam perebutan gelar juara, terutama menjadi juara
Liga Inggris. Walaupun target musim 2018/2019 ini masih top four, tapi siapa tahu, kedepannya, menjadi peraih poin tertinggi di kancah
Premier League akan menjadi kenyataan.
Aku
termenung. Masih dua setengah musim lagi untuk merampungkan jawaban dari surat
tersebut. Namun dalam sepakbola, segala hal dapat terjadi dalam 90 menit
pertandingan. Tetap optimis, dan jadilah suporter yang baik. Teruslah mendukung
tim pujaan hati, dengan semangat dan nyanyian Unai Emery’s red and white army.
#WeAreTheArsenal
0 comments