­

Nadhira dan Cinta Pertama: Sebuah Pertemuan

by - November 17, 2018


Siapa yang tidak pernah jatuh cinta? Hampir semua orang, rasanya, pernah merasakan hati berbunga-bunga dan jantung yang berdebar tak berirama ketika tersebut nama yang dipuja.

Lalu, apakah Nadhira pernah jatuh cinta? Jawabannya, tentu saja iya. Namun, kapankah Nadhira pertama kali 'merasa' jatuh cinta? Maka kali ini, izinkan Nadhira menumpahkan curahan hatinya dalam sebuah pahit-manisnya perjuangan jatuh dan bertahan ke dalam lubang bernama cinta. Lebih dalam lagi, curahan hati ini akan berkisah mengenai Nadhira dan sosok cinta pertamanya.

Jika kalian bertanya padaku siapa orang pertama yang membuat seorang Nadhira jatuh cinta? Dengan bangga akan kujawab, Arsenal. Sebuah klub sepakbola asal London Utara ini berhasil membuat Nadhira yang baru memasuki kelas 6 SD merasakan indahnya jatuh cinta.

***

Semua bermula dari secarik kertas yang diberikan ayah kepadaku, jadwal pertandingan Piala Dunia 2010, yang beliau ambil dari sebuah surat kabar. Aku ingat, hari itu adalah beberapa hari menjelang Ujian Akhir Sekolah semester 2 SDIT Al-Izzah Serang. Aku yang saat itu berada di kelas 5 menerima jadwal tersebut, melihat, dan menaruhnya di dalam lemari meja belajarku. Bunda sampai protes kepada ayah atas pemberian kertas jadwal pertandingan tersebut. Mau ujian, nanti gak fokus, alasannya.

Singkat cerita, aku mendukung sang runner up Piala Dunia 2010, timnas Belanda. Salah satu alasan mendukung Der Oranje adalah karena beberapa pemain Belanda memiliki darah Indonesia. Sebut saja Giovanni van Bronckhorst, Mark van Bommel, dan Robin van Persie. Nama terakhirlah yang sejujurnya menghantarkanku menemukan cinta pertamaku, sekaligus mendapat porsi lebih di lubuk hatiku.

Robin van Persie, 6 Agustus 1983, posisi forward, klub Arsenal. Arsenal? Nama apa itu? batinku. Aku yang baru mengenal dunia sepakbola tentulah tidak mengerti perihal klub-klub yang bertebaran di seluruh penjuru dunia. Yang kutahu saat itu, beberapa pertandingan dengan nama Arsenal di dalamnya ditayangkan di salah satu stasiun televisi Indonesia.

Satu kali, dua kali, tiga kali. Aku mencoba menonton klub sepakbola yang dibela Van Persie tersebut. Jujur aku lupa lawan tanding dan skor akhir pertandingan yang kutonton. Namun satu yang pasti kuingat. Nama kedua dari klub Arsenal yang kuketahui adalah Arsene Wenger, pelatih klub tersebut.

Empat kali, lima kali. Entah beberapa kali aku menonton pertandingan Arsenal, sampai pada akhirnya aku menyadari, kutemukan kenyamanan setiap melihat sentuhan, tendangan, operan, dan permainan klub besutan Arsene Wenger tersebut. Inikah yang dinamakan cinta?

Perlahan tapi pasti, benih-benih cinta pun muncul. Dari hanya mengenal Van Persie dan Arsene Wenger, nama-nama lain pun menjadi tak asing dalam hidupku. Cesc Fabregas, Samin Nasri, Bacary Sagna, Andrey Arshavin, dan banyak nama lainnya menjadi penghias kehidupanku kala itu.

Satu fakta kudapatkan pada awal lika-liku cintaku pada Arsenal. Tatkala saat itu, musim 2010/2011, menjadi musim kelima Arsenal tanpa trofi terpajang dalam lemari klub. Untuk sebuah klub sepakbola yang hampir selalu bertengger di empat teratas klasemen Liga Inggris, hal itu sungguh mengecewakan (bagi para fans yang sudah lama mencintai Arsenal tentunya!). Terakhir kali Arsenal menjuarai sebuah kompetisi adalah musim 2004/2005, yaitu menjadi kampiun dalam pergelaran FA Cup.

Mengetahui fakta tersebut, aku memilih diam. Aku bersikap bodo amat dengan apa yang sedang terjadi. Namanya orang baru jatuh cinta, hatinya pasti berbunga-bunga. Semua omongan orang tak dihiraukan dan pandangan hanya tertuju pada ia yang tercinta. Ya, cinta memang semembutakan itu.

Di sekolah, aku mulai mengumumkan bahwa aku adalah seorang Gooner, alias suporter Arsenal. Teman-teman laki-laki di kelas, yang notabene lebih mengerti bola, tentu saja meledekku. “Ngapain Nad suka sama klub yang ga pernah juara?!” oloknya. Tentu aku tidak bisa menjawab. Bukan hanya karena masih awam dalam mengerti sepakbola, ada hal lain yang tidak dapat kuungkapkan, terlebih soal perasaan.

Ketika aku menyukai sebuah klub, apakah aku menyukainya karena klub itu sendiri – ataukah klub tersebut saat meraih banyak trofi kemenangan? Pemikiran ini, yang disadur dari perkataan pemain legenda Arsenal–Dennis Bergkamp, menjadi dasar mengapa aku bertahan menerima olokan teman-temanku.

Nadhira, kelas 6 SD, merasakan jatuh cinta pertama kali, kepada kumpulan manusia yang bermain sepakbola dalam sebuah naungan klub berjuluk Meriam London, Arsenal FC.

***

Mungkin itulah cerita singkat awal pertemuan Nadhira dengan cinta pertamanya (uhuk). Mulai dari itu, akan banyak tragedi yang terjadi dalam sepak terjang rasa cinta ini terhadap Arsenal. Tentang sosok Robin van Persie, bangun (dan membangunkan adik) tengah malam hanya untuk menonton Arsenal, meminta orang tua untuk membeli jersey Arsenal, menulis surat untuk Nadhira masa depan (saat membuat time capsule sebelum lulus SD) dan bertanya tentang Arsenal, diikuti oleh akun Arsenal di Twitter, hingga berkesempatan langsung menyaksikan pertandingan Arsenal di Stadion Gelora Bung Karno. Terlalu banyak hal yang menarik untuk diceritakan, dan tak mungkin dituang dalam satu tulisan saja.

Maka biarkanlah aku mengungkapkan perasaanku dalam kumpulan kisah “Nadhira dan Cinta Pertama”, sekaligus membuktikan bahwa sedari dulu, sekarang, hingga masa yang akan datang, aku akan tetap mencintai dan mendukung The Gunners.

Ooh to—  ooh to be— oh to be a Gooner!


Spoiler: Ketika aku bilang bahwa Arsenal adalah sosok yang pertama kali membuatku jatuh cinta, maka (salah satu pemain) Arsenal juga lah yang membuatku menangis karena laki-laki untuk pertama kalinya!

You May Also Like

0 comments