Nadhira dan Cinta Pertama: Sebuah Pertemuan
Siapa yang tidak pernah jatuh cinta? Hampir semua orang, rasanya, pernah merasakan hati berbunga-bunga dan jantung yang berdebar tak berirama ketika tersebut nama yang dipuja.
Lalu,
apakah Nadhira pernah jatuh cinta? Jawabannya, tentu saja iya. Namun, kapankah
Nadhira pertama kali 'merasa' jatuh cinta? Maka kali ini, izinkan Nadhira
menumpahkan curahan hatinya dalam sebuah pahit-manisnya perjuangan jatuh dan
bertahan ke dalam lubang bernama cinta. Lebih dalam lagi, curahan hati ini akan
berkisah mengenai Nadhira dan sosok cinta pertamanya.
***
Ooh to— ooh to be— oh to be a Gooner!
Spoiler: Ketika aku bilang bahwa Arsenal adalah sosok yang pertama kali membuatku jatuh cinta, maka (salah satu pemain) Arsenal juga lah yang membuatku menangis karena laki-laki untuk pertama kalinya!
Jika
kalian bertanya padaku siapa orang pertama yang membuat seorang Nadhira jatuh
cinta? Dengan bangga akan kujawab, Arsenal. Sebuah klub sepakbola asal London
Utara ini berhasil membuat Nadhira yang baru memasuki kelas 6 SD merasakan
indahnya jatuh cinta.
***
Semua
bermula dari secarik kertas yang diberikan ayah kepadaku, jadwal pertandingan
Piala Dunia 2010, yang beliau ambil dari sebuah surat kabar. Aku ingat, hari
itu adalah beberapa hari menjelang Ujian Akhir Sekolah semester 2 SDIT Al-Izzah
Serang. Aku yang saat itu berada di kelas 5 menerima jadwal tersebut, melihat,
dan menaruhnya di dalam lemari meja belajarku. Bunda sampai protes kepada ayah
atas pemberian kertas jadwal pertandingan tersebut. Mau ujian, nanti gak fokus, alasannya.
Singkat
cerita, aku mendukung sang runner up
Piala Dunia 2010, timnas Belanda. Salah satu alasan mendukung Der Oranje adalah
karena beberapa pemain Belanda memiliki darah Indonesia. Sebut saja Giovanni
van Bronckhorst, Mark van Bommel, dan Robin van Persie. Nama terakhirlah yang
sejujurnya menghantarkanku menemukan cinta pertamaku, sekaligus mendapat porsi
lebih di lubuk hatiku.
Robin van
Persie, 6 Agustus 1983, posisi forward,
klub Arsenal. Arsenal? Nama apa itu?
batinku. Aku yang baru mengenal dunia sepakbola tentulah tidak mengerti perihal klub-klub
yang bertebaran di seluruh penjuru dunia. Yang kutahu saat itu, beberapa
pertandingan dengan nama Arsenal di dalamnya ditayangkan di salah satu stasiun
televisi Indonesia.
Satu kali,
dua kali, tiga kali. Aku mencoba menonton klub sepakbola yang dibela Van Persie
tersebut. Jujur aku lupa lawan tanding dan skor akhir pertandingan yang kutonton.
Namun satu yang pasti kuingat. Nama kedua dari klub Arsenal yang kuketahui
adalah Arsene Wenger, pelatih klub tersebut.
Empat
kali, lima kali. Entah beberapa kali aku menonton pertandingan Arsenal, sampai
pada akhirnya aku menyadari, kutemukan kenyamanan setiap melihat sentuhan, tendangan,
operan, dan permainan klub besutan Arsene Wenger tersebut. Inikah yang dinamakan cinta?
Perlahan
tapi pasti, benih-benih cinta pun muncul. Dari hanya mengenal Van Persie dan
Arsene Wenger, nama-nama lain pun menjadi tak asing dalam hidupku. Cesc Fabregas,
Samin Nasri, Bacary Sagna, Andrey Arshavin, dan banyak nama lainnya menjadi
penghias kehidupanku kala itu.
Satu fakta
kudapatkan pada awal lika-liku cintaku pada Arsenal. Tatkala saat itu, musim
2010/2011, menjadi musim kelima Arsenal tanpa trofi terpajang dalam lemari
klub. Untuk sebuah klub sepakbola yang hampir selalu bertengger di empat
teratas klasemen Liga Inggris, hal itu sungguh mengecewakan (bagi para fans
yang sudah lama mencintai Arsenal tentunya!). Terakhir kali Arsenal menjuarai
sebuah kompetisi adalah musim 2004/2005, yaitu menjadi kampiun dalam pergelaran
FA Cup.
Mengetahui
fakta tersebut, aku memilih diam. Aku bersikap bodo amat dengan apa yang sedang terjadi. Namanya orang baru jatuh
cinta, hatinya pasti berbunga-bunga. Semua omongan orang tak dihiraukan dan
pandangan hanya tertuju pada ia yang tercinta. Ya, cinta memang semembutakan
itu.
Di
sekolah, aku mulai mengumumkan bahwa aku adalah seorang Gooner, alias suporter
Arsenal. Teman-teman laki-laki di kelas, yang notabene lebih mengerti bola,
tentu saja meledekku. “Ngapain Nad
suka sama klub yang ga pernah juara?!” oloknya. Tentu aku tidak bisa menjawab.
Bukan hanya karena masih awam dalam mengerti sepakbola, ada hal lain yang tidak
dapat kuungkapkan, terlebih soal perasaan.
Ketika aku menyukai sebuah klub, apakah aku
menyukainya karena klub itu sendiri – ataukah klub tersebut saat meraih banyak
trofi kemenangan? Pemikiran
ini, yang disadur dari perkataan pemain legenda Arsenal–Dennis Bergkamp,
menjadi dasar mengapa aku bertahan menerima olokan teman-temanku.
Nadhira,
kelas 6 SD, merasakan jatuh cinta pertama kali, kepada kumpulan manusia yang
bermain sepakbola dalam sebuah naungan klub berjuluk Meriam London, Arsenal FC.
***
Mungkin
itulah cerita singkat awal pertemuan Nadhira dengan cinta pertamanya (uhuk). Mulai dari itu, akan banyak tragedi
yang terjadi dalam sepak terjang rasa cinta ini terhadap Arsenal. Tentang sosok
Robin van Persie, bangun (dan membangunkan adik) tengah malam hanya untuk
menonton Arsenal, meminta orang tua untuk membeli jersey Arsenal, menulis surat untuk Nadhira masa depan (saat
membuat time capsule sebelum lulus
SD) dan bertanya tentang Arsenal, diikuti oleh akun Arsenal di Twitter, hingga
berkesempatan langsung menyaksikan pertandingan Arsenal di Stadion Gelora Bung
Karno. Terlalu banyak hal yang menarik untuk diceritakan, dan tak mungkin dituang
dalam satu tulisan saja.
Maka
biarkanlah aku mengungkapkan perasaanku dalam kumpulan kisah “Nadhira dan Cinta Pertama”, sekaligus membuktikan bahwa sedari dulu, sekarang, hingga masa yang
akan datang, aku akan tetap mencintai dan mendukung The Gunners.
Ooh to— ooh to be— oh to be a Gooner!
Spoiler: Ketika aku bilang bahwa Arsenal adalah sosok yang pertama kali membuatku jatuh cinta, maka (salah satu pemain) Arsenal juga lah yang membuatku menangis karena laki-laki untuk pertama kalinya!
0 comments