• Home
  • About
  • Contact
    • Mail
  • She Talks Football
  • Untuk Nadhira
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram

encyclopedhira

النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ

النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ

النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ

Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat tersebut selalu membayangiku setiap kali aku membersihkan meja samping kulkas. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat itu lagi yang muncul di benakku setiap kali aku menyapu lantai asrama. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat itu pula yang seakan menerorku saat aku merapikan sandal depan asrama.

Dan bersamaan dengan itu, sebuah ayat muncul di benakku. Sebuah ayat di surah Al-Hujurat, bukan ayat-ayat yang pernah dihafal saat pelajaran aqidah akhlak semasa madrasah dulu, tetapi satu ayat setelah Allah memerintahkan manusia untuk saling mengenal.


"Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; seseungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)

Apa maksudnya Allah mengingatkanku akan hadits tentang kebersihan dan ayat tentang iman dan islam?

Walau sanad dari hadits tersebut adalah dhaif, tapi aku yakin Allah pasti merencakan sesuatu padaku.

Aku mulai berpikir. Menyusun potongan-potongan puzzle dalam benak dan logikaku. Karena aku tidak mempunyai tafsir surah Al-Hujurat, aku merengungkannya ala kadarku saja, dibantu oleh penjelasan Ustad Samsu pada pembinaan aqidah yang telah lalu.

Ah, ya. Sepertinya aku mulai memahaminya.

Jika kebersihan merupakan sebagian dari iman, maka seseorang belum dikatakan beriman bila ia tidak menjaga kebersihan. Begitu, kah?

Betapa kebersihan sangat diagungkan dalam Islam. Mantan ketua YPM Salman ITB, Pak Syarif Hidayat, dalam acara Salman Spiritual Camp (SSC) menegaskan bahwa adab masuk toilet–bahkan masuk masjid sekalipun, bukan membaca doa, melainkan menjaga kebersihan.

Begitu tingginya derajat keimanan. Aku merasa malu bila aku meninggalkan asrama (dalam hal terkecil, kamar) dalam keadaan tidak rapi. Belumlah aku dikatakan beriman kepada Allah, padahal iman berarti kepercayaan. Belumlah iman masuk ke dalam hatiku, apabila aku tak taat perintah Allah dan RasulNya.

Padahal, ibarat sebuah rumah, iman merupakan fondasinya. Bila iman tidak sempurna, kita hanya bisa dikatakan sebagai manusia yang tunduk/Islam (quuluu aslamnaa). Maukah membangun sebuah rumah tanpa fondasi yang kokoh? Hanya sebatas dinding (Islam) dan atapnya (ihsan)?

Bukan sekadar menggurui, apalagi merasa paling suci. Mari sama-sama berbenah diri. Mari berjuang bersama mencapai derajat keimanan dengan hal-hal sederhana yang mudah untuk dilakukan.

Menjaga kebersihan, contohnya. Mulailah dari hal kecil. Mari bersama-sama untuk menaruh sandal dan sepatu di tempat yang telah disediakan dengan rapi. Jangan lupa membuang sampah pada tempatnya. Juga mencuci piring setiap habis makan, dan mencuci peralatan dapur setiap usai masak.

Tak hanya menjaga kebersihan tempat tinggal, menjaga kebersihan diri tak kalah pentingnya. Jangan lupa mandi dua kali sehari. Bila memang pulang kuliah malam hari dan air terlalu dingin untuk mandi, setidaknya berganti baju, mencuci muka, dan menyikat gigi. Bukankah pepatah mengatakan kebersihan pangkal kesehatan?

Aku sendiri pun masih belajar untuk terus meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan. Tegur saja aku bila aku melailaikan. Jangan lupa untuk saling mengingatkan, toh ini juga merupakan kebaikan.

Bukankah menjaga kebersihan itu indah? Dan bukankah Allah itu Indah dan mencintai keindahan?



Catatan: Diri ini hanyalah insan fakir ilmu dan penuh dosa. Karena ini menyangkut ayat Alquran, bila terdapat kesalahan dalam penjelasan, jangan segan-segan untuk mengingatkan. Terima kasih. Wallahu a’lam bisshawaab.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Liburan sudah di ujung mata. Kalau bukan karena LMD (Latihan Mujahid Dakwah, Salman), aku ingin cepat-cepat pulang. Kangen masakan Bunda, kangen main-main sama Najla, dan kangen tethering sepuasnya (astaghfirullah).

Jadilah hari Kamis, 14 Desember kemarin, aku dan teman-teman sepermadrasahku melakukan rihlah melepas penatnya ujian ke suatu tempat di Lembang, The Lodge Maribaya. Memang tidak semuanya, karena beberapa masih ujian dan yang lainnya ada yang sudah pulang. Hanya aku, Alya, Mira, Almyra, Tita, Ihsan, dan Afif.

Kami memandangi hijaunya dataran Maribaya dan menaiki wahananya hingga menjelang siang. Kami kembali menuju kota menggunakan angkot (karena tidak menemukan transportasi online). Di tempat pemberhentian angkot, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Trans Studio Mall untuk makan. Kalau bukan karena ditraktir, mana mungkin aku akan mengiyakan. TSM mahal, bro. Hehe.

Kebetulan sekali, 14 Desember merupakan hari lahir salah satu dari kami, yaitu Mira. Teman sekamarku semasa kelas 11 ini ingin membelikan makanan untuk keenam temannya. Gara-gara itu, Ihsan sampai membatalkan puasanya. Jadilah kami makan di Marugame Udon (yang harga satu porsinya lebih dari selembar uang berwarna biru) dan berjalan-jalan (baca: windows shopping) di sekitaran mall tersebut.

Bukan itu yang ingin aku ceritakan, sejujurnya. Berjalan bersama kawan Insan Cendekia, memang berbeda.

Sesaat setelah sampai di The Lodge Maribaya, kami baru menyadari bahwa tempat wisata belum dibuka. Bahkan tempat pembelian tiket pun masih tutup. Akhirnya, kami duduk di sebuah tempat makan, sambil menunggu.

“Yang belum makan silakan makan dulu, yang belum sholat dhuha silakan sholat dulu,” ujar Afif.

Saat jalan-jalan pun, teman-temanku masih memikirkan amalan sunnah. Sholat dhuha yang selalu dilaksanakan sebelum berangkat sekolah, seakan tidak mau ditinggalkan. Pun halnya dengan sholat wajib. Saat hendak turun dari angkot, melihat kami satu rombongan, sang supir menawarkan untuk mengantar kami ke tempat wisata lainnya. Namun karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.30, maka kami memutuskan untuk menolaknya.

“Cari masjid dulu, ya,” kata Ihsan dan Afif. Kami mengiyakan.

Alhamdulillaah, baru berjalan sedikit, kami menemukan sebuah gang yang mengarah kepada suatu masjid. “Itu masjid!” pekikku kegirangan. Jadilah kami melaksanakan sholat dzuhur – sekaligus istirahat di masjid tersebut.

Tidak ingin ketinggalan waktu sholat ya, batinku.

Setelah makan udon hinga kenyang dan berjalan-jalan (walau tak beli apa-apa), tak terasa waktu maghrib hampir menghampiri. Kami memutuskan untuk berjalan menuju mushola yang terletak di lantai tiga, sembari menunggu waktu maghrib tiba.

Adzan berkumandang di dalam mushola. Sesaat setelah itu, sholat maghrib berjamaah langsung didirikan. Aku bersyukur, berkesempatan melaksanakan sholat berjamaah di sebuah mall, terlebih ketika sang imam membaca beberapa ayat dari awal surah Al-Kahfi. Ah iya, benar. Hari ini malam Jumat, sunnah membaca surah Al-Kahfi.

Bahkan sebelum pulang, Afif menyeletuk, “Pas udah nyampe kos dan asrama masing-masing, jangan lupa Al-Kahfi ya.”

Inilah yang kurindukan menjadi siswa Insan Cendekia. Tak pernah abstain dalam mengingatkan akan kebaikan, bahkan bersama-sama melakukannya. Tentu saja aku bersyukur saat ini aku berada di Rumah Sahabat Muda naungan Masjid Salman, sehingga saling mengingatkan akan kebaikan pun tidak hilang. Namun tetaplah, tiga tahun di Insan Cendekia (walau tidak pernah dididik ala pesantren), membuat kami banyak belajar, hingga agama sekalipun.

Selama di perjalanan, celotehan cerita tidak berhenti dari mulut kami. Kami bernostalgia atas apa yang pernah kami lakukan semasa di madrasah. Bahasa lain dari pengakuan dosa, hehe. Aku bercerita bahwa aku pernah membawa laptop saat kelas 10 dan mengunci kamar selagi aku dan teman sekamarku memainkannya. Belum lagi cerita ngumpet dari divisi kedisiplinan OSIS bila waktu sholat telah tiba, hingga kasus yang membuat dua orang dari kami terpaksa dikeluarkan dan lima lainnya harus libur lebih panjang (alias diskors).

Mira dan Ihsan, yang semasa kelas 11 menjadi MPS (pengawas) divisi kedisiplinan, membisu mendengar penuturan dari kami. Mungkin lebih tepatnya mereka kagt. Sebagai anak dengan catatan pelanggaran paling sedikit, tentulah hal itu menjadi sesuatu yang dapat membuat mereka geleng-geleng kepala.

“Ternyata dulu kalian sebandel ini, ya,” kekeh Mira.

“Itu mah biasa aja. Selama yang dilanggar bukan peraturan agama, sans aja lah,” kata Afif.

“Ah, aku nyesel deh kurang brandal waktu di IC dulu,” celetukku.

Kami semua tertawa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Jumat pagi, tepat sehari sebelum UTS 2 Kimia, aku dan teman-teman Rusa Muda mendapat kabar tidak menyenangkan. Aku sedang merebahkan diri di kasur ketika tiba-tiba aku berteriak, “Innalillaahi!”

Ponsel milik salah seorang dari kami hilang, sepertinya diambil orang. Yayas namanya. Gadis asal Sukabumi yang berada di fakultas Kebumian kehilangan HPnya tak lama setelah subuh, di Masjid Salman ITB. Kronologinya, ia sedang mengaji kemudian tertidur di lantai kayu Salman. Saat bangun, ia sudah tidak mendapati ponsel miliknya di tas. Yayas memang tidak pulang ke asrama. Semalam, ia dan teman-teman sekolahnya belajar bersama di Eduplex, sebuah kafe sekaligus tempat belajar tidak jauh dari ITB.

Ya Allah, kenapa Yayas lagi? batinku. Sebelumnya, ia pernah kehilangan sepeda di asrama kami. Padahal, sepeda tersebut baru dua hari ia beli bersama orang tuanya. Tak hanya itu, sepasang sepatu pun raib di depan asrama kami. Entah maling yang terlalu canggih atau bagaimana, halaman depan asrama kami sepertinya sedikit tidak aman. Karena aku dan Teduh, teman asramaku juga, menjadi korban kehilangan sepatu pertama kali, tepat sehari setelah aku menginjakkan kaki di asrama berbentuk rumah yang berada di daerah Sadang Serang ini.

Yayas memberi tahu kami lewat akun Line milik Citra yang kebetulan sedang berada di Salman, sekitar pukul delapan pagi. Kami memberi saran kepada Yayas untuk mencoba bertanya kepada ibu-ibu yang biasa berjaga dan merapikan barisan di Salman, siapa tahu HPnya diambil dan diamankan di ruangan security. Namun sayangnya, hasilnya nihil.

Sekitar jam sembilan, Yayas kembali ke asrama. Ia menelepon ibunya menggunakan HP Teduh dan aku mendengarnya menangis. Siapa yang tidak menangis bila bercerita kepada orang tua bahwa ia kehilangan ponsel? Yayas kami yang sangat ceria (dan sangat micin, terlihat tidak berdaya saat menangis.

Pada saat yang sama, Nahdia, Zura, dan Teduh mengunjungi kamarku dan Resha. Kami berlima mendiskusikan sesuatu. Satu kesepakatan muncul. Ayo kita belikan HP baru buat Yayas! Kami berencana patungan agar tidak memberatkan. Tidak hanya dari Rusa 3, kami juga meminta bantuan dari para rusa jantan, Rusa 1 dan Rusa 2.

Aku menghubungi Ivan, meminta bantuannya dan para rusa ikhwan untuk membantu rencana kami. Ia merespon, dan juga memberi pertimbangan. Dan tepat setelah dzuhur, Ivan memberi tahuku bahwa pasukan Rusa 1 telah berhasil mengumpulkan uang sebesar 350.000 rupiah. Wow. Cepat sekali. Memang sih, jumlah anggota Rusa 1 cuma enam orang ditambah satu kakak fasil yang membuat proses pengumpulan uang menjadi lebih cepat.

Nahdia dan Resha menghubungi rusa akhwat yang sedang tidak ada di rumah, agar mereka tidak lupa. Ada satu alasan mengapa kami bergerak cepat untuk membelikan HP untuk Yayas. Selain betapa pentingnya sebuah ponsel (apalagi untuk menghubungi orang tua), kami juga takut keduluan Yayas. Hehe. Takut Yayas keburu beli HP.

Malamnya, hampir semua uang dari rusa akhwat telah terkumpul. Bahkan kakak fasil kami, Teh Vani, ikut menyumbang untuk kelancaran rencana kami. Tinggal tunggur Rusa 2, batinku. Aku berniat untuk menghubungi Ivan kembali, menanyakan progres pengumpulan dana di Rusa 2. Belum sempat aku naik ke kamarku yang berada di lantai dua, terdengar suara ketukan pintu.

“Assalamu’alaikum!” teriak suara di luar. Sepertinya bukan satu orang.

“Yayas, dipanggil Alam!” seru salah seorang dari Kami. Alam merupakan teman kami dari Rusa 2 dan juga teman SMA Yayas, Insan Cendekia Al-Kautsar.

Awalnya, aku tidak berpikiran apa-apa, sampai setelah Alam dan Alaex (ternyata yang berkunjung dua orang) pulang, Yayas berteriak, “Alhamdulillaah ya Allah!”

Sontak, aku yang sedang berada di kamar Salma dan Dedek langsung menuju ruang tengah. “Ada apa?”

“Rusa 2 baik banget... Ngasih aku uang, 620.000... Padahal aku nggak minta, padahal aku juga udah nolak,” ujar Yayas. Ekspresi terharunya tidak dapat disembunyikan.

WAIT. WHAT?

Niat kami kan memberi kejutan buat Yayas, kok Rusa 2 malah ngasih langsung ke orangnya, sih?!

Aku kaget setengah mati. Aku langsung menaiki tangga, menuju kamarku, dan saat itu juga langsung menelepon Ivan. Aku nyerocos cukup panjang, meluapkan kekesalanku terhadap Rusa 2 padanya. Ternyata ada sedikit miskomunikasi. Bukan hanya aku yang kaget. Kawan-kawanku yang lain pun juga bingung. Gabungan uang Rusa 1 dan Rusa 3 belum cukup untuk membeli ponsel Lenovo A6010, HP Yayas sebelumnya. “Emang ya, Rusa 2, dasar micin!” gerutu Nahdia.

Aku, Nahdia, dan Teh Vani memutar otak supaya kami bisa mengambil uang Rusa 2 dari tangan Yayas. Akhirnya kami menyuruh Citra, teman sekamar Yayas, untuk memperhatikan dimana Yayas menyimpan sebuah amplop putih bertuliskan “Yayas” dengan tipografi (pasti Furqon yang menulis) pada malam harinya. Sehingga esok pagi, sebelum berangkat kuliah, aku bisa mengambilnya. Terdengar kriminal memang. Tapi mau bagaimana lagi. Toh uangnya pun akan kembali ke dia, walau dalam wujud berbeda.

Yayas, Yayas. Entah kamu yang tidak aware dengan barangmu sendiri atau bagaimana, kamu malah menaruh amplop berisi uangmu di atas kasur. Bukan di lemari, atau di selipan buku. Haduh. Dan untungnya, kamu berangkat lebih pagi dari aku, jadilah aku dengan mudah mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam dompetku, beserta uang gabungan Rusa 1 dan Rusa 3.

Qadarullah lagi, aku satu gedung ujian dengan Yayas, di Oktagon. Aku berjumpa dengan Yayas sehabis ujian, dan tiba-tiba Yayas membahas HPnya.

“Pengen ke BEC (Bandung Electronic Center) deh, pengen beli HP,” katanya.

EH?! “Kapan Yas?” tanyaku.

“Rabu kali ya, sekarang aku mau hidup tanpa HP dulu. Biar kayak zaman asrama dulu, jadi anak pesantren gitu,” ujarnya. Dasar Yayas. Untungnya ia sudah kembali ceria dan mereceh seperti biasa.

Aku tidak langsung pergi membeli HP. Usai ujian kimia yang bikin penat, sebuah es krim gratis akan menjadi penawar yang tepat. Aku bertemu Ulya, dan berjalan bersama menuju Aula Timur ITB, mengunjungi pameran karya dari jurusan Kewirausahaan (SBM) sambil menikmati es krim Aice gratis. Biasa lah. Mahasiswa. Carinya yang gratis. Hehe.

Barulah setelah dzuhur, aku pergi ke BEC bersama Dedek, si bocah FSRD yang kebetulan ingin mereparasi kameranya. Hampir setiap toko yang aku dan Dedek lewati menawarkan ponsel-ponsel terbaru mereka, seakan mereka menodong kami.

Aku berhenti di suatu toko. “Mbak, ada Lenovo gak?” tanyaku. Mbak-mbak penjaga toko menyodorkan semacam katalog HP beserta harganya. “Kalau Lenovo A6010 ada gak, Mbak?” tanyaku lagi.

Sayang seribu sayang, HP tipe tersebut sudah tidak diproduksi lagi. Yang terbaru bertipa A6600. Aku sempat bingung. Resha, teman kamarku semalam berkata bahwa Yayas inginn HP yang sama dengan sebelumnya. Setelah aku melihat bentuk fisik Lenovo A6600, aku yakin. HP ini mirip sekali dengan punya Yayas. Bentuk kotaknya, posisi kamera belakang, hingga tombol home dan ­back-nya. Okelah, aku fix membeli HP yang ini.

Alhamdulillah, uang yang terkumpul lebih dari cukup. Akhirnya, selain membeli HP, aku juga membeli kartu perdana, kuota, dan temper glass untuk Yayas. Rincian harganya pun aku paparkan kepada teman-teman Rusa akhwat, juga kepada Ivan.

Beli HP, sudah. Sekarang saatnya memikirkan bagaimana kami memberikan HPnya ke Yayas. Teh Vani mengusulkan sebuah aksi dramatis yang membuat Yayas panik. Secara, uang 620.000 yang baru semalam dikasih telah raib dari kamar Yayas.

Akhirnya, pada malam itu, setelah Yayas kembali ke rumah (aku mewanti-wanti supaya ia tidak pulang malam, karena tidak akan bisa dihubungi, apalagi pesan ojek online), kami mulai melancarkan aksi. Sayangnya, ia asyik mengobrol di ruang tengah bersama Ulya dan Arum. Padahal, kamar Yayas berada di lantai atas. Setelah berapa lama pun Yayas belum kembali ke kamar. Akhirnya, Arum si anak sastra mulai berakting meminjam uang ke Yayas, untuk membeli susu kotak yang besar dan kopi. Ia memang tidak bohong. Uang yang ia pegang habis untuk membeli tiket pulang ke Trenggalek.

Akhirnya Yayas naik ke kamarnya. Setelah dipancing-pancing, ia mulai mencari amplop putih miliknya di penjuru kasurnya. Dalam lemari, bawah bantal, hingga di tumpukan baju ia mencari. Namun hasilnya nihil. Sebenarnya, alasan kami membuat drama seperti itu adalah untuk menyadarkan Yayas supaya ia tidak ceroboh lagi, dan harus lebih hati-hati.

Yayas mulai panik. Arum menambah kepanikan Yayas dengan bercerita bahwa ia mendapati asrama yang tidak dikunci saat ia pulang dari kampus. Hanya dislot saja. Cerita Arum tidak hanya membuat Yayas panik, tetapi kami juga. Arum yang pertama kali datang ke asrama, sedangkan kami pergi ke kampus pada pagi hari. Orang yang terakhir keluar asrama adalah Dedek, namun tidak mungkin Dedek lupa mengunci pintu, karena ia orang yang sangat apik.

Kami jadi berpikiran ke mana-mana. Untungnya, aku bertanya pada Dedek dan menanyakan perihal pintu tersebut. Dedek bilang, ia memang tidak mengunci pintu saat pergi ke ITB, dan hanya menyelot pintu dari jendela yang tidak dikunci pula. Satu masalah terpecahkan, walau tetap saja itu tidak aman.

Dan pada saat itulah kami siap memberikan kejutan untuk Yayas. Satu hal lagi yang membuatku bingung. Masak kami nyanyi happy birthday to you ke Yayas? Ulang tahun dia sudah lama terlewat. Akhirnya, Teh Neli, kakak fasil kami juga, memberi ide.

Aku berjalan ke kamar Yayas yang penuh oleh anak-anak Rusa 3 sambil membawa sebuah kotak kado.

“Alhamdulillaah wa syukurillaah, bersyukur padamu ya Allah. Kau jadikan kami saudara, indah dalam kebersamaan kebersamaan.”

Kami menyanyikan lagu tersebut untuk Yayas. Saat aku menyanyikannya, aku sedikit merinding. Ah, memang persaudaraan itu indah. Sebuah hal yang patut untuk disyukuri. Karena sebuah ukhuwah pula kami dapat membuat seseorang tersenyum kembali.

Yayas speechless. Kami memeluknya erat.

“Foto dulu dong, pake HP baru!” seru salah seorang dari kami.

Yayas mengoperasikan HPnya, dan karena OS Android terbaru, ia sedikit tidak mengerti dengan tampilannya. “Duh, mana ya tombol kameranya. Ya ampun, aku udik banget deh. Udah kayak gak megang HP bertahun-tahun,” celetuknya. Kami tertawa. Padahal cuma 41 jam dia tidak mempunyai HP, rasanya sudah kayak berabad-abad saja.

Aku meminta maaf pada Yayas karena dengan sengaja mengambil amplop berisi uang 620.000 tersebut dari atas kasurnya. “Lagian, kamu tuh kalau naruh barang yang bener, lah! Itu duit Yas, jangan ditaruh di atas kasur!” omelku. Yayas hanya cengengesan.

Akhirnya, kami menceritakan dari awal sampai akhir bagaimana Lenovo A6600 bisa berada di tangan Yayas. Termasuk miskomunikasi Rusa 2 yang memberikan uangnya langsung pada Yayas.

“Emang ya! Rusa 2 tuh ketularan Erdo semua! Micin memang micin!” komentar Yayas.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Nadhira KA, 21. An architecture student who loves photography and proudly be as a Gooner.

Follow Us

  • twitter
  • instagram
  • behance

Categories

  • Nadhira dan Cinta Pertama
  • karena kita; Axiora
  • kehidupan ITB
  • kepingan kenangan

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  November 2023 (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
  • ►  2019 (5)
    • ►  June 2019 (4)
    • ►  May 2019 (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
  • ▼  2017 (45)
    • ▼  December 2017 (3)
      • Sebagian dari Iman
      • Jalan Bareng Himpunan (?)
      • Buah Sebuah Ukhuwah
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  August 2017 (1)
    • ►  July 2017 (15)
    • ►  June 2017 (5)
    • ►  May 2017 (14)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  September 2016 (3)
    • ►  August 2016 (3)
    • ►  July 2016 (6)
    • ►  June 2016 (6)
    • ►  May 2016 (4)
    • ►  April 2016 (7)
    • ►  March 2016 (2)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (46)
    • ►  December 2015 (8)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  September 2015 (4)
    • ►  August 2015 (6)
    • ►  July 2015 (3)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (1)
    • ►  April 2015 (3)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (8)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (24)
    • ►  December 2014 (7)
    • ►  November 2014 (4)
    • ►  October 2014 (12)
    • ►  September 2014 (1)

Facebook

ThemeXpose