­

Unsent Letter; Gale S.

by - July 13, 2015

Aku tak tahu bagaimana harus memulainya.
Bahkan tak tahu dengan cara apa aku mengakhirinya. Setelah semua yang telah terjadi, aku hanya bisa mendesah pelan.

Teruntuk kau yang tak pernah melihatku.
Jika kau berikan satu kesempatan padaku untuk bicara padamu, izinkan aku mengucapkan satu kata yang tak pernah kuutarkan.
Maaf.
Maaf atas segala keegoisanku.
Maaf telah membuatmu merasa tidak nyaman.
Maaf bila aku terlalu naif.
Maaf jika aku sering bertindak bodoh.
Maafkan aku, karena tidak bisa membendung perasaanku.
Pernahkan kau merasa ditakuti seseorang?
Pernahkan kau berada di suatu tempat dengan seseorang dan orang tersebut memalingkan wajahnya, tak menatapmu?
Pernahkan kau merasa seakan kau adalah barang najis baginya?
Ya, aku merasakannya.
Aku memerhatikanmu. Aku tahu kau bersembunyi di balik dinding saat aku dan kau sedang kumpul, bahkan dalam perkumpulan yang berbeda. Aku memerhatikanmu. Saat kau menatap arah lain sedang teman-temanmu melingkar mendengarkan perkataanku. Aku memerhatikanmu. Kau yang tak sudi baris di belakangku saat latihan basket yang lalu.
Aku memerhatikanmu. Menunduk dan pindah ke tempat lain setelah tersadar aku membidik kameraku ke arahmu secara gamblang. Aku memerhatikanmu. Kau yang lebih memilih berada di lantai 2 GSG dibanding duduk bersama teman-teman sekelasmu karena tahu aku akan ada di sana. Aku memerhatikanmu. Lewat kicauan temanmu, aku tahu kau marah padaku karena aku mengunggah satu fotomu di jejaring sosial.
Hey, aku memerhatikanmu. Berusaha menghindar, menganggap semua hal yang telah terjadi haruslah kau benci.
Aku tahu itu.
Tapi ingatkah, ketika aku masih bebas bertanya ini itu padamu, dulu?
Aku ingat. Aku pernah ingin tahu apakah kau bisa bermain gitar, dan kau jawab kau lebih memilih bass.
Aku ingat, aku pernah meneriaki namamu saat kau bermain basket, bersama rekan kelasmu, menghancurkan tim basket suatu kelas.
Bahkan, aku (tiba-tiba) teringat, bahwa aku pernah bernyanyi selamat ulang tahun padamu dengan lantang, sembari merekammu yang basah kuyup disiram air oleh kawan sekelasmu.
Tak kusangka aku pernah melakukannya. Ya, itu dulu.
Sebelum kau mendadak terkenal di bumi Insan Cendekia. Sebelum kau menjadi pembawa acara debat capres pemilu IC 2015. Jauh sebelum aku diam-diam mengidolakanmu.
Bila ada seseorang yang berkata padamu bahwa aku menyimpan rasa padamu, itu tidak benar. Aku hanya mengagumimu. Layaknya seorang fangirl menggilai oppa-nya. Seperti seorang penggemar memikirkan idolanya. Bak pengagum mencandu berbagai foto artis pujaannya.
Mungkin aku yang terlalu mengagumimu, sehingga membuatmu tak nyaman. Mungkin aku yang terlalu mengagumimu, sehingga tanpa sadar aku mempermalukan diriku dihadapanmu. Mungkin aku yang terlalu mengagumimu, sehingga aku pantas menerima perlakuan apapun darimu.
Seburuk-buruk aku di matamu, aku tak akan ragu untuk meminta maaf padamu.
Maafkan aku.
Aku berjanji, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk berubah. Menjadi seseorang yang pantas kau ajak bicara, bercengkrama, bermain, bercanda, atau bahkan belajar bersama.
Lupakan semua hal yang telah terjadi.
Kau dan aku, kita bisa berteman kan?

Dari aku yang takut padamu.

You May Also Like

0 comments