• Home
  • About
  • Contact
    • Mail
  • She Talks Football
  • Untuk Nadhira
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram

encyclopedhira

Wah ada 2 part. Banyak ya. Iya, soalnya kenangannya juga banyak. Uhuy.

Kenapa dibuat 2 part? Soalnya tulisan ini buat blog, ringan, jadi gausah panjang-panjang. Lagipula tulisan ini bukan esai tekpres kan, hehe.

Selamat (lanjut) membaca!



5. Kuis Kalkulus


Rabu sore, pukul 15.00-17.00 kali itu dipakai untuk kuis kalkulus bab 12. Kelas sudah diberi tahu satu minggu sebelumnya. Aku pun sudah mempersiapkan (baca: belajar) untuk kuis nanti, modal latihan soal hanya dari jam 13.00-14.30, hehe. Alhamdulillah kelas TTKI (Tata Tulis Karya Ilmiah) hari itu diliburkan, sehingga aku dapat belajar.

Paginya saat kelas, Pak Prama bilang, “Karena jam tiga itu mepet asar, jadi kuisnya mulai jam 15.45 ya,” dan dijawab serentak oleh kelas, oke Pak.

Usai sholat asar, aku ke kelas. Pak Prama belum datang (dan ternyata tidak datang). Jam 15.45, datanglah dua orang, yang nantinya kutahu sebagai mahasiswa magister Matematika, membawa setumpuk kertas.

“Ini kelasnya Pak Afif, kan?” tanya salah satu dari dua orang tersebut.

Aku ingin menjawab ya, tapi salah satu anak di kelas menyahut dengan suara rendah, “Pak Afif siapa?” Hehehe bocah bocah jarang ikut tutor nih. Pak Afif kan asdos kelas kita. Hehehe.

Karena seisi kelas hanya bergeming, orang tersebut kemudian bertanya lagi, “Dosen kalian siapa?”

“Pak Prama, Kak,” jawab seisi kelas.

Salah satu temanku mendengar satu dari dua orang tersebut berkata lirih, “Oh, kelasnya Kak Prama.”

Iya Kak, ini kelasnya Mas Pram Kak Prama. Eh Pak Prama.

Setumpuk kertas yang tadi kulihat merupakan lembar soal dan jawaban kuis. Dan kuis pun akan dimulai. “Sebelum kuis dimulai, ada pertanyaan?” tanya salah satu dari dua orang kakak magister tersebut.

Entah kenapa, aku mengacung tangan. “Kak, Pak Prama-nya gak dateng?”

“Nggak.”

Tiba-tiba terdengar celetukan, “Yah, Nadhira kecewa.”

 

6. NIM


Sebelum kelas tutor Rabu sore pukul 15.00-17.00 mulai, aku masih suka menggambar di papan tulis (aku tidak kapok dengan kejadian memalukanku sebelumnya). Salah satu temanku, Nico, menulis deretan angka di papan.

10111010

“Apaan tuh Nico? Kode biner?” tanyaku.

Nico menggeleng. “Bukan, itu NIM Bapaknya waktu kuliah (bapaknya disini adalah Pak Dosen ya).”

“Hah? Beneran? Tau dari mana?” tanyaku lagi.

“Coba aja tanya,” jawab Nico, selalu dengan gaya cool-nya.

Papan tulis sudah bersih ketika Pak Prama masuk kelas. Tutorial pun dimulai, dan pukul 15.30 kelas diistirahkatkan untuk sholat asar. Sebelum sholat asar, aku ke toilet. Alhasil, aku datang kembali ke kelas pun agak telat.

Aku melangkahkan kakiku ke dalam kelas. Sejurus kemudian, teman-teman kelasku menyorakiku. “Ah, Nadhira sayang banget dateng telat. Ah Nad, sayang banget. Kamu ketinggalan informasi nih,” begitu katanya.

Bingung lah aku. Aku bertanya pada Elfira, yang duduk di belakangku. “Ada apaan sih?” tanyaku.

“Rahasia,” Elfira tersenyum misterius.

“Ih apaan dah,” kataku tak sabar.

“Ada deeeh,” Elfira makin membuatku penasaran. “Lagian, kamu istirahat lama banget, sih,” katanya.

“Ih tadi ke toilet dulu,” belaku.

Dan saat pulang, aku tau apa yang dibicarakan teman-teman sekelasku saat aku belum kembali ke kelas. Mereka menanyakan kebenaran NIM Pak Prama ke orangnya langsung.

Dan ternyata benar, NIM Pak Prama saat kuliah di ITB dulu adalah 10111010. 101, kode jurusan Matematika. 11, angkatan 2011. Dan 010, absen 10. Iya, Pak Prama angkatan 2011. Cuma beda 6 tahun di atas angkatanku. Masih muda kan? Hehe.


7. Nama


Kelas tutorial kalkulus hari Rabu sore pukul 15.00-17.00 membuatku dan teman-teman kelasku (yang rajin datang tutor pastinya) menganggap Pak Prama seperti kakak tutor ketimbang dosen. Bahkan Pak Prama lebih muda daripada kakak tutor kalkulus kelasku semester lalu yang sering ku bully. Aku, Hanafi, Yazid, Amanda, Amara, dan Yita menjadi langganan duduk lesehan di bawah, tidak di kursi, saking santainya.

Waktu masih menunjukkan pukul 15.05. Salah satu temanku, Caca, menyeletuk. “Bapak, sholat yuk.”

Pak Prama terkekeh. “Nanti ya, tunggu adzan. Jangan bikin aliran aneh-aneh kamu, ya.” Aku dan teman-teman kelasku pun tertawa. Aku ingat, saat itu waktu asar berada pada pukul 15.11.

10 menit kemudian, Pak Prama berujar. “Nah, karena sudah adzan, dan untuk memenuhi permintaan Salsabila, sekarang kita istirahat sholat asar dulu ya.”

Caca, yang memang nama aslinya adalah Salsabila, kaget. “Ih, Bapak tau nama saya?” tanyanya, ngegas.

“Tau lah.”

Hanafi pun menyeletuk. “Coba Pak, sebutin nama kita satu-satu. Gak boleh liat absen ya Pak,” tantangnya.

Pak Prama menunjuk, dimulai dari sebelah kanan beliau.

“Fitri, Friska, Yita, Aisha, Dyah, Amara, Amanda, Nadhira, Hanafi, Yazid...”

Reaksi Fitri: Ih Bapaknya kenal aku dengan hebohnya.

“Calvin, Nico, Jennifer, Ivory, duh ini siapa ya? Salma?”

Reaksi kelas: Bukan Paaak. Ica Pak.

“Ah ya. Hafidza ya, baru sebelahnya Salma. Kalian ini duduknya sering sebelahan, jadi saya ketuker juga. Salsabila...”

Reaksi Caca: Salsabila siapa Pak?

“Duh kalau itu saya harus liat daftar hadir. Tapi saya tahu ada dua Salsabila di kelas ini.”

Dan Pak Prama pun lanjut menyebutkan nama-nama anak kelas yang hadir (sekitar 20-30 orang). Hampir semuanya benar, hanya tiga-empat orang yang salah sabut atau tertukar.

Satu lagi. Dosen pertama yang kutemui, yang menghafal hampir seluruh muridnya, padahal belum satu semester. Dosen kimiaku, Bu Ria juga hafal nama-nama kami, tapi sepertinya tidak sebanyak Pak Prama.


8. Membahas Pertanyaan Sulit


Hal yang menyedihkan pun datang. Tibalah Rabu sore, pukul 15.00-17.00 itu menjadi jam tutorial terakhir bersama Pak Prama. Kami membahas beberapa pertanyaan sulit bab 13, Aplikasi Integral, yang belum sempat dijawab saat kelas pagi hari.

Setelah pertanyaan terjawab, Hanafi bertanya. “Pak, kalau sumbunya yang diubah, gimana?” Ia bertanya dengan soal yang sama dengan sebelumnya, namun ditambah sedikit modifikasi.

Pak Prama kemudian mencoba menjawab pertanyaan tersebut sambil menjelaskan, namun buntu di suatu jalan.

“Pak, kalau gini bisa gak?” salah satu temanku memberi usulan.

Pak Prama mencoba mengerjakan dengan usulan temanku tersebut, namun lagi-lagi beliau buntu.

Kami pun bersama-sama memikirkan cara menjawab pertanyaan tersebut, sambil berdiskusi. Dan tak terasa, waktu menunjukkan pukul 15.50.

“Nanti ya, kita lanjutkan lagi diskusinya. Sekarang kita break sholat dulu ya,” kata Pak Prama.

“Iya Pak, sholat dulu aja. Siapa tahu, setelah sholat dapet ilham gitu buat jawabnya,” sang pemberi pertanyaan, Hanafi, menambahkan, sambil tertawa.

Aku, dan beberapa temanku pun keluar kelas untuk melaksanakan sholat asar.

Benarlah, seusai sholat dan kelas mulai kembali, Pak Prama sudah mendapatkan jawabannya. “Nah, jadi ini tuh begini,” Pak Prama pun menjelaskan. Kami manggut-manggut.

"Benar ternyata. Harus sholat dulu, baru ketemu jawabannya," ujar Pak Prama, terkekeh.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Aku tak tahu bagaimana mulanya, sejujurnya. Namun yang kutahu, segala kejadian penimbul kenangan muncul setiap hari Rabu, di jam kuliah terakhir, pukul 15.00-17.00.

Ada apa di jam tersebut? Jam tutorial.

Mata kuliahnya? Matematika Dasar 2A, yang lebih familiar disebut Kalkulus. 


1. Mungkinkah ini Awal?


Satu waktu, jam kuliah kalkulus minggu depan ditarik satu minggu sebelumnya. Kuliah hari Rabu pagi minggu depan diadakan Rabu minggu sebelumnya, di jam tutorial kalkulus, pukul 15.00-17.00.

Ah, jam nanggung, batinku. Kusebut jam nanggung karena jam tiga sore adalah waktu menjelang sholat asar. Mau sholat dulu sebelum kelas, tapi adzan baru berkumandang sekitar 15.20 (pada waktu tersebut). Atau sholat setelah kelas, sedangkan kelas baru usai pukul 16.40, yang membuat selama pelajaran sedikit tidak tenang. Pilihan paling tepat mungkin izin di tengah pelajaran. Ah, tapi takut gak nyambung dan gak paham dengan materinya, hehe.

Akhirnya, kuputuskan untuk masuk kelas saja. Lagipula, hanya sekali pergantian jam kuliah seperti ini. Kalau jam tutorial sebenarnya relatif lebih santai. Mau masuk jam berapa pun tidak masalah (bahkan tidak masuk pun tak apa!). Yang mengajarnya pun bukan dosen, melainkan asisten dosen. 

Dosen kalkulusku, Pak Prama, datang lebih dulu, sehingga kelas mulai tepat pada pukul 15.00. Materi yang dibahas adalah penjelasan lanjut mengenai kekonvergenan deret, materi yang sedikit belum kupahami karena beban pikiran lebih berat kepada satu mata kuliah 3 SKS rasa 10 SKS, Tekpres Arsi. Karena aku masih belum mengerti materi yang diajarkan (bahkan aku masih mencerna materi yang dijelaskan pagi hari saat jam kuliah asli) dan hawa sore Bandung dan ruang 9223 GKU Timur yang cukup adem, aku pun tertidur. Mungkin sekitar 10-15 menit.

Aku terbangun, melihat jam. 15.45. Aku bangun persis di saat Pak Prama berkata, “Kita break dulu ya, 10 menit, buat sholat asar. Bagi yang melaksanakan sholat asar, silakan sholat dulu.”

Di tengah ambang sadar dan tidak sadar sehabis bangun tidur, aku langsung berdiri, mengajak beberapa temanku untuk sholat. Aku tersentak. Baru kali ini aku mendapati dosen yang memberikan waktu istirahat untuk sholat. Memang, sih, aku baru merasakan kelas jam tiga sore di semester dua, dan hanya hari Senin-Rabu. Senin sore matkul PRD (Pengantar Rekayasa dan Desain), Selasa sore praktikum, dan Rabu sore tutorial kalkulus. Untuk Selasa sore jelas tidak bisa izin sholat di tengah praktikum. Dan untuk Senin dan Rabu sore, jujur saja aku belum penah minta izin untuk sholat (atau bahasanya izin ke toilet) di tengah pelajaran. 

Kelak, seluruh kisah di bawah akan menceritakan dosen kalkulusku yang satu ini, dosen yang akan selalu kuingat sebagai dosen pertama yang memberikan waktu sholat asar di tengah pelajaran.


2. Tutor Sebelum UTS


UTS kalkulus tinggal tiga hari lagi. Aku merasa belum siap. Seperti yang sudah kusebutkan – karena materi deret konvergen dan segala tetek bengeknya yang masih sulit kupahami. Di kelas pagi tadi, Pak Prama menawarkan untuk melanjutkan review materi di jam tutorial nanti. Anak-anak di kelas pun tentu saja setuju. Jadilah untuk kedua kalinya, Pak Prama mengajar di jam tutorial kalkulus, Rabu sore pukul 15.00-17.00.

Aku pun tenang datang ke kelas. Bapaknya pasti ngasih waktu istirahat sholat, pikirku. Pak Prama pun, selalu datang pukul tiga kurang.

Pukul 15.00, Pak Prama berujar–dan bertanya, “Karena adzan asar sekarang jam 15.07, kita mulai kelasnya jam setengah empat aja ya, nanti selesainya jam 17.10. Biar yang sholat bisa sholat dulu. Gimana? Gapapa kan?” Aku dan teman sekelasku mengiyakan.

Dan saat itu aku semakin tersentak, idaman panutan banget dah si Bapak.


Sebelum berlanjut ke cerita ketiga.
H-1 UTS kalkulus, aku belajar mati-matian (ya biasalah karena baru buka buku H-2 UTS), mempelajari tiga bab yang menjadi bahan ujian, hingga pukul dua pagi, dengan semangat dan sedikit catatan di halaman pertama buku latihanku. Buat bangga Pak Prama!



3.  Bukan di Jam Tutorial


Cerita ini bukan di jam tutorial, melainkan di jam kelas hari Senin pagi, pukul 07.00-09.00, tepat dua hari setelah UTS kalkulus– yang alhamdulillah ya Allah aku bisa huhu sungguh mengharukan.

Pak Prama, setelah mengucapkan salam dan selamat pagi, bertanya. “Gimana ujiannya kemaren?”

Dan seisi kelas menjawab kompak–dengan jawaban tipikal anak ITB, “Aduh Pak, lupakan Pak. Jangan dibahas.”

Bapak Dosen pun tertawa. Kemudian, beliau bertanya lagi. “Jadi, untuk sekarang, jam tutorialnya mau sama saya atau sama Pak Afif asdos?”

Seisi kelas lagi-lagi menjawab kompak, “Sama Bapaaaaaak!”

Dan jadilah, mulai Rabu, 14 Maret 2018, Pak Prama resmi mengajar tutorial kalkulus kelas 45–kelasku, mengantikan Pak Afif, sang asisten dosen, yang aku saja sering skip masuk kelas beliau, hehe.


4. Tutor Pertama–Tragedi Pertama


Aku belum pernah begitu semangat datang ke kelas tutorial kalkulus (di semester dua) seperti hari ini. Wah, kalau tutor kalkulus semester satu lain cerita. Aku semangat karena dapat belajar sambil membully kakak asdosnya, Om Azhar, hehe. Kelas hari Rabu sore, pukul 15.00-17.00 pun menjadi penyemangat bagiku untuk menjalani hari Rabu, haha. Salah satu alasannya, karena aku tak perlu takut telat sholat asar saat belajar. Alasan lainnya, tentu saja, sebuah alasan yang tak dapat dijabarkan.

Tutor kali ini akan membahas beberapa soal bab 12, tentang Turunan di Ruang Berdimensi-n. 10 menit sebelum jam tiga, aku dan beberapa temanku sudah berada di kelas, ruang 9223 GKU Timur. Papan tulis hijau ruangan tersebut memanggilku untuk aku corat-coret. Jadilah aku dan Hanafi menulis dan menggambar di papan tersebut. Aku menulis lafadz basmalah, kemudian menulis sesuatu yang akan membuatku sangat malu, calculove (tolong jangan bully saya wahai netizen yang budiman). Aku juga menulis lirik lagu Sayang milik Via Vallen.

Sayang
Opo kowe krungu
Jerite hatiku
Berharap engkau kembali

Hanafi menghapus kata hatiku dan menggantinya dengan Nadhira. Jadilah jerite Nadhira. Dan aku masih menulis lirik lagu lanjutannya.

Sayang
Nganti memutih rambutku
Ra bakal luntur tresnoku

Tepat usai selesai menulis kata tresnoku, aku membalikkan badan. Betapa terkejutnya diri ini ketika mengetahui sang dosen sudah berdiri di depan meja sambil tertawa.

“Aaaaah!” aku teriak saking kagetnya. Dan bodohnya aku, bukannya menghapus papan tulis, aku malah berlari keluar kelas. Sedetik kemudian aku baru bisa berpikir jernih. Cepat-cepat aku menghapus papan tulis, berlari ke tempat dudukku, mengucapkan “Maaf Pak, maaf Pak,”, dan menutup mukaku dengan tas Elmo-ku yang berwarna merah.

“Nggak apa-apa, semua orang boleh dan bebas berekspresi,” ucap Pak Prama sambil tertawa, yang membuatku semakin malu.

Aku berbisik kepada Hanafi yang duduk di sebelahku, sambil mendengus. “Eh Hanafi, kok lu gak bilang-bilang si Bapak udah dateng, sih?”

“Ih Nad, tadinya aku mau ngasih tau kamu. Tapi Bapaknya bilang gausah gausah, gitu,” jawab Hanafi.

Mampus gua.



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Nadhira KA, 21. An architecture student who loves photography and proudly be as a Gooner.

Follow Us

  • twitter
  • instagram
  • behance

Categories

  • Nadhira dan Cinta Pertama
  • karena kita; Axiora
  • kehidupan ITB
  • kepingan kenangan

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  November 2023 (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
  • ►  2019 (5)
    • ►  June 2019 (4)
    • ►  May 2019 (1)
  • ▼  2018 (5)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ▼  June 2018 (2)
      • Antara Jam Tiga dan Lima (part 2)
      • Antara Jam Tiga dan Lima (part 1)
    • ►  May 2018 (1)
  • ►  2017 (45)
    • ►  December 2017 (3)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  August 2017 (1)
    • ►  July 2017 (15)
    • ►  June 2017 (5)
    • ►  May 2017 (14)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  September 2016 (3)
    • ►  August 2016 (3)
    • ►  July 2016 (6)
    • ►  June 2016 (6)
    • ►  May 2016 (4)
    • ►  April 2016 (7)
    • ►  March 2016 (2)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (46)
    • ►  December 2015 (8)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  September 2015 (4)
    • ►  August 2015 (6)
    • ►  July 2015 (3)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (1)
    • ►  April 2015 (3)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (8)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (24)
    • ►  December 2014 (7)
    • ►  November 2014 (4)
    • ►  October 2014 (12)
    • ►  September 2014 (1)

Facebook

ThemeXpose