Masjid Ulil Albab, 20 Februari 2017
Seperti biasa, aku duduk di ambang pintu sebelah kiri Masjid Ulil Albab. Tempat favoritku selama dua setengah tahun yang penuh kenangan. Saat itu aku sibuk membaca dan meresapi surat cinta Allah pada hamba-Nya, dan waktu telah menunjukkan pukul 20:35.
Aku benar-benar terhanyut dalam bacaanku hingga Hani memanggilku. "Dhir," sahutnya.
Seperti biasa, aku duduk di ambang pintu sebelah kiri Masjid Ulil Albab. Tempat favoritku selama dua setengah tahun yang penuh kenangan. Saat itu aku sibuk membaca dan meresapi surat cinta Allah pada hamba-Nya, dan waktu telah menunjukkan pukul 20:35.
Aku benar-benar terhanyut dalam bacaanku hingga Hani memanggilku. "Dhir," sahutnya.
Sontak aku menengok ke belakang. Hani mengisyaratkan bahwa aku dipanggil Nuni. Nuni duduk cukup jauh dari tempatku berada. Aku menggerakkan badanku ke arahnya.
"Lihat samping kiri masjid," ucapnya setengah berbisik.
"Hah?" tanyaku.
Nuni mengisyaratkan tangannya supaya aku melongok ke luar masjid, ke arah samping kiri.
Aku, dengan segenap rasa penasaranku, mengintip samping kiri masjid yang biasanya dijadikan tempat tongkrongan anak ikhwan Axiora.
Masyaallah! Allahu akbar!
Tak henti-hentinya hati ini bergetar. Tak henti-hentinya pujian kulantunkan pada Yang Maha Kuasa.
Terlihat tiga sekawan yang sedang melaksanakan sholat (sholat hajat mungkin). Dimana satu dari mereka menjadi imam, dan dua lainnya menjadi makmum. Salah satu (atau mungkin keduanya, karena dari tempatku tidak begitu terlihat) dari makmum tersebut sholat sambil memegang Alquran, mungkin untuk mendengarkan dan mengoreksi bacaan sang imam bilamana terdapat kesalahan.
Seketika, kiprah tiga sekawan tersebut di Insan Cendekia terbayang di benakku.
***